Petualangan di Gunung Bencana Scan by BBSC - OCR by Raynold Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 1 LIBURAN MUSIM PANAS SEBUAH mobil sedang mendaki jalan terjal di lereng sebuah gunung. Empat remaja yang ada di dalam kendaraan itu bernyanyi-nyanyi dengan suara lantang, diikuti seekor burung kakaktua yang berteriak-teriak dengan suara serak dan sumbang. Jambul burung itu menegak, karena keasyikan. Pria yang menyetir menoleh ke belakang sambil tertawa nyengir. "Bukan main suara kalian! Sampai bunyi tuter mobil saja masih kalah," katanya. "Kenapa kalian gembira sekali?" Philip, Jack, Dinah, dan Lucy-Ann berhenti menyanyi. Mereka berebut-rebut menjawab pertanyaan pria itu, dengan berteriak-teriak, "Ini kan permulaan masa liburan!" "Dan untuk masing-masing katanya tersedia keledai tunggangan! Kami akan berkeliaran di gunung, menunggang keledai!" "Cul — si kadal muncul!" Itu suara Kiki. Burung kakaktua itu tidak pernah mau ketinggalan, apabila anak-anak sedang berbicara. "Kita akan bersenang-senang, selama delapan minggu." "Dan Anda akan ada bersama kami, Bill! Begitu pula ibu! ibu tidak merasa gembira?" Bu Mannering menoleh ke arah Philip sambil tersenyum. "Ya, tentu — tapi mudah-mudahan saja kalian tidak terus-menerus ribut seperti sekarang ini. Kau harus melindungi aku dari anak-anak berisik ini, Bill!" "Kalau soal itu, jangan khawatir," kata Bill berjanji, sambil membelokkan mobil di tikungan yang kesekian. "Akan kuantukkan kepala mereka. paling sedikit satu kali sehari — dan jika Lucy-Ann mulai berani melawan, akan ku .... " "Aduh, Bill!" kata Lucy-Ann, yang paling muda dan paling tenang di antara keempat remaja itu. "Jack selalu mengatakan aku ini kurang berani. Mestinya sudah, kan — kalau kuingat sudah berapa banyak petualangan yang ikut kualami selama ini." "Berani alami, berani alami!" oceh Kiki. Burung kakaktua itu suka sekali pada kata-kata yang berakhiran sama. "Berani alami, berani .... " "Aduh, berisiknya burung ini," keluh Bu Mannering. Ia merasa capek, naik mobil terus sebegitu lama. Ia ingin cepat-cepat tiba di tempat tujuan. Belum lagi liburan delapan minggu bersama anak-anak! Bu Mannering merasa, pasti akan sudah loyo sebelum masa liburan berakhir. Philip dan Dinah, anak-anaknya sendiri. Sedang Jack dan Lucy-Ann tidak punya orang tua lagi. Kedua anak itu tinggal bersama Bu Mannering, dan sudah menganggap wanita itu ibu mereka sendiri. Bill Cunningham sahabat karib keempat remaja itu. Sudah sering mereka mengalami petualangan seru bersama pria itu. Sekali itu ia ikut berlibur dengan mereka, supaya mereka jangan sampai terjerumus ke dalam petualangan lagi. Itu katanya! Bu Mannering sudah bertekad akan terus mengamat-amati selama delapan minggu itu, apabila Bill sedang tidak bersama mereka. Dengan begitu mereka takkan mungkin tahu-tahu menghilang, atau terlibat dalam petualangan baru yang menyeramkan. "Mestinya mereka kali ini pasti aman, karena berlibur di tengah pegunungan daerah Wales dan dijaga oleh kita berdua, Bill," kata Bu Mannering. Suaminya, Pak Mannering, sudah lama meninggal dunia. Bu Mannering sering merasa repot sekali mengurus anak-anak yang begitu lincah seperti keempat remaja itu. Apalagi kini mereka bertambah besar. Philip suka pada binatang. Binatang apa saja, termasuk pula burung dan serangga. Tapi Dinah, adiknya, malah tidak! Sebagian besar binatang liar, baginya mengerikan. Ia merasa jijik melihat berbagai jenis serangga, yang sebetulnya tidak apa-apa. Untung saja sikapnya kini sudah agak lumayan. Dinah cepat marah. Ia tidak segan-segan mengayunkan kepalan tinjunya. Lucy-Ann yang lemah lembut selalu sedih kalau Dinah sudah berkelahi lagi dengan Philip. Lucy-Ann adik Jack. Kiki, burung kakaktua peliharaan Jack yang disayanginya, mempunyai kebiasaan bertengger di bahu anak itu. Bu Mannering bahkan pernah mengatakan, bahwa lebih baik bagian bahu jasnya ditambal saja dengan kulit, supaya tidak lekas aus karena cakar Kiki yang selalu dicengkeramkan ke situ. Jack sangat suka pada burung. Ia sering mengajak Philip pergi mengamat-amati kehidupan unggas di alam terbuka. Sudah banyak sekali mereka membuat foto yang bagus-bagus mengenainya. Menurut Bill, foto-foto itu berharga. Dalam liburan kali ini pun, perlengkapan foto keduanya tidak mungkin ketinggalan. Mereka juga berbekal teropong, untuk mengamati burung- burung dari kejauhan. "Mungkin kita akan bisa melihat burung rajawali lagi," kata Jack. "Kau masih ingat — sarang rajawali yang kita temukan dekat puri tua di Skotlandia waktu itu, Philip? Ada kemungkinan pula kita nanti melihat elang." "Lang!" seru Kiki dengan cepat. "Lang, lang — hilang!" "Siapa tahu — mungkin pula kita bahkan akan mengalami petualangan lagi," kata Philip sambil nyengir, "walau ibu serta Bill begitu yakin bahwa takkan mungkin ada kejadian tak terduga — biar bagaimanapun sepelenya — karena pengawasan mereka kali ini akan ketat sekali!" Kali ini mereka semua berangkat bersama-sama, berlibur ke pegunungan daerah Wales, di inggris sebelah barat daya. Tempat yang dituju sangat terasing letaknya. Di sana anak-anak akan bisa berkeliaran secara leluasa, dengan membawa kamera foto dan teropong. Bagi masing-masing disediakan seekor keledai. Dengan hewan tunggangan itu mereka nanti akan bisa berkelana sepuas hati, menyusuri celah-celah sempit di pegunungan. "Aku takkan selalu ikut, karena aku tidak segemar kalian menunggang keledai," kata Bu Mannering. "Tapi Bill akan selalu ada — jadi kalian pasti aman nanti." "Tapi Bill sendiri — akan amankah dia jika selalu ikut kami?" tanya Jack sambil nyengir. "Rasanya kami selalu saja menyeretnya sehingga terlibat dalam berbagai kejadian. Kasihan Bill!" "Jika kalian sampai bisa menarikku ke dalam petualangan di tengah-tengah daerah yang paling sepi di pegunungan Wales, kalian betul-betul hebat," kata Bill. Setelah melewati satu tikungan lagi, di kejauhan nampak sebuah rumah petani. "Kita sudah hampir sampai," kata Bu Mannering. "Kalau tidak salah, rumah yang di depan itu tempat kita akan tinggal selama liburan ini. Ya — betul, memang itulah rumahnya!" Keempat remaja itu menjulurkan leher mereka panjang-panjang, karena ingin ikut melihat. Bangunan yang dibicarakan Bu Mannering terbuat dari batu. Letaknya di lereng gunung. Bentuknya melebar ke segala arah, nampak sudah tua. Di sekelilingnya terdapat bangunan-bangunan gudang serta bangunan-bangunan lainnya. Tempat itu memancarkan suasana ramah dan terbuka, di tengah keremangan senja. "Aduh, bagusnya!" seru Lucy-Ann senang. "Apa nama tempat ini?" Bill menyebutkan nama dalam bahasa setempat, yang asing sekali bunyinya. "Astaga, sulitnya!" kata Dinah. "Kurasa bahkan Kiki pun takkan mampu mengucapkan nama itu. Coba kauulangi lagi untuk Kiki, Bill! Aku ingin tahu, apa yang nanti diucapkannya." Bill menuruti permintaan Dinah. Diucapkannya nama itu sekali lagi untuk Kiki, yang mendengarkan dengan serius sambil menegakkan jambul. "Sekarang ulangi," kata Jack pada burung kakaktuanya. "Ayo, ulangi!" "ltu-rumah-Jack," occh burung itu. Kata-kata itu diucapkan dengan cepat, seperti sambung menyambung. Anak-anak tertawa. "Hebat, Kiki!" kata Jack. "Kiki takkan mungkin bisa dibungkam, Bill — selalu ada saja yang akan dikatakannya! Kau pintar, Kiki!" Kiki merasa senang karena dipuji tuannya. Kini ia menirukan bunyi mobil berganti persneling. Berulang kali bunyi itu ditirukannya selama perjalanan. Bu Mannering sudah tidak tahan lagi mendengarnya. "Aduh, sudah, Kiki, jangan kauulang-ulangi lagi," katanya dengan sikap memelas. "Untung kita sudah sampai sekarang! Yang mana pintu depan tempat ini, Bill? Atau memang tidak ada?" Kelihatannya memang begitu. Jalan di pekarangan yang dimasuki menuju ke sebuah bangunan yang nampaknya gudang dan berakhir di tempat itu. Dari situ ada jalan setapak yang mengarah ke rumah induk, lalu bercabang tiga yang masing-masing menuju ke pintu yang berbeda-beda. Anak-anak berebut-rebut turun dari mobil. Bill keluar. Ia menggeliat, lalu membantu Bu Mannering turun. Rombongan yang baru tiba itu memandang berkeliling. Seekor ayam jantan berkokok di dekat mereka. Dengan segera Kiki ikut-ikut berkokok Ayam jantan tadi terdiam. Mungkin karena tercengang mendengar suara Kiki. Seorang wanita bertubuh gemuk muncul bergegas-gegas dari salah satu pintu rumah. Senyuman ramah menghias wajahnya yang kemerah-merahan. Wanita itu menoleh sebentar, lalu berseru ke dalam rumah, "Effans, mereka sudah datang — lihatlah, mereka sudah datang!" "Bu Evans, ya," kata Bill, lalu bersalaman dengan wanita itu. Kemudian Bu Mannering juga melakukan hal yang sama. Sementara itu seorang laki-laki bertubuh kecil datang berlari-lari dari dalam rumah. "Ini Effans, suamiku," kata wanita yang bertubuh gemuk, memperkenalkan laki-laki yang baru muncul itu. "Moga-moga saja kalian merasa senang selama tinggal di tempat kami ini!" Anak-anak senang sekali mendengar logat bicara wanita itu. Orang Wales memang mengalun suaranya kalau berbicara, seperti menyanyi. Semua bersalam-salaman dengan Bu Evans serta suaminya. Kiki tidak mau ketinggalan, ikut-ikut mengacungkan cakar. "Eh — lihat, ada kakaktua!" seru Bu Evans pada suaminya. "Kakaktua, Effans!" Pak Effans kelihatannya tidak sesuka istrinya terhadap Kiki. Tapi ia tersenyum sopan. "Selamat datang," katanya dengan logat Wales yang mengalun. "Silakan lewat di sini." Rombongan yang baru tiba itu mengikutinya menuju ke rumah induk. Mata anak-anak terpentang lebar, begitu Pak Effans membukakan pintu. Mereka melihat meja kayu yang kekar dan panjang, diselubungi taplak putih bersih. Di atas meja itu terhidang sajian makanan berlimpah ruah. Rasanya belum pernah mereka melihat hidangan sesedap saat itu! Sebongkah besar daging ham, lengkap dengan pisau dan garpu besar, tinggal diiris saja. Masakan lidah yang tidak kalah besar tersaji di sampingnya, dikelilingi hiasan daun sup yang hijau segar. Lalu selada sepiring besar diletakkan di tengah-tengah meja, dengan telur rebus yang sudah dipotong-potong dan ditaburkan di atasnya. Dua ekor ayam panggang dingin juga nampak di situ, dikelilingi keratan daging lemak yang keriting. Anak-anak asyik memandang hidangan yang membangkitkan selera itu. Bukan main — belum lagi roti bundar yang masih hangat, serta kue-kue, selai serta madu berwarna kuning keemasan! Begitu pula susu segar berkendi-kendi! "Anda hendak mengadakan pesta, ya?" tanya Jack dengan nada kagum. "Pesta? Ah, tidak — ini kan hidangan makan sore untuk kalian," kata Bu Evans menjelaskan. "Kami tidak bisa menghidangkan makan malam, karena kami bukan orang kaya. Hidangan kami hanya bisa seperti yang biasa kami makan sehari-hari saja! Inilah hidangan sore untuk kalian hari ini. Kalian bisa langsung mulai makan, apabila sudah mandi nanti!" "Haruskah kami mandi dulu?" kata Philip sambil mendesah. "Badanku sama sekali tidak kotor! Hmm — sedap sekali kelihatannya makanan itu! Wah — jika begini terus hidangan untuk kita selama liburan ini, aku tidak jadi berjalan-jalan dengan keledai. Lebih baik aku tinggal di sini saja, makan terus!" "Kalau itu yang kaulakukan, kau nanti akan terlalu gendut, sehingga takkan ada lagi keledai yang mampu kautunggangi," kata ibunya. "Ayo, mandi dulu, Philip! Bu Evans akan mengantarkan ke kamar kita masing-masing. Kita semua perlu mandi dulu. Setelah itu akan kita nikmati bersama hidangan sedap ini!" Mereka menaiki tangga sempit yang berkelok-kelok, memasuki kamar-kamar lapang berlangit-langit rendah dengan perabot model kuno yang besar-besar. Dengan sikap bangga Bu Evans menunjukkan letak sebuah kamar mandi berukuran kecil pada mereka. Hal itu sudah selayaknya, karena rumah petani di daerah terpencil jarang yang diperlengkapi dengan kamar mandi di dalamnya! Di tingkat atas itu ada empat kamar. Bill diberi kamar berukuran kecil. Sedang Bu Mannering mendapat kamar besar, yang letaknya agak jauh dari kamar-kamar keempat remaja itu, karena mereka sering sekali berisik saat bangun pagi-pagi. Philip dan Jack kebagian kamar berukuran kecil yang agak aneh bentuknya. Langit-langitnya condong, pada satu sisi nyaris menyentuh lantai. Dinah dan Lucy-Ann mendapat kamar sebelah, yang agak lebih besar sedikit. "Kelihatannya kita akan asyik di sini," kata Jack sambil mencuci tangan dengan sabun di kamar mandi, sementara Kiki bertengger di atas keran air. "Aku kepingin cepat-cepat menyikat hidangan yang di bawah itu. Sedap sekali kelihatannya!" "Ayo, ke sana sedikit!" kata Dinah tidak sabar. "Bak cuci ini cukup lebar, bisa dua orang sekaligus mencuci tangan. Kalau pagi, kita terpaksa bergiliran. He, Kiki! Jangan kaubawa lari sikat kuku itu! Tangkap dia, Jack!" Sikat kuku yang hendak dibawa terbang oleh burung kakaktua iseng itu berhasil diselamatkan, sedang Kiki mendapat hadiah ketukan pada paruhnya. Burung itu tidak memprotes. Ia pun sudah tidak sabar lagi, ingin cepat-cepat mencicip hidangan enak yang sudah menunggu di bawah. Ia tadi melihat mangkuk, penuh dengan buah frambus. Ia berniat hendak duduk dekat sekali ke mangkuk itu nanti. Kiki terbang ke bahu Jack, lalu bertengger di situ sambil mengoceh dengan suara lembut dekat telinga remaja itu, yang sedang mengeringkan tangan dengan handuk kasar. "Jangan, Kiki! Geli," kata Jack. "Kalian sudah selesai, Anak-anak? Bibi Allie? Bill! Sudah siap belum? Kami akan turun sekarang?" "Ya, kami datang!" seru yang lain-lain menjawabnya, lalu turun beramai-ramai. Nah — sekarang mereka bisa berpesta! Bab 2 DI RUMAH PETANI SAAT pertama kali makan di rumah petani Wales itu sangat menyenangkan. Bu Evans nampak asyik sekali, karena ada tamu. Sedang Effans, suaminya, nampak sibuk melayani dengan wajah berseri-seri, memotong-motong daging ham, lidah, dan ayam. Sambil bekerja keduanya berbicara terus dengan logat Wales mereka yang sering disisipi kata-kata seperti 'look you` dan 'whateffer` sebagai bumbu kalimat. Kiki tertarik sekali mendengar gaya bicara suami istri orang Wales itu, yang seperti bernyanyi. "Bersihkan kakimu, whateffer," katanya dengan tiba-tiba pada Bu Evans. Wanita itu tercengang. Ia rupanya tidak mengira Kiki bisa mengoceh. "Tutup pintu, look you," perintah burung kakaktua itu lagi sambil mengembangkan jambul. Anak-anak terpingkal-pingkal mendengarnya. "Kiki sudah ketularan logat Wales!" kata Dinah. "He! Jaga dia, Jack — bisa habis buah frambus itu nanti disikatnya!" Jack menutupi tempat buah itu dengan piring. Kiki marah, lalu berteriak. Bunyinya seperti mesin mobil berganti persneling. Effans terperanjat mendengar bunyi yang datang dengan tiba-tiba itu. "Jangan kaget — itu suara Kiki," kata Jack. "Ia bisa menirukan bermacam-macam bunyi. Paling hebat, kalau ia menirukan bunyi peluit kereta api dalam terowongan!" Kiki membuka paruhnya. Tenggorokannya menggembung. Kelihatannya ia hendak meneriakkan bunyi yang nyaring itu. "Jack!" ujar Bu Mannering terburu-buru, "Jangan kau bolehkan Kiki menirukan bunyi itu! Kalau ia melakukannya juga, kaubawa dia ke atas lalu kurung di kamarmu!" "Kiki jahat, Kiki nakal," kata burung kakaktua itu dengan suara serius. Rupanya ia tahu dari nada suara Bu Mannering, bahwa wanita itu marah padanya. ia terbang ke bahu Jack lalu meringkuk di situ, sambil melirik piring yang ditutupkan remaja itu pada mangkuk yang berisi buah frambus. Kiki mencubit telinga Jack dengan lembut. Nikmat sekali keenam tamu itu makan, karena sepanjang hari perut mereka hanya diisi dengan roti sandwich terus. Bahkan Bu Mannering pun makan lebih banyak dari biasanya. Dengan wajah berseri, Bu Evans tidak henti-hentinya mengisi lagi piring yang nampak mulai kosong. "Di sepen masih banyak lagi," katanya. "Coba, Effans, tolong ambilkan perkedel daging." "Aduh, jangan, Bu!" kata Bu Mannering. "Terima kasih, ini pun sudah lebih dari cukup! Kebetulan saja kami sangat lapar, dan hidangan Anda nikmat sekali." Bu Evans semakin bersinar wajahnya mendengar kata-kata itu. "Ini makanan pedesaan yang biasa saja, tapi untuk anak-anak baik sekali," katanya. "Selera mereka pasti akan bertambah baik karena hawa pegunungan di sini — sungguh!" "Ya, memang betul," kata Effans, suami Bu Evans. "Selera mereka masih kecil. Nanti pasti tumbuh." Bu Mannering kelihatan kaget. "Astaga!" ujarnya. "Belum pernah seumur hidupku aku melihat mereka makan begini banyak! Jika selera mereka bertambah lagi, pasti aku takkan mampu lagi memberi mereka makan di rumah!" "Apalagi di sekolah, kami pasti akan kelaparan terus," kata Jack sambil nyengir. "Kasihan!" kata Bu Evans. "Nantilah — kubekali daging ham yang besar!" Akhirnya tidak ada lagi yang masih sanggup makan lebih banyak lagi, Semua duduk bersandar ke belakang, lalu memandang ke luar lewat jendela-jendela yang lebar dan rendah serta pintu besar yang terbuka. Mereka kagum melihat pemandangan yang terhampar di depan mata. Gunung-gunung besar menjulang tinggi di tengah keremangan senja. Di dalam lembah sudah mulai gelap. Tapi gunung-gunung itu masih kena sinar matahari, sehingga nampak kemilau menawan hati. Segala-galanya begitu lain daripada daerah sekitar rumah mereka sendiri. Anak-anak seperti tidak bosan-bosannya memandangi puncak-puncak gunung serta lembah yang dinaungi di sebelah bawah. "Tempat Anda ini sangat terasing," kata Bill. "Saya sama sekali tidak melihat rumah atau tempat pertanian yang lain." "Saudara laki-lakiku tinggal di balik gunung itu," kata Bu Evans sambil menunjuk. "Kami biasa saling berjumpa setiap pekan, di pasar. Tempatnya sepuluh mil dari sini —atau mungkin juga sebelas. Sedang saudara perempuanku tinggal di belakang gunung yang di sebelah sana itu. Ia juga memiliki usaha pertanian. Jadi ada juga tetangga kami." "Ya — tapi bukan tetangga dekat," kata Dinah. "Anda tidak pernah kesepian di sini, Bu?" Bu Evans kelihatannya heran mendengar pertanyaan itu. "Kesepian? Astaga — kenapa harus kesepian? Kan ada Effans di sampingku, lalu gembala domba di atas bukit, serta gembala sapi dengan istrinya di pondok mereka dekat sini? Dan kan juga banyak ternak — seperti akan kalian lihat nanti." Ayam betina berkeliaran keluar-masuk lewat pintu yang terbuka, menotok remah-remah yang jatuh dari atas meja. Kiki memperhatikan ternak bersayap itu dengan penuh minat. Kemudian ia berkotek, dan langsung dibalas oleh ayam-ayam betina yang ada di situ. Seekor ayam jantan melangkah masuk dengan sikap gagah, mencari ayam betina yang bunyi kotekannya belum dikenal itu. Tiba-tiba ayam jantan itu berkokok dengan sikap menantang, ketika melihat Kiki yang bertengger di bahu Jack. Kiki berkokok membalasnya. Ayam jantan tadi langsung terbang naik ke atas meja, untuk mengajak kakaktua yang bisa berkokok itu bertarung. Bu Evans kaget melihat ayam jantan itu berani naik ke atas meja, lalu mengusirnya sambil marah-marah. Sedang Kiki malah terkekeh-kekeh. Effans tertawa. Ia terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya. Air matanya bercucuran karena tertawa. "Burung ini kocak sekali!" katanya pada Jack. “Biarkan saja ia mengambil buah frambus lagi." Rupanya suami Bu Evans itu sudah senang pada Kiki. "Terima kasih, Pak, tapi ia sudah cukup banyak makan," kata Jack yang senang mendengar Effans memuji-muji Kiki. Soalnya, ada juga orang yang tidak senang pada kakaktua itu. Kalau Kiki ikut dengan Jack, remaja itu selalu mengkhawatirkan sikap orang terhadap burung itu. Kemudian semua berjalan-jalan di luar, dengan perasaan puas dan senang. Bill mengajak Bu Mannering duduk-duduk di bibir sebuah sumur batu yang sudah tua, sambil memandang matahari terbenam di balik gunung di sebelah barat. Sedang Lucy-Ann serta anak-anak yang lain berkeliling tempat pertanian itu. "Eh — ada babi juga rupanya di sini! Lihatlah, kandang mereka bersih sekali," kata Dinah. "Selama ini, aku belum pernah melihat ada kandang babi yang bersih. Coba lihat babi ini — badannya gemuk dan bulunya berkilat, seperti disikat!" "Mungkin tadi memang baru disikat, untuk menyambut kedatangan kita!" kata Philip. "Aku suka sekali melihat anak-anak babi itu! Lihatlah, mereka menyungkur-nyungkur dengan moncong mereka yang kecil!" "Sebentar lagi Kiki pasti sudah bertambah lagi kemampuannya menirukan bunyi yang bermacam-macam," kata Lucy-Ann ketika mendengar burung kakaktua itu mendengus dengan bunyi yang persis suara babi. "Ia akan bisa melenguh, menguak, berkokok, dan berkotek-kotek .... " "Dan meleter seperti kalkun!" kata Dinah, karena saat itu ia melihat beberapa ekor kalkun berkeliaran di dekat tempat mereka sedang berada. "Pertanian ini menarik sekali, karena segala-galanya ada di sini. Eh, Philip — lihatlah, lucunya anak kambing itu!" Beberapa ekor kambing sedang merumput di lereng gunung, tidak jauh dari situ. Di antaranya ada seekor anak kambing yang masih kecil sekali. Warnanya putih bersih. Gerak-geriknya manis sekali. Philip langsung suka padanya. Philip mengembik dengan pelan, menirukan suara kambing. Seketika itu juga kawanan kambing berhenti mengunyah, lalu menoleh kian kemari. Anak kambing tadi meruncingkan telinganya yang mungil. Sekali lagi Philip menirukan bunyi mengembik. Anak kambing berbulu putih bersih itu meninggalkan induknya. la menghampiri Philip dengan gerakan meloncat-loncat, lalu langsung masuk dalam pelukan remaja itu. Kepalanya dibentur-benturkan dengan pelan ke dagu Philip. "Aduh, manisnya!" kata Dinah dan Lucy-Ann. Keduanya mengelus-elus anak kambing itu, serta menggosok-gosokkan pipi mereka ke bulunya yang putih bersih. "Aku kepingin binatang mau langsung dekat padaku seperti terhadap dirimu, Philip," kata Lucy-Ann agak iri. Memang mengherankan sekali, betapa binatang apa pun selalu lekas sekali menurut pada Philip. Bahkan ngengat pun mau hinggap dengan tenang di jari tangan remaja itu. Bermacam-macam jenis binatang yang dijadikan peliharaannya. Landak, kumbang tanduk, kadal, anak burung, tikus kecil dan besar — segala jenis margasatwa suka padanya dan merasa aman di dekatnya. Sedang Philip kelihatannya memahami serta menyukai segala jenis binatang. "Sekarang anak kambing ini pasti akan ikut terus ke mana Philip pergi, selama kita ada di sini," kata Dinah. "Untung saja anak kambing, dan bukan sapi! Masih ingat tidak, ketika Philip masuk ke lapangan di mana ada kawanan sapi sedang merumput, lalu sapi-sapi itu mendatangi kemudian membuntutinya ke mana saja ia pergi. Binatang-binatang itu bahkan mencoba menerobos pagar ketika Philip kemudian keluar lagi. Aku sudah takut saja saat itu, kalau-kalau mereka berhasil." "Kau seharusnya malu, masa sebesar ini masih takut pada sapi," kata Philip sambil membelai-belai anak kambing yang ada di pelukannya. "Tapi rupanya kau makin besar bukannya bertambah pintar pula, Di! Aneh juga — kau tidak takut pada anak kambing ini. Tapi kurasa kau pasti lari pontang-panting jika didekati olehnya!" "Siapa bilang!" tukas Dinah tersinggung. Tapi kemudian ia buru-buru menyingkir ketika kawanan kambing mulai menghampiri anak-anak, karena heran melihat ada anak kambing dalam pelukan Philip. Dengan segera Philip, Lucy-Ann, dan Jack sudah dikerumuni, sementara Dinah memperhatikan dari kejauhan. Anak kambing yang ada di pelukan Philip mengembik ketika melihat induknya. Philip meletakkannya ke tanah, agar bisa lari ke induknya. Tapi anak kambing itu malah melompat masuk lagi ke dalam pelukannya! "Nah — kalau begini, sudah jelas malam ini kau terpaksa membawanya ke tempat tidur," kata Jack sambil nyengir. "Yuk — kita melihat-lihat kuda sekarang. Kuda-kuda yang ada di sini dari jenis yang kukunya terselubung bulu. Aku senang sekali melihat kuda jenis itu!" Kawanan kambing diusir pergi. Setelah itu anak-anak pergi melihat kuda-kuda besar yang berdiri dengan tenang di lapangan. Jumlahnya tiga ekor. Dan sudah tentu kuda-kuda itu langsung mendatangi Philip. Ia sudah meletakkan anak kambing yang tadi ke tanah. Tapi anak kambing itu masih saja tidak mau berpisah, sehingga setiap kali Philip berhenti, binatang yang masih kecil itu pasti menabrak kakinya. Dan begitu ada kesempatan, ia langsung mendesak masuk ke dalam pelukan. Ketika anak-anak masuk ke rumah, anak kambing itu masih saja mengikuti Philip. "Ah — rupanya kalian sudah berjumpa dengan si Putih cilik," kata Bu Evans yang sedang sibuk di oven. Ia menoleh sebentar. Mukanya yang merah nampak lebih merah lagi saat itu. "Selama ini belum pernah ia mau berpisah dari induknya!" "Aduh — jangan kauajak anak kambing itu masuk kemari, Philip," kata Bu Mannering, ketika melihat ada lagi binatang yang tidak mau berpisah dari remaja itu. Ia khawatir, jangan-jangan Bu Evans tidak suka melihat anak kambing mengikuti Philip masuk ke dalam rumah — lalu nanti tidak bisa dilarang ikut ke mana-mana — mungkin bahkan ikut ke kamar tidur! "Ah — tidak apa jika ada anak kambing masuk ke dalam rumah," kata Bu Evans. "Anak domba yang baru lahir selalu kami taruh dulu di dalam rumah, begitu pula ayam-ayam, berkeliaran dengan seenaknya keluar-masuk — sedang Moolie, anak sapi kami, biasa masuk kemari setiap hari, sebelum ia ditaruh di lapangan." Anak-anak setuju sekali bahwa hewan peliharaan diperbolehkan berkeliaran dengan bebas keluar-masuk rumah. Tapi Bu Mannering lain pendapatnya. Ia sudah khawatir saja, kalau tahu-tahu ada ayam betina bertelur di tempat tidurnya, atau ada anak sapi berbaring di kursi besar di kamar tidurnya! Tapi saat itu kan liburan, dan apabila Bu Evans menyukai hewan peliharaannya berkeliaran di dapurnya, anak-anak pasti setuju saja! Lucy-Ann menguap lebar sekali, lalu menjatuhkan diri di sebuah kursi besar. Bu Mannering memandang anak itu, lalu menoleh ke arah jam besar yang ada di pojok dapur. "Ayo, kalian tidur saja sekarang," katanya. "Kita semua sudah capek. Ya, aku tahu sekarang masih agak sore, Philip — tapi sepanjang hari kita tidak sempat beristirahat sedikit pun. Hawa pegunungan membuat orang cepat sekali merasa ngantuk. Nanti kita pasti tidur nyenyak semuanya." "Aku akan menyiapkan minuman susu segar untuk kalian," kata Bu Evans. "Kalian juga ingin membawa bekal roti berlapis mentega dan selai untuk dimakan di atas sebelum tidur?" "Aduh, tidak usah," kata Bu Mannering buru-buru. "Terima kasih, Bu — tapi kami takkan sanggup makan apa-apa lagi malam ini." "Wah, Bu! Tentu saja kami masih bisa makan roti dengan selai, serta minum susu yang sedap itu," kata Dinah memprotes. Bu Evans lantas membuatkan roti yang diolesi selai frambus untuk keempat remaja itu, masing-masing sepiring untuk bekal makan sebelum tidur. disertai susu segelas besar. Ketika anak-anak sudah ada di atas, tiba-tiba terdengar langkah makhluk kecil berkuku lari menaiki tangga. Si Putih, anak kambing itu masuk ke kamar kedua anak laki-laki, lalu meloncat naik ke tempat tidur Philip. "Wah— lihatlah, si Putih menyusul ke atas!” kata Philip. "Kau juga mau roti, Putih?" "He — kami rasanya seperti mendengar langkah anak kambing tadi menaiki tangga," kata Lucy-Ann sambil menjenguk ke dalam dari ambang pintu. "Aduh, Philip — ia ada di tempat tidurmu!" "Habis, tidak mau turun sih," kata Philip. "Setiap kali kudorong turun, langsung naik lagi — nah, apa kataku! Persis seperti anak anjing!" Si Putih mengembik dengan suaranya yang lembut, sambil menumbuk-numbukkan kepalanya pada Philip. "Akan kaubiarkan saja ia di atas sini sepanjang malam?" tanya Dinah, yang saat itu muncul. Ia sudah mengenakan pakaian tidur. "Kalau kukeluarkan, ia pasti masuk lagi — sedang jika pintu kututup, nanti dibentur-bentur dengan kepalanya," kata Philip, yang sementara itu sudah sayang sekali pada si Putih. "Lagi pula, Kiki juga boleh menemani Jack dalam kamar tidur." "Ah, aku sendiri sama sekali tidak keberatan jika si Putih ada di sini menemanimu," kata Dinah. "Aku cuma agak sangsi tentang ibu — dan juga Bu Evans." "Aku takkan heran apabila ternyata bahwa Bu Evans membawa sapi yang sakit ke kamarnya, begitu pula setengah lusin ayam betina," kata Philip sambil membaringkan si Putih di lekuk sebelah belakang lututnya. "Aku paling suka pada wanita semacam Bu Evans itu. Sana — kembalilah ke kamar kalian. Aku ingin tidur sekarang. Rasanya sudah enak sekarang —— perut sudah kenyang, mata pun sudah mengantuk." Tiba-tiba Kiki mengeluarkan bunyi seperti orang yang kekenyangan. "Maaf!" kata burung itu. Kebiasaan itu ditirunya dari seseorang di sekolah Jack. Bu Mannering selalu marah kalau mendengar Kiki bersendawa, lalu minta maaf, karena memang tidak pantas berbuat begitu dengan bunyi yang sampai didengar orang lain. "Kurasa Kiki juga sudah kekenyangan makan," kata Jack dengan suara mengantuk. "Ia tadi mencopet satu roti bundar, lalu dimakan habis. Dan ia pasti juga sempat mengudap buah frambus lagi. Lihat saja paruhnya! Sekarang diam, Kiki! Aku mau tidur!” "Cul si kadal muncul, look you," oceh Kiki dengan gaya serius, lalu menyisipkan kepalanya ke bawah sayap. Dinah dan Lucy-Ann kembali ke kamar tidur mereka. Tidak lama kemudian Jack dan Philip sudah tidur pulas. Menyenangkan sekali awal liburan musim panas mereka! Bab 3 PAGI HARI PERTAMA Keesokan harinya Dinah dan Lucy-Ann bangun paling dulu. Saat itu masih pagi. Tapi di luar sudah ada orang. Lucy-Ann memandang sebentar lewat jendela. "Pak Effans,." katanya pada Dinah. "Rupanya ia baru selesai memerah sapi. Kemarilah sebentar, Dinah. Pernahkah kau melihat pemandangan secermelang ini?" Kedua remaja itu berlutut di depan jendela, sambil memandang ke luar. Sinar matahari memancar ke dalam lembah lewat celah di antara dua gunung. Tapi sisa lembah selebihnya masih terselubung bayangan. Di kejauhan nampak gunung-gunung menjulang tinggi. Semakin jauh, semakin biru dan kabur nampaknya. Langit biru cerah, sama sekali tak ada awan yang mengusik. "Begini mestinya cuaca saat liburan!" kata Dinah dengan nada puas. "Mudah-mudahan saja ibu mengizinkan kita piknik hari ini." "Satu hal sudah pasti dalam liburan kali ini," kata Lucy-Ann. "Kita takkan mengalami petualangan yang seram-seram, karena Bibi Allie sudah bertekad akan selalu ikut, ke mana saja kita pergi. Atau kalau tidak dia, Bill!" "Kita kan sudah cukup sering mengalami petualangan," kata Dinah sambil berganti pakaian. "Lebih sering dibandingkan dengan kebanyakan anak-anak lainnya. Bagiku tidak apa-apa, jika kali ini tidak ada petualangan sama sekali! Cepatlah sedikit, Lucy-Ann — supaya kita bisa lebih dulu memakai kamar mandi. Tapi jangan terlalu berisik! Ibu kan tidak suka kalau sampai bangun terlalu pagi.” Ketika menuju ke kamar mandi, Lucy-Ann menjengukkan kepala sebentar ke dalam kamar Jack dan Philip. Kedua anak itu masih tidur nyenyak. Kepala Kiki tersembul dari bawah sayap karena mendengar Lucy-Ann di pintu. Tapi kakaktua itu hanya menguap, tanpa mengocehkan sepatah kata pun. Lucy-Ann memandang ke arah tempat tidur Philip. Dilihatnya anak kambing yang kemarin, si Putih, masih berbaring dalam lekukan di balik lutut Philip. Anak itu benar-benar ajaib, kata Lucy-Ann dalam hati. Binatang apa pun pasti langsung senang padanya, dan mau disuruh berbuat macam-macam. Si Putih mengangkat kepalanya, memandang Lucy-Ann. Anak itu bergegas menyusul Dinah yang sudah sibuk di kamar mandi. Tidak lama kemudian terdengar bunyi kedua abang mereka bangun. Kiki sudah mulai mengoceh lagi, menyuruh bersihkan kaki. Entah siapa lagi yang disuruhnya itu. "Mungkin ia mengajari si Putih," kata Lucy-Ann geli. "Kiki kan selalu ingin mengajarkan macam-macam pada binatang-binatang peliharaan Philip. He, Dinah — kau masih ingat tidak, bagaimana kocaknya kelakuan Kiki terhadap Enggas dan Enggos, kedua burung puffin yang selalu ikut dengan kita dalam petualangan yang terakhir?" "Rrrr," kata Dinah dengan suara garau, menirukan suara burung puffin. Kiki yang ada di kamar Jack dan Philip mendengar suara itu. lalu langsung mengikuti. “Rrrr!" Burung kakaktua konyol itu terkekeh-kekeh, sehingga si Putih kaget mendengarnya. "Bee-eeek!" anak kambing itu mengembik. "Beee-eeek!" kata Kiki menirukan. Si Putih celingukan, mencari anak kambing yang berbunyi itu. Jack dan Philip tertawa geli. Kiki selalu merasa diberi semangat kalau ada yang tertawa. Tenggorokannya mulai menggembung. la hendak memperdengarkan bunyi mesin mobil yang sedang bertukar persneling. Itu rupanya bunyi favoritnya saat itu. Tapi Philip cepat-cepat mencegah. "Jangan, Kiki!" larangnya. "Sudah cukup sering kita semua mendengarnya. Ganti saja yang lain!" "Hidup Ratu!" oceh Kiki dengan suara sedih. "Bersihkan kaki, buang ingus!" "Ayo, cepat berpakaian!" kata Dinah dan Lucy-Ann, yang saat itu menjenguk ke dalam. "Dasar anak-anak pemalas!" Keempat remaja itu masuk ke dapur, tepat ketika Bu Evans selesai mengatur meja untuk sarapan pagi. Hidangan yang disajikan hampir sama banyaknya seperti malam sebelumnya. Nampak susu segar hasil perahan pagi itu, berkendi-kendi. Begitu pula buah frambus, tersedia lagi beberapa mangkuk "Wah — bingung rasanya, mau sarapan apa," keluh Jack sambil duduk, sementara Kiki bertengger di bahunya. "Kucium bau telur dan daging asap digoreng — dan ada pula keripik yang bisa dimakan dengan lemak susu serta frambus — lalu daging ham — serta tomat — wah, keju mudakah itu? Wah — keju muda untuk sarapan, asyik!" Si Putih berusaha naik ke pangkuan Philip, ketika anak itu hendak duduk di meja makan. Philip mendorongnya turun lagi. "Jangan, Putih — kalau saat makan tidak bisa! Saat-saat begitu aku sibuk. Sana, pergilah mengucapkan selamat pagi pada indukmu. Pasti ia sudah bingung, karena tidak tahu ke mana kau sepanjang malam!" Kiki sudah asyik mengudap buah frambus dari piring yang sengaja disediakan oleh Bu Evans untuknya. Wanita itu memandang Kiki dengan wajah berseri-seri. Begitu pula suaminya, Pak Effans. Keduanya senang sekali terhadap burung konyol itu. "Look you, whateffer! " kata Kiki sambil menotok sebutir frambus lagi. Paruhnya sudah merah kena air buah. Keempat remaja itu tidak mau ketinggalan. Mereka mulai sarapan dengan nikmat. Suami istri Evans sudah lebih dulu selesai sarapan. Bukan itu saja, mereka pun sudah banyak menyelesaikan pekerjaan pagi itu, kalau mendengar percakapan antara keduanya. Pak Effans sudah membersihkan kandang babi, merawat kuda-kuda, memerah susu, mengumpulkan telur di kandang ayam, mendatangi gembala sapi, serta melakukan sekitar selusin pekerjaan lainnya lagi. "Bu Evans, tahukah Anda, di mana keledai-keledai yang katanya bisa kami pergunakan sebagai tunggangan untuk melancong ke gunung?" tanya Philip. Ia sudah selesai sarapan. Si Putih sudah ada dalam gendongannya lagi. "Ah, itu urusan Trefor, gembala domba," jawab Bu Evans. "Keledai-keledai itu milik saudara laki-lakinya Nanti akan dibawanya kemari." "Tidak bisakah kami sendiri yang mengambil ke tempatnya?" tanya Jack. "Aduh — saudara laki-laki Trefor itu tinggalnya tiga puluh mil dari sini!" kata Pak Effans. "Kalian takkan mampu berjalan kaki ke sana, whateffer. Begini sajalah — kalian nanti pergi mendatangi Trefor. Tanyakan padanya, bagaimana dengan keledai-keledai itu!" Saat itu Bu Mannering masuk bersama Bill. Keduanya nampak segar bugar, setelah tidur nyenyak sampai pagi di pegunungan yang berhawa segar itu. "Masih ada makanan yang tersisa untuk kami?" tanya Bill sambil tertawa lebar. Bu Evans bergegas menggorengkan telur dengan daging asap lagi. Baunya semerbak memenuhi ruangan. "Hmm! Jika aku lama-lama lagi di sini, bisa lapar lagi nanti karena mencium bau ini," kata Philip. "Bill, kami hendak mendatangi Trefor, gembala domba, untuk menanyakan tentang keledai-keledai itu. Bu — bisakah kita mengadakan piknik di gunung apabila keledai-keledai itu nanti sudah datang?" "Boleh saja — jika aku sudah tahu pasti akan bisa tetap berada di atas punggung keledaiku," jawab ibunya. "Jika tungganganku gemuk sekali, kurasa setiap kali aku merosot lagi!" "Keledai-keledai itu tidak ada yang gemuk." Kata Pak Effans menenangkan. "Binatang-binatang itu bertubuh kecil, tapi kuat sekali. Dan sudah biasa ditunggangi di pegunungan. Kadang-kadang kami memakai kuda poni — tapi saudara Trefor itu memelihara keledai. Keledai sama baiknya dengan kuda poni!" "Kalau begitu sekarang saja kita berbicara sebentar dengan Pak Trefor itu," kata Philip. Ia berdiri, sehingga si Putih yang selama itu duduk di pangkuannya merosot ke lantai. "Ayo, kita berangkat! He, Kiki — kau ingin tinggal saja, ya! Pasti masih ingin mengudap frambus itu terus. Dasar burung rakus!" Kiki terbang ke bahu Jack. Anak-anak berangkat, lewat jalan kecil yang ditunjukkan oleh Effans. Si Putih mengikuti mereka sambil berjingkrak-jingkrak, tanpa mempedulikan induknya yang mengembik-ngembik memanggilnya. Anak kambing itu kini sudah termasuk dalam rombongan dan disayangi oleh anak-anak. Tapi Kiki kelihatannya tidak begitu suka melihat ada binatang lain begitu banyak menyita perhatian keempat remaja itu. Jack, Philip, Dinah, dan Lucy-Ann mendaki jalan setapak yang terjal itu. Saat itu matahari sudah sepenggalah tingginya. Sinarnya sudah mulai terasa panas. Anak-anak hanya memakai kemeja tipis serta celana pendek saja. Tapi walau begitu mereka tetap saja kepanasan. Mereka berhenti sebentar di dekat sebuah mata air yang mengalir keluar dari lereng gunung, untuk minum serta menyejukkan tangan dan kaki. Si Putih ikut minum, lalu berjingkrak-jingkrak di sekitar tempat itu. Geraknya lincah sekali, seakan-akan memiliki sayap. " "Aku ingin bisa meloncat-loncat seperti kambing," kata Jack bermalas-malas. "Kelihatannya asyik sekali bisa meloncat tinggi-tinggi seperti itu, tanpa sekali pun terpeleset atau jatuh!" Tiba-tiba Philip menangkap sesuatu yang menggelincir di depannya. Dinah langsung waspada. "Apa itu?" tanyanya dengan sikap cemas. "Ini," kata Philip la memperlihatkan seekor binatang yang menyerupai ular. Warnanya kelabu keperakan, sedang matanya yang kecil berkilat-kilat. Dinah terpekik. "Hii, ular!" teriak anak itu. "Ayo, letakkan lagi ke tanah, Philip! Nanti kau digigit." "Mana mungkin," kata Philip sambil mencibir. "Ini bukan ular. Lagi pula, ular di inggris umumnya tidak mematuk — kecuali jenis yang berbisa. Kan itu sudah pernah kujelaskan! Sedang binatang ini sejenis kadal. Namanya cecak ular." Anak-anak memperhatikan cecak ular berwarna kelabu keperakan yang menggeleser di atas lutut Philip. Kelihatannya memang mirip ular. Tapi bukan ular! Jack dan Lucy-Ann sudah mengetahuinya, begitu pula Dinah. Tapi ia selalu lupa lagi. Anak itu begitu ngeri pada ular, sehingga baginya semua yang bergerak menggelincir pasti termasuk jenis ular. "Hih — seram rasanya melihat binatang itu," katanya sambil bergidik. "Lepaskan lagi, Philip! Dari mana kau bisa tahu pasti bahwa itu bukan ular?" "Ini misalnya, matanya berkedip-kedip! Sedang ular, matanya tidak mengedip," kata Philip. "Coba kauperhatikan baik-baik. Matanya berkedip-kedip seperti kadal. Itu tidak aneh — karena cecak ular memang termasuk keluarga kadal." Sementara Philip sedang memberi penjelasan, mata binatang melata itu berkedip-kedip terus. Ia tetap tenang di lutut anak itu, tanpa berusaha lari. Philip menaunginya dengan tangan. Cecak ular itu tetap bertengger dengan tenang. "Aku belum pernah memelihara cecak ular selama ini," kata Philip. "Kepingin rasanya..." "Awas ya, Philip! Jika kau tetap nekat hendak memelihara ular itu, nanti kau kuadukan pada ibu, biar disuruh pulang!" tukas Dinah dengan marah. Ia takut sekali. "Aduh — ini bukan ular, Dinah!" kata Philip kesal. "Ini kadal — kadal tak berkaki! Sama sekali tidak berbahaya, bahkan sangat menarik. Aku akan memeliharanya, jika ia tidak lari!" "Tentu saja ia mau kaupelihara," kata Jack. "Mana ada binatang yang tidak mau? Aku tidak kepingin ikut masuk hutan bersamamu, Philip — karena nanti pasti monyet-monyet bergelayutan di lehermu, harimau mendengkur-dengkur keasyikan melihatmu, sedang ular menggeliat-geliat melingkari kakimu .... " Dinah terpekik ngeri. "Iih —jangan bicara tentang hal-hal begitu, ah! Ayo Philip, usir cecak ular itu! Suruh dia pergi!" Tapi Philip malah mengantunginya. "Jangan suka rewel, Dinah," katanya. "Kau kan tidak perlu dekat-dekat padaku. Kurasa cecak ular ini pasti pergi, karena tidak suka kukantungi — tapi kita lihat sajalah nanti!" Mereka meneruskan jalan, mendaki bukit. Dinah tidak mau berjalan bersama-sama. Dibiarkannya anak-anak yang lain agak di depan. Ia merajuk. Philip memang macam-macam saja — merusak suasana liburan! Bab 4 Dl LERENG GUNUNG TREFOR, gembala domba kenalan suami istri Evans bertempat tinggal di sebuah pondok kecil. Letaknya agak tinggi di lereng gunung. Di sekeliling tempat itu nampak domba sedang merumput, terpencar ke mana-mana. Lebih dekat ke pondok berkeliaran anak-anak domba yang lahir tahun itu. Anak-anak domba itu sudah tumbuh menjadi kekar. Tubuh mereka yang berbulu lebat nampak menyoIok di sela-sela domba lainnya yang sudah lebih dewasa. Domba-domba ini dicukur habis bulunya, untuk dijadikan bahan wol. Ketika keempat remaja itu sampai di pondok Pak Trefor, gembala domba itu ternyata sedang makan. Makanannya sederhana sekali, terdiri dari roti, mentega, keju lunak, serta bawang besar. Di sampingnya ada sebuah kendi besar berisi susu yang telah didinginkan dengan jalan merendamkannya di sungai kecil yang mengalir di dekat situ. Pak Trefor mengangguk ke arah anak-anak yang datang menghampiri. Pak Trefor itu sudah tua. Rambutnya gondrong. Berjanggut acak-acakan, sedang bola matanya biru sekali. Anak-anak rasanya belum pernah melihat mata sebiru mata Pak Trefor. Mereka tidak memahaminya ketika ia menyapa mereka, karena Pak Trefor berbicara dalam bahasa Wales. "Bisakah Anda berbahasa Inggris?" tanya Jack. "Kami tidak memahami kata-kata Anda tadi." Pak Trefor ternyata bisa juga berbahasa Inggris, walau hanya beberapa patah kata saja. Agak lama juga ia berpikir-pikir sambil mengunyah-ngunyah bawang mentah. "Keledai — besok," katanya kemudian. Ia masih menambahkan beberapa kata lagi, yang tidak dipahami anak-anak la mengatakannya sambil melambaikan tangan ke lembah, ke arah rumah keluarga Evans. "Pasti ia hendak mengatakan bahwa keledai-keledai itu besok akan diantarkannya ke tempat kita tinggal," kata Jack menebak. "Bagus — dengan begitu Bill dan Bibi Allie mungkin mau ikut piknik naik keledai." Pak Trefor tertarik sekali melihat Kiki. Rupanya ia belum pernah melihat burung kakaktua. Ia menuding burung itu sambil tertawa dengan suara serak. Kiki langsung menirukan suara itu. Pak Trefor tercengang. "Bersihkan kakimu," kata Kiki dengan suara galak. "Sudah berapa kali kukatakan, tutup pintu! Tiga tikus buta..." Pak Trefor menatap Kiki dengan mata terbuka lebar. Sedang Kiki terkekeh-kekeh dengan suara nyaring. . “Look you, whateffer look you, whateffer look you, whateffer, look.." Anak-anak tertawa. "Ayo, Kiki — jangan suka pamer, ya!" kata Jack sambil menepuk paruh kakaktua itu. Si Putih menumbuk-numbuk paha Philip. Ia iri, melihat Kiki memperoleh perhatian besar. Begitu Philip berpaling, anak kambing itu langsung meloncat, masuk ke pelukannya. Pak Trefor sangat geli kelihatannya. Kata-kata dalam bahasa Wales mengalir dari mulutnya, tanpa ada yang bisa mengerti maksudnya. Kemudian laki-laki tua itu menepuk lengan Philip, lalu menunjuk-nunjuk ke tanah. Rupanya ia mempersilakan anak-anak duduk. Keempat remaja itu duduk dengan perasaan agak heran, karena tidak mengerti kemauan Pak Trefor. Laki-laki tua itu pergi agak menjauh. Ia menuruni bukti sambil menirukan bunyi mengembik dengan lembut. Anak-anak domba yang ada di sekitar itu menoleh semua ke arahnya, lalu datang berlari-lari sambil mengembik-ngembik. Si Putih pun meninggalkan Philip, lari mendatangi Pak Trefor sambil mengembik-ngembik pula. Gambala domba itu berlutut, sementara anak-anak domba mengerumuninya sambil mendorong-dorong dengan ujung hidung mereka. Anak-anak domba itu suka sekali padanya, karena ia teman mereka sejak kecil. Pak Trefor yang merawat ketika binatang-binatang itu baru lahir, dan bahkan memberi makan pada beberapa ekor di antaranya yang kehilangan induk karena mati. Begitu mereka mendengar suaranya memanggil-manggil dengan bunyi mengembik lembut, dengan segera mereka datang menghampiri. Lucy-Ann merasa terharu melihat betapa akrab pergaulan gembala tua itu dengan binatang peliharaannya. Si Putih ingin dekat sekali pada Pak Trefor. Ia meloncati punggung anak-anak domba yang mengerumuni laki-laki tua itu, lalu membentur-benturnya dengan kepala. "Coba lihat si Putih! Pandai sekali anak kambing itu," kata Dinah. "Pak Trefor sampai tidak kelihatan lagi sekarang, karena begitu banyak anak domba yang mengerumuni!" Kemudian Pak Trefor kembali. Ia tersenyum, sementara matanya yang biru bersinar-sinar di tengah wajahnya yang keriput dan coklat terbakar sinar matahari. Ia menawarkan roti dengan bawang pada anak-anak. Tapi bawang itu keras sekali baunya. Jack merasa pasti bahwa Bu Mannering takkan suka apabila anak-anak kembali berbau bawang. "Wah, terima kasih, Pak," kata Jack menolak dengan sopan. "Maukah Anda besok turun untuk menemui saudara Anda, dan menanyakan kapan ia dapat mengantarkan keledai-keledai itu?" Pak Trefor kelihatannya menangkap maksud Jack, karena ia mengangguk. "Aku datang," katanya. "Besok Keledai." "Sudah mulai banyak bicaranya sekarang," kata Jack pada anak-anak yang lain. "Baiklah kalau begitu, Pak. Sampai besok." Anak-anak turun kembali ke lembah. Di tengah jalan mereka mampir untuk minum sebentar di mata air yang tadi. Setelah itu mereka duduk-duduk di rumput, sambil memandang gunung-gunung yang menjulang tinggi di sekeliling. "Menurut Pak Effans, hampir tidak ada orang yang tinggal di gunung-gunung sebelah sana itu, karena sulit sekali dicapai," kata Jack "Kurasa tentunya di sana ada binatang liar serta burung-burung yang menarik. Kepingin rasanya pergi melihat-lihat ke situ." "Kenapa tidak kita coba saja mengajak Bill dan ibu ikut dengan kita," kata Philip, sambil menahan si Putih yang hendak menginjak perutnya. "Jangan, Putih. Ayo, turun! Kukumu tajam, sakit perutku kalau kauinjak. Ya, pasti asyik kalau kita bisa ke gunung untuk beberapa hari dengan menunggang keledai, serta membawa bekal makanan." "Berkemah, maksudmu?” kata Jack. "Wah — asyik juga ide itu, Philip. Kita bisa membawa kamera kita, lalu membuat foto yang bagus-bagus di sana. Siapa tahu, mungkin aku nanti bisa melihat beberapa jenis burung yang sudah langka.” "Ya, itu sudah pasti!" kata Philip. "Nah — sekarang Sally Geliat muncul!" Cecak ular tadi menggelincir keluar dari kantung Philip, lalu berbaring melingkar di lekuk siku anak itu, ikut berjemur di bawah sinar matahari. Melihat binatang kecil itu muncul, Dinah langsung cepat-cepat menjauh. Kiki yang bertengger di bahu Jack, memandang cecak ular itu dengan penuh minat "Sally Geliat — manis sekali nama itu!" kata Lucy-Ann. Ia mengelus-elus punggung cecak ular yang berwarna keperakan dengan ujung jarinya. "Lihatlah — rupanya ia geli kuusap-usap dengan jari. Menggeliat-geliat!" "Geliat-geliut!" kata Kiki seketika itu juga. Burung iseng itu senang sekali bermain dengan kata—kata. "Geliat-geliut, geliat-geliut..." "Ya, ya, bagus — tapi sekarang sudah cukup," kata Philip. "Kami semua tahu bahwa kau burung yang pintar, Kiki. Coba kaulihat cecak ular ini, Jack — ia sedikit pun sudah tidak takut lagi sekarang." "Rupanya kau sungguh-sungguh hendak memeliharanya, ya!" kata Dinah dari kejauhan. "Kau kan tahu, aku paling tidak suka pada ular. Ya, ya — aku tahu, itu memang bukan ular — tapi aku takkan heran apabila nanti tahu-tahu aku digigitnya! Kalau sudah begitu, lalu bagaimana?" ‘ "Aku takkan heran jika kau digigit oleh apa pun juga, kalau kau terus bersikap sekonyol itu," kata Philip kesal. "Aku sendiri, rasanya kepingin menggigitmu. Sudahlah — kemari sajalah sebentar, Dinah. Coba kauusap punggung Sally Geliat ini — tatap matanya yang kecil berkilat .... " Dinah terpekik. "Sudah, aku tak tahan lagi. Jangan kaudekati aku, Philip! Binatang itu masih lebih menjijikkan lagi daripada tikus-tikus putih yang pernah kaupelihara beberapa bulan yang lalu. Untung saja mereka kemudian menjadi dewasa, sehingga terpaksa kaulepaskan!" "Sally boleh pergi kapan pun ia mau," kata Philip. "Aku takkan pernah menahan binatang peliharaanku yang ingin pergi. Kau ingin pergi, Sally?" "Geliat-geliut pengap kedap," oceh Kiki, mengulangi berbagai kata yang pernah didengar dan dihafalnya. "Enggas-enggos." "Yuk — kita terus," kata Dinah. "Mungkin saja binatang menjijikkan itu akan masuk lagi ke kantungmu, apabila kita berjalan lagi. Kecuali itu aku juga sudah mulai lapar." Cecak ular itu menghilang ke dalam baju Philip, ketika remaja itu bangkit lalu berjalan lagi. "Sekarang coba berjalan dengan beres, tanpa setiap kali menyelipkan kepalamu di sela kakiku, Putih," kata Philip pada anak kambing yang berjingkrak-jingkrak mengelilinginya. "Aku bisa tersandung nanti, kalau kau terus-menerus begitu. Kadang-kadang kau terlalu manja, Putih!" Anak-anak kembali ke pertanian, sambil menikmati kehangatan sinar matahari serta angin yang selalu menghembuskan hawa sejuk di lereng gunung. Setiba di rumah mereka sudah lapar sekali. Pikiran mereka penuh dengan bayangan meja makan serta piring-piring berisi daging ham, ayam panggang, selada, serta buah frambus dengan lemak susu. Bu Mannering ternyata habis berjalan-jalan pula dengan Bill. Tapi hanya di lembah saja, tidak naik ke lereng gunung. Sudah agak lama juga mereka kembali, dan sementara itu sudah mulai bertanya-tanya kenapa anak-anak belum muncul-muncul juga. Begitu melihat kedua orang dewasa itu, si Putih langsung datang menghampiri sambil berjingkrak-jingkrak. "Lucu sekali si Putih ini!" kata Bu Mannering. "Kurasa selama kita ada di sini, ia pasti takkan mau jauh-jauh lagi. Sayang, anak kambing kalau sudah dewasa menjadi kambing yang keras sekali baunya. Ingat ya, Philip -- kau tidak bisa membawa si Putih pulang bersama kita nanti. Aku tidak mau ada kambing yang memakan habis sayur-sayuranku di kebun serta melahap pakaian yang sedang dijemur, sementara kau bisa tenang-tenang di sekolah!" "Bu, kata Pak Trefor tadi, saudaranya besok akan datang kemari, mengantarkan keledai-keledai tunggangan kita," kata Philip. "Bolehkah kami masing-masing memilih sendiri? Berapa ekor yang akan diantarkannya kemari?" "Ya, kalian pilih saja sendiri besok, kalau mau," kata Bu Mannering. "Aku tidak tahu pasti berapa ekor yang akan diantarkan — mungkin enam. Mudah-mudahan saja aku bisa memilih yang kokoh tegaknya kelak!" "Mereka semua kokoh-kokoh," kata Jack. "Sekokoh kambing gunung. Tapi tidak suka meloncat-loncat seperti kambing. Aku tidak mau kalau disuruh menunggangi kambing gunung. Nanti tahu-tahu dibawa meloncat-loncat dari batu ke batu!" "Hii, baru membayangkannya saja sudah seram rasanya," kata Bu Mannering sambil bergidik. "Besok akan kupilih keledai yang paling tenang, paling diam dan patuh — tanpa kecenderungan berjingkrak-jingkrak." Semua tertawa mendengarnya. Pak Effans datang menghampiri. Wajahnya berseri-seri, senang melihat para tamunya nampak bahagia. "Yuk, makan siang," katanya mengajak "Bu Evans sudah selesai mengatur meja." "Kurasa tak lama lagi aku pasti akan sudah berbicara dengan logat orang sini," kata Lucy-Ann, lalu mengucapkan kalimat pendek dengan logat Wales. Sambil tertawa-tawa mereka menuju ke dapur, didului oleh si Putih. Bu Evans kelihatannya sama sekali tidak berkeberatan. Tapi kemudian anak kambing itu diusirnya juga dan disuruh turun, yaitu ketika ia meloncat naik ke atas kursi. Seekor ayam betina muncul dari bawah meja sambil berlari. Kiki terbang ke atas sebuah rak. Di situ ia bertengger di atas sebongkah daging ham yang dibungkus dengan kain, sementara matanya melirik ke arah meja yang ada di bawahnya. Rupanya kakaktua itu sedang meneliti, buah apa lagi yang tersedia sekarang di situ. "Cul si kadal muncul," ocehnya, lalu menirukan bunyi sumbat dicabut dari botol. Pak Effans memandang Kiki dengan perasaan kagum. "Bukan main!" katanya. "Belum pernah aku melihat burung seperti dia!" Kini Kiki menirukan suara orang tersedak-sedak. Pak Effans sampai terpingkal-pingkal karena geli. "Sudah, Kiki!" tukas Bu Mannering. Keningnya berkerut karena kesal. "Sudah berapa kali kukatakan, jangan kautirukan bunyi itu?" "Sudah berapa kali kukatakan, bersihkan kakimu?!" balas Kiki, lalu menjerit. Pak Effans semakin terpingkal-pingkal. Karena tahu ada yang mengagumi dirinya, Kiki semakin pamer. Paruhnya dikatup-katupkan dengan keras. Jambulnya dikembangkan, sementara itu mengeluarkan bermacam-macam bunyi yang aneh-aneh. "Ayo, Kiki! Sini!" panggil Jack dengan suara galak. Kiki langsung menurut. Burung iseng itu terbang menghampiri, lalu hinggap di atas bahu remaja itu. Jack menotok paruhnya. "Awas ya — kalau kau masih konyol terus, nanti kukurung di kamar tidur. Burung nakal! Burung konyol!" "Polly malang! Polly nakal!" kata Kiki sambil mencubit telinga Jack. Anak itu langsung menepuk paruh Kiki sekali lagi. "Diam, kataku! Aku tidak mau dengar apa-apa lagi sekarang!" katanya dengan nada tegas. Kiki cepat-cepat menyembunyikan kepalanya di bawah sayap, lalu berbisik-bisik pada dirinya sendiri. Pak Effans sangat geli melihat tingkah laku burung jenaka itu. Ia ingin memiliki kakaktua seperti Kiki! Makan siang yang dihadapi ternyata sama sedapnya seperti hidangan-hidangan sebelumnya. Bu Evans senang sekali melihat anak-anak makan dengan lahap. Begitu ada piring mulai kosong, wanita yang baik hati itu cepat-cepat menyuruh tambah. Tapi bahkan Jack dan Philip pun akhirnya tidak mampu makan lebih banyak lagi, walau Bu Evans mendesak-desak terus. "Nanti pukul empat tidak ada apa-apa," katanya berulang-ulang. "Baru pukul enam kita makan sore, sambil minum teh. Jadi sekarang makan saja sekenyang-kenyangnya!" "Geliat-geliut," kata Kiki dengan tiba-tiba. Dinah terpekik ngeri. Cecak ular yang ditemukan Philip di lereng gunung pagi itu menggelincir keluar dari lengan kemeja anak itu! Philip cepat-cepat mendorongnya masuk lagi ke dalam, dengan harapan tidak ada orang lain yang melihat. Tapi Bill awas sekali matanya. Ia tertawa nyengir. "Ada tambahan baru lagi?" katanya. "Kelihatannya akan asyik liburan kita kali ini!" Bab 5 KELEDAI-KELEDAI DATANG PERISTIWA mengasyikkan sesudah itu tentu saja datangnya saudara laki-laki Pak Effans, yang mengantarkan keledai-keledai tunggangan. Anak-anak menunggu dengan sikap tidak- sabar sepanjang pagi keesokan harinya. Tidak ada yang mau berjalan-jalan, biarpun dekat-dekat saja. Soalnya, mereka ingin melihat kawanan keledai itu tiba. Lucy-Ann yang paling dulu melihat. "Keledai kita datang!" serunya. "Itu, di sana — di lereng gunung!" • Keempat remaja itu berhamburan lari mendaki jalan setapak, menyongsong kedatangan keledai-keledai itu. Jumlahnya delapan ekor. Mereka kecil tapi kekar, dengan mata besar dan cerah, serta ekor panjang yang selalu diayun-ayunkan mengusir lalat. Semua kelabu warnanya. Kuping mereka yang besar bergerak-gerak, sementara mereka berjalan dengan langkah tetap mendaki jalan setapak yang terjal. Keledai-keledai itu digiring oleh saudara laki-laki Pak Trefor. Orangnya juga sudah tua. Agak mirip Pak Trefor, tapi rambut dan janggutnya lebih rapi. Bola matanya juga berwarna biru cerah Tapi sikapnya takut-takut, seolah-olah sering mengalami hal-hal yang tidak enak. Ia tersenyum sekilas, ketika anak-anak datang menghampirinya dengan bersemangat, "Bolehkah kami menunggangi mereka sekarang juga?" tanya Philip. "Kami sudah biasa menunggang kuda. Sini, Lucy-Ann, biar kubantu kau naik!" Philip membantu anak itu naik ke punggung keledainya. Dinah tidak memerlukan bantuan sama sekali. Dengan sekali loncat saja ia sudah ada di atas punggung keledainya. Gayanya meloncat persis seperti si Putih. Keledai-keledai itu meneruskan langkah mendaki jalan terjal. Gerak mereka tidak secepat tadi lagi, karena kini sudah membawa beban yang lumayan beratnya. Si Putih berlari-lari kecil di sisi keledai yang ditunggangi Philip, sambil membentur-benturkan kepala ke kaki keledai itu. Rupanya si Putih agak cemburu. "Halo! Ini kami, sudah kembali!" seru Jack. Ia menyuruh keledainya berjalan menghampiri Bu Mannering yang menunggu bersama Bill. "Kita boleh memilih sendiri, dari kedelapan keledai ini. Anda mau yang mana, Bibi Allie?" Saudara Pak Trefor bernama David. Ia berdiri sambil tersenyum-senyum, sementara semua asyik meneliti dan mencoba keledai-keledai bawaannya. Sementara itu Pak Trefor tiba pula. Kedua orang tua bersaudara itu kemudian asyik bercakap-cakap, dalam bahasa Wales. Kemudian Pak Effans muncul bersama istrinya. Ramai juga keadaan di pekarangan pertanian itu, karena semua sibuk membicarakan kawanan keledai yang baru tiba itu. "Kami ingin sekali melancong ke gunung naik keledai," kata Philip membujuk-bujuk. ”Boleh ya, Bu? Tentu saja bersama ibu dan Bill. Maksudku, berkemah di sana beberapa hari. Menurut pendapatku, di gunung-gunung sana itu pasti banyak terdapat burung yang sudah langka sekarang. Jack juga berpendapat begitu. Dan binatang pun, pasti banyak pula!" "Asyik juga kedengarannya," kata ibunya."Sudah lama sekali aku tidak pernah berkemah lagi, dan dengan cuaca yang begini indah, pasti itu akan menyenangkan. Bagaimana pendapatmu, Bill?" "Kalau aku jelas setuju!" kata Bill. Ia menyukai kehidupan di alam bebas, serta sangat berpengalaman dalam urusan berkemah. "Untukmu itu pasti baik, Allie! Kita bisa membawa beberapa ekor keledai lagi, untuk mengangkut barang-barang." "Wah — jadi kita benar-benar bisa pergi, Bill?" seru Lucy-Ann. Ia gembira sekali. Dinah menandak-nandak, mengelilingi Bill. Asyik — mereka akan mengembara naik keledai ke gunung, dengan membawa kemah serta bekal makanan! "Kita akan bertualang nanti," kata Dinah. "Tentu saja bukan petualangan seperti yang biasa kita alami, tapi pengalaman yang sangat menyenangkan. Kau pasti senang, Lucy-Ann. Ya, kan?" "Memang," jawab Lucy-Ann. Ia tidak pernah menyenangi petualangan, apabila sedang terlibat di dalamnya. "Kalau petualangan seperti itu, aku senang sekali! Kapan kita berangkat?" "Kurasa lebih baik kita membiasakan diri dulu dengan keledai-keledai ini," kata Bill. "Aku tidak biasa naik keledai, begitu pula Bibi Allie. Mulanya kita pasti masih merasa kaku. Kita harus bisa merasa leluasa dulu, dan setelah itu baru berangkat. Bagaimana kalau minggu depan?" "Aduh — aku tak sanggup menunggu selama itu!" keluh Dinah. Semua tertawa melihat tampangnya yang langsung berubah. "Pak Effans," kata Jack sambil menoleh ke arah suami Bu Evans, "tempat mana yang menurut Anda sebaiknya kami datangi?" Pak Effans berpikir-pikir. Ia berbicara sebentar dalam bahasa Wales dengan Pak Trefor. Kemudian ia memberi jawaban. "Menurut Trefor ini, Lembah Kupu-kupu juga bagus," katanya. "Kecuali kupu-kupu, di sana juga banyak burung." "Lembah Kupu-kupu? Wah, asyik!" kata Jack dengan gembira. "Hebat!" sambut Philip. "Bagus sekali! Kita ke sana. Jauhkah tempatnya dari sini?" "Begitulah — dua hari, kalau dengan keledai," jawab Pak Effans. "Kita memerlukan penunjuk jalan — Trefor, Effans, atau bisa juga Pak David ini," kata Bill. Ia menghitung—hitung. "Untuk dia diperlukan seekor keledai. Lalu paling sedikit dua lagi untuk mengangkut perbekalan, termasuk tenda perkemahan. Sedang kita sendiri memerlukan enam ekor keledai. Jadi keseluruhannya sembilan. Padahal ini cuma ada delapan ekor. Effans, tolong tanyakan pada orang ini, apakah ia masih memiliki seekor keledai lagi." Ternyata saudara laki-laki Pak Trefor sebenarnya bermaksud pulang naik keledai, dengan membawa seekor lagi untuk mengangkut hasil pertanian yang akan dijual. Dengan begitu yang sebenarnya hendak disewakan hanya enam ekor saja. Pak Effans membujuknya agar mau kembali lagi seminggu setelah itu dengan tiga ekor keledai, sebagai tambahan pada keenam ekor yang sudah diantarkan. "Nanti kau bisa menjadi pemandu mereka ini," kata Pak Effans. "Itu kan uang! Kau menunggang seekor, mereka enam, lalu dua untuk mengangkut barang. Penerimaanmu akan besar, David!" Pak David menyetujui tawaran itu. Ia berjanji akan datang hari Rabu pekan mendatang, dengan membawa tiga ekor keledai lagi. Anak-anak gembira sekali. Mereka mengerumuni kawanan keledai, menepuk-nepuk punggung binatang-binatang itu, mengelus-elus, serta menunggangi mereka. Keledai-keledai itu kelihatannya senang mendapat perhatian. Mereka berdiri diam, sambil memperhatikan anak-anak. Hanya ekor mereka saja yang terayun-ayun. Si Putih berlari-lari tak menentu, menyusup-nyusup ke bawah perut keledai-keledai itu. Pak Trefor membantu saudaranya menaikkan berbagai barang bawaan ke atas punggung seekor keledai. Bawaan itu makin lama makin banyak. Tapi keledai itu tetap berdiri dengan sikap sabar, seolah-olah tidak peduli. Tapi kemudian meringkik, seolah-olah ingin cepat-cepat berangkat. Kiki menghambur lurus ke udara. Ia ketakutan, karena belum pernah mendengar ringkikan keledai. Keledai itu meringkik-ringkik lagi, sambil mengentak-entakkan kaki depannya. "Aduh — sekarang Kiki pasti ikut-ikut meringkik pula," kata Jack. "Tapi kita harus mencegahnya. Ringkikan keledai yang sebenarnya saja sudah tidak enak bunyinya — apalagi kalau Kiki yang meringkik!" Akhirnya keledai itu selesai dimuati. Pak David naik ke punggung tunggangannya, mengucapkan salam perpisahan dengan sopan pada semua yang ada di situ, lalu pergi menuruni jalan setapak yang tadi. la memegang tali penuntun keledai yang membawa muatan. "Nah, sekarang masing-masing bisa memilih keledai yang diingini!" kata Lucy-Ann dengan gembira. "Bibi Allie dulu!" "Ah, bagiku semua kelihatannya sama saja!" kata Bu Mannering. Bill bertanya pada Pak Effans, apakah petani itu tahu keledai mana yang paling tenang. Pak Effans meneruskan pertanyaan itu pada Pak Trefor. Ternyata gembala domba itu tahu. Ia menuding seekor keledai kecil dengan tatapan mata sabar, sambil mengatakan sesuatu dalam bahasa Wales. "Katanya, yang itu cocok bagi Anda," kata Pak Effans menerjemahkan. "Binatang itu tenang dan baik. Namanya Sabar." "Kalau begitu yang itu saja untukku," kata Bu Mannering. "Ini keledaiku, Anak-anak — yang di keningnya ada belang hitam." "Aku ingin yang ini!" seru Lucy-Ann sambil menarik-narik seekor keledai yang tidak henti-hentinya mendongakkan kepala dan sekali-sekali mengentakkan kaki ke tanah. "Aku suka padanya. Siapa namanya, Pak Trefor?" Pak Trefor mengatakan sesuatu. Tapi anak-anak tidak memahami maksudnya. Sekali lagi Pak Effans menjelaskan. "Namanya Semanggi. Lalu yang ini si Kelabu. Itu si Belang. Sedang yang dua itu, itu si Kuning dan si Manis." Lucy-Ann sudah memilih Semanggi. Jack mengambil Kelabu, sedang Dinah lebih menyukai Belang. Bill mendapat Kuning, dan Philip kebagian Manis. Tidak ada yang merasa kecewa. Semua menyukai keledai masing-masing. . "Yuk, kita melancong sebentar naik keledai," kata Jack sambil naik ke punggung keledainya. "Yuk, Bill. Ayolah, Bibi Allie. Kita coba dulu menunggangi mereka — bolak-balik sebentar di jalan itu." Sementara Effans beserta istrinya memperhatikan sambil tertawa-tawa, mereka berenam mencoba keledai masing-masing. Mereka tidak bisa cepat, karena jalan mendaki. Bill menasihati anak-anak agar jangan mencoba menyuruh keledai mereka berjalan lebih cepat. "Nanti kalau turun mereka pasti bisa lebih cepat," katanya. "Tapi ke atas berat, karena ada kita yang membebani punggung." Menyenangkan sekali rasanya menunggang keledai, mendaki lereng gunung yang terjal. Bu Mannering mula-mula agak gugup ketika sampai di bagian yang berbatu-batu. Tapi keledai tunggangannya cekatan sekali, seperti juga keledai-keledai yang lain. Binatang itu tetap melangkah dengan tenang ketika melewati bagian yang banyak sekali batu-batunya. Bill berada di dekatnya, agar dapat segera menolong Bu Mannering bila ia memerlukan bantuan. Tapi ternyata tidak! Sedang Lucy-Ann serta ketiga remaja lainnya, mereka sudah jelas tidak mau dibantu. Mereka sudah biasa menunggang kuda, dan keledai sangat mudah dikendalikan. "Sekarang kita kembali!“ seru Bill memberi .aba-aba. Semua membalikkan keledai masing-masing, kini menuju ke bawah. Si Putih ikut berbalik. Tadi anak kambing itu berjalan mendului, sambil berjingkrak dan melompat-lompat "Asyik, ah!" kata Lucy-Ann, sementara keenam keledai itu berlari-lari kecil menuruni jalan sempit itu. Bu Mannering lebih suka kalau keledainya berjalan santai saja. "Keledaiku ini suka membentur-bentur," katanya pada Bill. "Setiap kali aku bergerak turun, punggungnya naik. Kalau aku naik, dia turun! Jadi setiap kali kami berbenturan lagi!" Semua tertawa geli. Mereka merasa menyesal ketika sudah tiba kembali di rumah, karena masih ingin lebih lama lagi melancong sambil menunggang keledai. Tapi makanan sudah dihidangkan. Bu Evans menunggu dengan wajah berseri-seri di ambang pintu. Karenanya keenam keledai itu cepat-cepat digiring ke lapangan, lalu segala perkakas dibawa ke kandang. "Lama-lama kau akan biasa juga menunggang keledai," kata Bill pada Bu Mannering. "Rabu minggu depan kau pasti akan sudah siap untuk berangkat! Saat itu kau akan merasa seperti sudah selalu menunggang keledai." "Ya, kurasa juga begitu," kata Bu Mannering. Kemudian ia menjenguk ke bawah meja, karena merasa ada yang mematuk-matuk kakinya. Ternyata seekor ayam betina yang montok, berbulu coklat. "Husy— sana, pergi! Jangan kaupatuki kakiku!" Ayam betina itu lari. Tapi dengan segera si Putih datang menggantikan. Anak kambing itu baru saja didorong turun dari pangkuan Philip, lalu mulai iseng menggigiti tali sepatu siapa saja yang kakinya terjulur di bawah meja. Bu Mannering mengusirnya. Si Putih pindah lagi. Kini tepi gaun Bu Evans yang dikunyah-kunyahnya. Istri petani itu tidak mempedulikan hal-hal seperti itu. Jadi si Putih terus saja asyik mengunyah-ngunyah. Keesokan harinya Bu Mannering merasa seluruh tubuhnya pegal, karena tidak biasa menunggang keledai. Tapi bukan ia sendiri, Dinah dan Lucy-Ann pun berkeluh-kesah. Sedang Bill, Jack, dan Philip tidak apa-apa. "Aduh — rasanya aku seperti sudah jompo saja sekarang," keluh Bu Mannering ketika menuruni tangga rumah. "Rasanya takkan mampu lagi menunggang keledai!" Tapi rasa pegal itu kemudian lenyap dengan sendirinya. Dengan segera semua sudah terbiasa melancong naik keledai setiap hari ke gunung, sambil mengagumi pemandangan yang indah. Si Putih selalu ikut dengan mereka. Anak kambing itu berjalan sambil meloncat-loncat dengan lincah, seakan-akan tidak mengenal capek. Kiki bertengger di bahu Jack. Sekali-sekali ia terbang membubung, untuk menakut-nakuti burung yang kebetulan lewat di atas kepala. Burung-burung itu cepat-cepat terbang menjauh. Mereka tercengang mendengar ocehan Kiki yang menyuruh mereka agar membersihkan kaki. "Dua hari lagi sudah Rabu," kata Lucy-Ann dengan perasaan senang. "Saat itu kita pasti sudah benar-benar siap — tahan berjam-jam duduk di atas punggung keledai!" "Ya, lalu kita berangkat menuju Lembah Kupu-kupu!" kata Jack. "Aku ingin tahu, seperti apa pemandangan di sana. Pasti penuh sayap berwarna-warni, menggelepar di mana-mana. Asyik!" "Ayo, Rabu — cepatlah tiba!" kata Dinah. "Tinggal empat puluh jam lagi — lalu kita berangkat!" Tapi kemudian terjadi sesuatu yang mengacaukan rencana indah itu. Bab 6 KE LEMBAH KUPU-KUPU PERISTIWA itu terjadi keesokan harinya, yaitu ketika Bu Mannering ikut dengan Bu Evans ke gudang yang besar. Tahu-tahu pintu dibantingkan angin sehingga tertutup dengan tiba-tiba. Bu Mannering menjerit kesakitan. Tangannya terjepit pintu. Bu Evans bergegas membukakan. Bu Mannering memegang tangannya yang cedera. Bill bergegas-gegas datang. "Kita harus cepat-cepat ke dokter," katanya prihatin. "Tunggu sebentar, akan kuambil mobil dulu. Mana anak-anak? Sedang melancong naik keledai? Bu Evans — nanti kalau mereka kembali, tolong beri tahu mereka, ya? Katakan, mereka tidak usah khawatir. Kurasa cedera ini tidak seberapa parah. Tapi walau begitu lebih baik diperiksakan juga di rumah sakit, kalau-kalau ada tulang yang patah!" Dengan wajah masih pucat, Bu Mannering cepat-cepat diantar dengan mobil menuruni jalan yang terjal, menuju kota yang jaraknya sekitar lima belas mil dari tempat pertanian itu, di lembah sebelah. Ketika anak-anak pulang, mereka kaget sekali mendengar apa yang terjadi. "Kasihan ibu!" kata Philip. "Pasti sakit sekali tadi, ketika tangannya terjepit pintu berat itu." "O ya, tentu saja," kata Bu Evans. Ia nampak gugup. "Ia menjerit ketika pintu menjepit tangannya. Tapi setelah itu tidak terdengar lagi suaranya. Kalian tidak perlu terlalu sedih — malam ini juga ia pasti akan sudah kembali!" "Tapi bagaimana dengan besok?" tanya Lucy-Ann gelisah. "Mungkinkah ia bisa ikut, dengan tangannya yang cedera itu?" "Yah — kalau itu, tentu saja tidak bisa," kata Bu Evans. "Tapi ia bisa tinggal di sini bersama aku. Aku akan merawatnya baik-baik! Kalian kan bisa pergi sendiri bersama Pak Cunningham, dengan David sebagai penunjuk jalan." "Tapi maukah Bill ikut, kalau ibu tidak bisa?"kata Philip. "Ia kan sayang sekali pada ibu. Sialan — kenapa ini harus terjadi, sementara kita sudah merencanakan pelancongan yang benar-benar asyik. Kasihan ibu! Mudah-mudahan saja cederanya tidak parah." Petang itu juga Bu Mannering sudah kembali bersama Bill, menjelang saat makan sore. Ia kelihatannya sudah biasa lagi, dan meremehkan cedera yang dialaminya. "Kami sudah memeriksakannya — dan ternyata ada tulang kecil yang patah - di sini," kata Bill. Ia menunjukkan letak tulang itu pada punggung tangannya. "Untuk sementara ibu perlu beristirahat Tangannya harus tetap terbalut, supaya tulang yang patah itu bisa menyambung lagi. Tiga hari lagi ia harus kembali ke rumah sakit, untuk pemeriksaan selanjutnya." "Aku sendiri menyesal atas kejadian ini, Anak-anak," kata Bu Mannering, ketika melihat wajah keempat remaja itu nampak lesu. "Dan Bill — kau sebetulnya tak perlu mengantar aku ke sana. Biar tanganku ini cedera, tapi aku masih sanggup menyetir mobil sendiri. Kau ikut saja dengan anak—anak besok. Tak sampai hatiku melihat mereka kecewa!" "Apa — meninggalkan dirimu dalam keadaan begini?" kata Bill. "Tidak bisa, Allie! Aku akan mengantarmu hari Jumat nanti, dengan mobil. Anak-anak bisa pergi dengan David, jika ia mau! Perjalanan itu sama sekali tidak ada bahayanya — dan beberapa hari lagi mereka akan sudah kembali. Mereka semua sudah mahir menunggang keledai. Dan mungkin pula mereka senang melancong sendiri, tanpa kita!" "Kami lebih senang jika Anda dan Bibi Allie juga ikut," kata Jack. "Tapi jika tidak bisa, apa boleh buat! Kami takkan apa-apa kalau pergi sendiri, Bill. Kan ada Pak David sebagai penunjuk jalan. Sedang mengenai yang lain-lainnya, kami sudah cukup besar — sudah bisa mengurus diri sendiri." Akhirnya ditetapkan bahwa keempat remaja itu akan berangkat sendiri dengan Pak David sebagai penunjuk jalan. Philip bertanya pada Bill, apakah cedera yang dialami ibunya parah atau tidak. “Ah tidak — beberapa hari lagi pasti akan sembuh kembali," kata Bill. "Tapi aku ingin mengawasi agar ibumu benar-benar mengistirahatkan tangannya selama itu. Aku juga hendak mengantarnya ke dokter. tiga hari lagi. Sayang aku tidak bisa ikut dengan kalian. Tapi kalian pasti takkan apa-apa dalam perjalanan. Aku tidak melihat kemungkinan kalian akan mengalami kesulitan, atau terjerumus ke dalam petualangan yang tidak disangka-sangka saat kalian sedang melancong naik keledai di gunung, bersama Pak David. Mungkin kalau ibumu sudah sembuh, nanti kita masih bisa melancong bersama-sama." Malam itu anak-anak sibuk sekali mengatur barang-barang yang akan dibawa. Mereka menyiapkan dua buah tenda kecil, lalu kantung tidur, masing-masing selembar, dua alas untuk dihamparkan di tanah, selanjutnya kamera, teropong, pakaian — dan tentu saja bahan makanan. Yang terakhir itu urusan Bu Evans. Bill memperhatikan, sementara wanita itu sibuk mengemaskan perbekalan makanan yang menurutnya diperlukan untuk perjalanan beberapa hari. "Aku tadi tidak sampai hati mencegahnya," katanya kemudian pada anak-anak. "Tapi makanan yang dikemaskannya, untuk satu bulan pasti masih cukup. Sungguh! Bayangkan — daging ham saja, sebongkah utuh!" "Wahl" kata Jack sambil menjilat bibir. "Lalu apa lagi?" "Lidah asin, telur rebus, berbagai jenis makanan kalengan, kue-kue, dan entah apa lagi tadi!" kata Philip. "Pokoknya, kita bisa berpesta-pora nanti!" "Yah," kata Lucy-Ann, "menurutku, di luar rumah kita selalu lebih banyak makan, karena semua rasanya..." "Lebih sedap!" seru anak-anak lainnya serempak. Mereka sudah tahu, karena Lucy-Ann berulang kali mengucapkannya setiap kali sedang berlibur. Ia tertawa "Yah, setidak-tidaknya kan menyenangkan, punya bekal makanan yang banyak sekali! Lagi pula, ada Pak David — kita harus membawa bekal pula untuk dia!" "Ia kelihatannya tidak biasa makan banyak," kata Dinah. "Orangnya begitu ceking!" "Sebaiknya kalian lekas-lekas tidur saja sekarang, Anak-anak," kata Bu Mannering beberapa saat kemudian. "Menurut Pak Effans, besok perjalanannya lama sekali." "Baiklah — supaya besok cepat tiba," kata Lucy-Ann. "Bagaimana rasanya tangan Anda sekarang, Bibi Allie?" "Sudah tidak terasa sakit lagi," jawab Bu Mannering. "Sebetulnya aku bisa saja ikut dengan kalian, besok!" "Eh, eh, jangan!" kata Bill dengan buru-buru, karena khawatir kalau-kalau Bu Mannering benar-benar berniat hendak ikut. "Jangan khawatir, aku takkan sembrono," kata Bu Mannering sambil tertawa. "Enak juga ya, sekali-sekali bisa tenang — tanpa empat berandal yang berisik serta burung yang lebih berisik lagi selama beberapa hari!" Keesokan harinya, pagi sekali anak-anak sudah bangun. Tapi si Putih masih belum puas tidur. Anak kambing itu semakin meringkuk dalam selimut Philip, ketika anak itu hendak bangun. Kiki menyembulkan kepalanya dari bawah sayap, lalu menggaruk-garuk jambulnya. "Geliat—geliut," ocehnya. Ia melihat cecak ular peliharaan Philip, yang melingkar di salah satu sudut kamar. Binatang itu sebenarnya ingin ikut naik ke tempat tidur Philip. Tapi ia takut pada si Putih, yang suka menggigit-gigit apa saja yang ada di dekatnya. Jack dan Philip pergi ke jendela, lalu memandang ke luar. Cuaca saat itu cerah sekali. Gunung-gunung yang menjulang tinggi nampak seindah biasanya. "Gunung-gunung itu kelihatannya begitu bersih, seperti habis dicuci," kata Jack; "Begitu pula langit — bersih dan segar sekali!" "Aku suka pada suasana pagi hari,” kata Philip sambil mengenakan celana pendeknya. "Ada semacam perasaan baru mengenainya — seolah-olah merupakan pagi pertama yang pernah ada!" Si Putih pergi ke pojok kamar tempat Sally melingkar. Cecak ular itu cepat-cepat menggelincir pergi, bersembunyi di bawah bufet. Philip meraupnya. Binatang melata itu dengan segera meluncur masuk ke dalam kantung celana. "Nantilah kutangkapkan beberapa ekor lalat untuk sarapanmu, Sally," kata Philip. "Diam, Kiki! Terbangun seisi rumah ini nanti karena batukmu yang jelek itu!" Kiki sedang menirukan bunyi batuk seorang paman Jack yang sudah tua. Bunyinya parau, tidak enak didengar. Burung itu langsung berhenti ketika dilarang Philip, lalu meloncat ke bahu Jack. "Burung kocak, burung. konyol," kata Jack dengan manis, sambil menggaruk-garuk tengkuk burung kakaktua itu. "Yuk, Philip - kita lihat sebentar, apakah anak-anak perempuan sudah bangun." Dinah dan Lucy-Ann baru saja terbangun saat itu. Keduanya nampak gembira menghadapi hari yang cerah. Apalagi membayangkan hari itu akan berangkat berkemah ke gunung. "Cecak ular jelek itu ada padamu?" tanya Dinah cemas, sambil memandang Philip. "Ada — tapi entah ke mana tadi," kata Philip. Ia meraba-raba pakaiannya. "Begitulah Sally Geliat — keluyuran ke mana-mana!" Dinah bergidik. lalu pergi ke kamar mandi. Ternyata si Putih ada di situ, sedang asyik mengunyah-ngunyah keset yang terbuat dari gabus. Kelihatannya nikmat sekali. "Aduh, Putih — kena marah Bu. Evans kau nanti!" kata Dinah. Diusirnya anak kambing itu ke luar. Tangan Bu Mannering yang cedera terasa kaku dan nyeri pagi itu. Tapi ia diam saja, karena tidak ingin menyebabkan anak-anak merasa cemas. Ia ikut gembira melihat cuaca pagi itu begitu cerah. Dengan perasaan geli diperhatikannya kesibukan Bu Evans mengemasi bekal makanan yang sudah disiapkan untuk anak-anak, "Jika semuanya itu kalian makan, nanti kalian pasti takkan bisa pulang naik keledai," kata Bu Mannering. "Kalian akan terlalu gendut, sehingga terlalu berat bagi keledai-keledai kalian." "Mereka tidak boleh sampai kelaparan," kata Bu Evans yang baik hati. "Nah, beres! Kurasa tak ada lagi yang lupa. Anak-anak — nanti keledai yang satu khusus kalian pakai untuk mengangkut makanan, sedang barang-barang selebihnya kalian muat ke atas keledai yang lainnya. Nantilah kuawasi, agar David memuat segalanya dengan rapi. Sambil sarapan, anak-anak mendengar wanita itu berbicara terus dengan alun suaranya yang seperti menyanyi. Mereka bahagia sekali saat itu Satu-satunya yang kurang menyenangkan ialah bahwa Bill dan Bu Mannering tidak jadi ikut bersama mereka nanti. Tapi di pihak lain, kalau tidak ada orang dewasa yang ikut, mereka bisa lebih bebas! Kiki menirukan bunyi orang terceguk sambil melirik Bu Mannering, yang langsung memelototinya. "Kau melakukannya dengan sengaja, Kiki!" tukas Bu Mannering. "Minta ditabok paruhmu, ya?!" "Maaf " kata Kiki, lalu terkekeh-kekeh. Sepotong daging asap menyumbat kerongkongan Pak Effans, karena ia tertawa dengan mulut penuh makanan. Sebagai akibatnya ia pun terceguk-ceguk. "Maaf, look you!" ujarnya di sela cegukan pada Bu Mannering. Semua tertawa geli melihat wajah Pak Effans yang nampak lucu, dengan matanya yang terbelalak karena kaget. "Nah, itu David sudah datang!" seru Bu Evans dari ambang pintu. Ia ke situ karena hendak mengusir seekor kalkun yang tahu-tahu muncul sambil berbunyi menengguk-mengguk. Kalkun itu tercengang, ketika tahu-tahu Kiki menirukan bunyinya. "Husy!" seru Bu Evans mengusir kalkun, lalu menyapa Pak David, "Selamat pagi, David! Kau pagi sekali. Rupanya kau yang membawa cuaca cerah ini, ya!" "Memang," kata Pak David dalam bahasa Wales, sambil tersenyum malu ke arah semua yang sedang sarapan di dapur. la dikerumuni keledai-keledainya yang menunggu dengan sabar. "Yuk — kita naikkan barang-barang kita ke keledai, lalu berangkat!" seru Jack. Ia tidak tahan lagi duduk lebih lama. Anak—anak bergegas keluar. Pak David menaikkan barang-barang bawaan ke atas punggung keledai, dibantu oleh Pak Effans. Seekor keledai memanggul dua keranjang besar yang digantungkan di sisi kiri dan kanannya. Keranjang-keranjang untuk tempat bekal makanan. Sedang keledai yang satu lagi mengangkut barang-barang lainnya, yang diikatkan ke punggungnya yang lebar. Kedua hewan pengangkut itu berdiri diam selama Pak David dan Pak Effans sibuk bekerja. Hanya telinga mereka saja yang sekali-sekali bergerak, apabila ada lalat hinggap di situ. "Nah — sudah siap berangkat sekarang?" kata Philip. "Rasanya tidak ada lagi yang terlupa. Eh — mana teropongku?" ' Akhirnya semua sudah siap. Pak David diberi tahu bahwa Bill dan Bu Mannering tidak jadi ikut. Pak Effans mengatakan bahwa dua keledai yang kelebihan akan diurusnya selama Pak David mengantarkan anak-anak melancong. Pak David kelihatannya tidak begitu bergairah, ketika mendengar bahwa ia sendiri saja yang akan pergi bersama anak-anak. Kelihatannya seakan-akan agak takut, kata Bill dalam hati. Kasihan — rupanya ia pemalu! Bill menyayangkan, kenapa bukan Pak Effans saja yang mengantarkan anak-anak. Tapi Jack dan Philip sudah biasa berkemah, jadi bisa diandalkan bahwa mereka tidak akan berbuat yang bukan-bukan. "Kami berangkat sekarang!" seru keempat remaja itu ketika iring-iringan keledai mulai meninggalkan tempat pertanian. "Selamat tinggal! Beberapa hari lagi kami akan sudah kembali. Hati-hati dengan tangan yang cedera itu, Bu! Kami datang, Lembah Kupu-kupu!" Bab 7 DI PERJALANAN ROMBONGAN kecil itu berangkat, diantar dengan lambaian tangan Bill, Bu Mannering, Pak Effans, dan Bu Evan. Mereka mengambil jalan kecil yang lewat dekat pondok tempat tinggal Pak Trefor. Keledai-keledai yang ditunggangi berjalan dengan langkah pasti, mendaki lereng yang terjal. Si Putih ikut sambil berlari-lari. Anak kambing yang masih kecil itu menyusup-nyusup di bawah perut keledai-keledai yang sedang berjalan. Seenaknya saja ia berbuat begitu. Sedang keledai-keledai itu kelihatannya senang padanya. Si Belang menurunkan kepalanya sedikit untuk menyentuh si Putih, setiap kali anak kambing itu muncul di dekatnya. Kiki bertengger di bahu Jack, seperti biasa. Kelihatannya ia menikmati gerak langkah keledai yang menyebabkan ia terayun-ayun. Ia berbisik-bisik di telinga Jack, sambil mengatup-ngatupkan paruh. Beberapa saat kemudian rombongan itu sampai di pondok Pak Trefor, yang saat itu sedang sibuk mengurus domba yang sakit di luar. Saudara Pak David itu datang menyongsong mereka. Rambutnya yang gondrong tergerai dipermainkan angin, sedang bola matanya yang biru bersinar cerah. Kedua bersaudara itu bercakap-cakap sebentar dalam bahasa mereka. Pak David kedengarannya seperti berkeluh-kesah, sedang Pak Trefor meremehkan ucapannya. Kemudian Pak David membentangkan peta yang dipinjamkan Bill padanya, sambil mengatakan sesuatu. Dan gerak-geriknya nampak bahwa ia mengatakan tidak memahami peta itu. Pak Trefor kemudian berbicara dengan nada bersungguh-sungguh, sambil menunjuk-nunjuk ke berapa arah di peta. Setiap kali hendak menandaskan sesuatu, ia menyodok Pak David dengan telunjuknya. Menurut dugaan anak-anak, pasti ia sedang menjelaskan jalan yang harus ditempuh. "Mudah-mudahan saja Pak David tahu jalannya nanti," kata Jack. "Mungkin semula ia mengharapkan Bill akan bisa membantunya membaca peta, jika Bill jadi ikut. Kelihatannya ia mengatakan pada Pak Trefor bahwa ia tidak begitu tahu pasti jalan mana yang harus diambil." "Itu kan bukan soal," kata Philip sambil menepiskan si Putih yang hendak meloncat naik ke atas punggung keledainya. "Aku memang ingin melihat Lembah Kupu-kupu — tapi kalau tidak jadi ke sana pun tidak apa, asal kita bisa berkemah di daerah pegunungan yang permai ini" "Betul juga katamu," kata Jack. "Pokoknya, akan banyak kesempatan kita melihat margasatwa. Yuk, Pak David! Kita terus saja sekarang!" Pak David langsung naik lagi ke punggung keledainya sambil mengucapkan selamat tinggal pada saudaranya. Rombongan kecil itu melanjutkan perjalanan, mengambil jalan sempit di lereng yang arahnya bisa dibilang mendatar. Asyik rasanya menunggang keledai di tempat yang begitu tinggi. sambil melayangkan pandangan ke arah lembah yang terbentang jauh di bawah kaki. Matahari belum begitu tinggi, sehingga ada beberapa bagian lembah yang masih terselubung bayangan gunung. Burung layang-layang berlayapan di sekeliling mereka, menyambar-nyambar serangga yang beterbangan di udara. Sayap burung-burung itu berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Kiki memperhatikan mereka dengan matanya yang tajam. Ia sendiri juga sering mencoba menangkap serangga yang sedang terbang, tapi belum pernah berhasil. Ah — serangga kan tidak seenak buah! Rombongan itu bergerak terus dengan santai. Kemudian sampai di suatu hutan kecil, yang di dekatnya ada aliran air. Sementara itu semua sudah merasa lapar dan juga haus. "Yuk, kita piknik dulu di sini," kata Philip sambil merosot dari punggung keledainya "Di situ — di tempat teduh. Aku rasanya sudah seperti mendidih kena sinar matahari." Keledai-keledai digiring oleh Pak David ke air. Mereka minum sebentar. Setelah itu dibiarkan berkeliaran dengan bebas Keledai-keledai itu patuh sekali, kalau dipanggil pasti datang. Mereka tidak mau pergi jauh-jauh, melainkan berteduh di bawah pohon, menikmati kesempatan beristirahat itu. Dengan segera si Putih lari menghampiri mereka, dengan tingkah laku seperti anak manja. Si Belang membenamkan hidungnya ke tengkuk anak kambing itu dengan sikap sayang. Ketika si Putih kemudian lari ke keledai berikutnya, si Belang mengikuti dari belakang. "Belang ingin berteman dengan si Putih," kata Dinah. la mengambil bungkusan bekal makanan untuk saat itu dari salah satu keranjang yang besar. "Nih, Lucy-Ann — tolong ambilkan air dengan kaleng ini! Kurasa kali di gunung pasti bersih sekali airnya. Aku sudah haus sekali!" Anak—anak melihat Pak David minum langsung dari kali. Jadi pasti airnya tidak mengandung penyakit. Lucy-Ann mengisi kaleng dengan air jernih yang mengalir deras di atas batu-batu koral, menuruni lereng gunung. Hidangan yang dihadapi sedap sekali kelihatannya. Anak-anak terpaksa berkali-kali memanggil Pak David agar ikut makan. Dengan malu-malu laki-laki tua itu datang, lalu duduk agak jauh dari mereka. "Jangan begitu dong! Kemarilah, duduk bersama kami," kata Jack sambil menepuk-nepuk tanah di sampingnya. "Mengobrollah bersama kami. Kami ingin belajar bahasa Wales!" Tapi pria Wales yang bertubuh kecil itu sangat pemalu. Bahkan sampai mau ikut makan saja pun, anak-anak sudah harus berulang kali memaksa. Padahal hidangan yang dihadapi sedap sekali! Roti sandwich saja ada lima jenis, lalu daun selada segar terbungkus kain lembab, telur rebus, serta kue selai yang besar-besar potongannya. Rasanya tidak ada hidangan makan siang lain yang bisa menandingi, apalagi dengan disertai minuman sari buah dicampur air yang sejuk segar dari pegunungan! "Takkan ada orang lain di dunia yang makan siang lebih sedap daripada kita saat ini," kata Lucy-Ann sambil mengunyah roti berisi ayam. "Bahkan raja yang paling kaya pun tidak!" "Atau tempat bersantap yang lebih indah," kata Philip. la melambaikan sandwich yang sedang dipegangnya ke arah pemandangan yang terbentang di depan mata. "Coba lihat saja sendiri — mana ada raja yang memiliki pemandangan di luar istananya, yang lebih indah daripada ini! Lembah dan pegunungan berjejer-jejer, dinaungi langit biru cerah! Menakjubkan!" Semua menikmati pemandangan luar biasa yang terhampar di depan mereka. Tapi kemudian semua menoleh, karena mendengar bunyi menggerisik "Aduh — Putihl Rakus sekali kau ini. Lihatlah, sandwich ayam kita habis disikatnya!" seru Jack dengan kesal. Pemandangan indah sudah tidak diacuhkannya lagi. "Pukul dia, Philip! la tidak boleh dibiarkan berbuat begitu — nanti makanan kita tahu-tahu sudah habis. Anak kambing kan bisa makan rumput!" Anak kambing itu lari sambil marah. Tapi ia masih sempat menyambar kertas pembungkus sandwich, yang kemudian dimakannya dengan nikmat Namun dengan segera ia sudah menghampiri Philip lagi sambil merapatkan tubuh pada anak itu. Rupanya ingin mengambil hati. Si Belang ikut mendekati Philip, karena rupanya tidak ingin jauh-jauh dari si Putih. Keledai itu kemudian berbaring di samping Philip, yang langsung duduk bersandar ke punggungnya. . "Aah, sedap! Terima kasih, Belang! Memang inilah yang kuidam-idamkan!" kata Philip. Anak-anak yang lain tertawa melihat Philip bersandar dengan santai ke punggung Belang. "Mau roti lagi, Pak David?" tanya Lucy-Ann sambil menyodorkan bungkusan berisi roti. Laki-laki tua itu makan jauh lebih sedikit daripada anak-anak Mungkin karena malu, tapi bisa juga karena memang selera makannya tidak besar. Pak David menggeleng. "Sekarang istirahat sebentar," kata Philip dengan suara mengantuk. "Kita tidak perlu buru-buru. Santai-santai sajalah!" Jack mulai bertanya-tanya pada Pak David, mengenai nama berbagai benda dalam bahasa Wales. Konyol rasanya, tidak bisa bercakap-cakap dengan laki-laki tua itu. la kelihatannya lebih banyak memahami bahasa Inggris daripada kemampuannya berbicara. Tapi kata-kata yang diketahuinya diucapkan dengan logat yang begitu asing, sehingga anak-anak berulang kali terpaksa menebak sendiri artinya. "Ayolah, Pak," kata Jack, yang saat itu tidak merasa mengantuk seperti yang lain-lainnya. “Apa ini, dalam bahasa Wales?" tanyanya sambil mengacungkan tangan. Wajah Pak David agak berseri, setelah mengerti bahwa Jack rupanya ingin belajar bahasa Wales. Laki-laki tua itu merasa agak kikuk, karena Kiki selalu mengulangi setiap kata yang diucapkannya, dengan penambahan beberapa patah kata karangannya sendiri. Dinah dan Lucy-Ann mengikuti contoh Philip. Mereka pun tidur di tempat teduh. Lucy-Ann ikut menyandarkan kepala ke punggung Belang. Dinah sebenarnya juga ingin melakukannya. Tapi ia ngeri, jangan-jangan nanti Sally, cecak ular peliharaan Philip muncul dari dalam kantung abangnya. Dinah tidak mau berada di dekat binatang melata itu! Dengan bersusah-payah Jack mencoba mengucapkan beberapa patah kata dalam bahasa Wales, mengikuti Pak David. Tapi ia tidak tahan lama-lama. la menyibukkan diri dengan melempar-lempar batu kecil ke bawah, lalu memandang berkeliling, memperhatikan puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi di kejauhan. Salah satu puncak menarik perhatiannya, karena berbentuk seperti gigi berjajar tiga. Dibentangkannya peta, untuk mengetahui nama puncak gunung itu. Tapi peta itu ternyata mengecewakan, karena tidak banyak memuat nama apa pun di daerah tempat mereka saat itu berada. Mungkin itu disebabkan karena masih banyak tempat-tempat di situ yang belum diteliti para pembuat peta. Tidak satu pun mama tempat pertanian atau bangunan tertera pada peta itu. Kemudian Jack menemukan nama gunung yang dirasakannya cocok. "Gunung Taring, " ucapnya membaca mama itu. "Barangkali itu namanya. Kurasa pasti gunung itu belum pernah dijelajahi selama ini. Aku kepingin terbang di atasnya, untuk melihat-lihat. Sejak di daerah pegunungan ini, belum sekali pun aku melihat ada pesawat terbang melintas. Kurasa karena memang tidak lewat di daerah ini, barangkali!" Kemudian Pak David pergi mengumpulkan keledai-keledai, sementara Jack membangunkan anak-anak. "Ayo, bangun, Pemalas!" katanya. "Kita harus meneruskan perjalanan. Nanti Pak David menyangka kita hendak bermalam di sini. Angin sejuk sudah mulai berhembus. Kurasa siang ini perjalanan kita akan nyaman." Dengan segera mereka sudah duduk lagi di punggung keledai masing-masing yang berjalan dengan langkah pasti menyusuri lereng gunung, sambil menikmati angin yang bertiup dan sinar matahari yang hangat, serta menatap pemandangan yang setiap kali lain di setiap belokan jalan itu. Di depan mata muncul gunung-gunung lain dengan garis-garis perbatasan dengan langit yang senantiasa berbeda bentuk. Lama sekali anak-anak itu tidak bercakap-cakap, karena terlalu asyik dengan pemandangan yang begitu indah, serta sinar matahari dan angin yang terasa membelai-belai. Mereka terus berjalan sampai sekitar pukul enam sore, karena sudah memutuskan akan mengikuti kebiasaan makan saat itu seperti di tempat pertanian keluarga Evans. Ketika saat itu tiba, Jack menyapa Pak David. "Kita nanti berhenti pukul setengah tujuh, Pak," katanya. "Anda tahu tempat yang bagus untuk bermalam di dekat-dekat sini?" Pak David tidak memahami pertanyaannya. Jack mengatakannya sekali lagi, dengan lambat-lambat. Kini Pak David rupanya mengerti, karena ia mengangguk sambil tersenyum. "Iss! Iss!" itu berarti 'ya`. Jack memandang ke arah yang dituding laki-laki tua itu, yang menunjuk ke suatu tempat di depan mereka. Pak David mengucapkan sesuatu dalam bahasa Wales. Jack menangkap beberapa patah kata yang sementara itu sudah dikenalnya, yaitu ‘air’ dan ‘pohon'. "Katanya, di depan sana ada tempat berkemah yang baik," seru Jack sambil menoleh ke arah anak-anak yang agak di belakang jalannya. "Di sana ada air, begitu pula pepohonan." "Wah, bagaimana kau bisa tahu maksudnya?" kata Philip kagum. "Kau hebat, Jack!" Jack tertawa nyengir. Mukanya yang penuh bintik berseri-seri. "Ah, mengerti benar sih tidak — aku cuma menangkap kata ’air` dan ’pohon’ saja tadi," katanya. "Yuk, kita lekas-lekas ke tempat itu — supaya masih sempat menikmati pemandangan saat matahari terbenam nanti. Aku ingin makan roti sambil menatap matahari tenggelam ke balik gunung!" Philip tertawa. Rombongan itu terus, menuju tempat yang ditunjukkan oleh Pak David. Ternyata letaknya agak lebih jauh dari sangkaan anak-anak. Tapi ketika sudah sampai di tempat itu, semua sependapat bahwa tempat itu memang bagus sekali dijadikan tempat berkemah. Di dekat kerumunan pohon-pohon ada sumber yang dingin sekali airnya. Pepohonan melindungi tempat perkemahan dari angin malam, yang kadang-kadang bisa dingin sekali. Kawanan keledai bisa diikatkan ke pohon, sehingga tidak mungkin pergi jauh-jauh. Pokoknya tempat itu benar-benar cocok! Anak-anak capek sekali. Tapi mereka merasa berbahagia. Semua turun dari keledai masing-masing. Binatang tunggangan yang kecil tapi kuat itu juga merasa capek, karena sudah- sehari penuh berjalan sambil membawa beban. Mereka digiring untuk minum di mata air. Keledai-keledai itu menunggu giliran dengan sabar, sementara si Putih berjingkrak-jingkrak di dekat-dekat situ. Anak kambing itu sama sekali tidak capek, setelah berjalan begitu jauh. "Nanti saja kita memasang tenda, apabila sudah makan dan beristirahat sebentar," kata Philip. "Siapkan makanan, Lucy-Ann! Kau juga, Dinah. Di sebelah sana itu ada batu yang bagian atasnya datar. Itu bisa kita jadikan meja!" Tidak lama kemudian makanan sudah terhidang dli atas batu besar itu. Air sari buah jeruk sudah dituangkan ke dalam mangkuk-mangkuk, yang kemudian diletakkan di samping piring tempat makan nanti. Anak-anak langsung meminum air segar itu sampai habis. Jack pergi mengambil air lagi dari sumber. Semua makan dengan cepat, karena sudah lapar sekali. Mereka tidak`banyak bicara, sampai rasa lapar sudah agak terobati. Kemudian mereka mengobrol dengan mulut penuh makanan. Masing-masing asyik bercerita tentang pengalaman indah sehari itu. Pak David ikut makan, sambil mendengarkan obrolan anak-anak. Kawanan keledai asyik merumput Si Putih menemani si Belang, sedang Kiki sibuk mencotok-cotok tomat sambil bertengger di bahu Jack, sampai tengkuk anak itu kotor kena tetesan air tomat. Semua merasa sangat berbahagia saat itu "Sekarang kita memasang tenda," kata Philip kemudian. "Yuk, Jack—jika kita tidak cepat-cepat, nanti tahu-tahu hari sudah gelap!" Bab 8 MALAM PERTAMA DI PERKEMAHAN SEMENTARA anak-anak perempuan pergi ke mata air untuk mencuci piring dan mangkuk yang kotor, Pak David — dengan dibantu Jack dan Philip — menurunkan tenda-tenda dari punggung keledai yang membawa barang-barang itu. Semua barang yang lain ikut diturunkan pula, sementara keledai yang satu lagi dibebaskan dari kedua keranjang besar yang tergantung pada kedua sisi punggungnya. Kedua binatang itu nampak lega, setelah barang-barang itu diturunkan. Keduanya merebahkan diri ke tanah lalu berguling-guling sambil menyepak-nyepakkan kaki ke udara. Kiki cepat-cepat terbang ke atas, lalu hinggap di sebatang pohon. "Pasti ia mengira kedua keledai itu sudah sinting sekarang," kata Jack. "Jangan takut, Kiki! Mereka cuma merasa lega, karena tidak lagi dibebani barang-barang yang berat!" Kiki menjerit seperti bunyi peluit kereta api dalam terowongan. Kedua ekor keledai yang sedang berguling-guling di tanah terkejut mendengar bunyi itu. Mereka cepat-cepat bangun, lalu lari menuruni bukit. Pak David ikut terloncat, lalu memanggil-manggil kedua keledainya. "Kuikat paruhmu nanti, jika kauulangi jeritan itu, Kiki!" kata Jack mengancam. "Rusak suasana malam seindah ini karena teriakanmu tadi!" "Bersihkan kaki! Bersihkan kaki!" jerit Kiki sambil berjingkrak-jingkrak di atas dahan. Tidak lama kemudian kedua tenda sudah siap dipasang berdampingan. Pak David tidak mau tidur di dalamnya. Ia memilih tempat di luar. Laki-laki tua itu belum pernah tidur dalam tenda. Menurut pendapatnya, itu sama sekali tidak perlu. "Yah — bagiku untung saja ia tidur di luar," kata Jack dengan suara pelan pada Philip. "Kurasa seumur hidupnya Pak Tua itu belum pernah - mandi!" "Nanti kita biarkan saja tutup tenda kita terbuka," kata Lucy-Ann yang saat itu datang dengan perkakas makan yang sudah dicuci. "Dengan begitu kita bisa memandang ke luar. Aku sebenarnya juga tidak berkeberatan tidur di tempat terbuka, seperti Pak David." "Angin di sini dingin sekali," kata Jack. "Kau nanti pasti mengucap syukur karena berbaring di dalam kantung tidur yang hangat, Lucy-Ann! Pak David itu rupanya tahan hawa dingin. la cuma berbekal selembar selimut tipis. Dan kelihatannya ia hendak tidur di tanah, tanpa alas sama sekali!" Sementara itu matahari sudah tidak kelihatan lagi, sudah terbenam di balik gunung. Selama beberapa saat puncak-puncak yang tinggi nampak kemilau. Tapi dengan pelan kegelapan malam merayap naik sampai ke puncak yang paling tinggi, sehingga tinggal langit di atas saja yang masih nampak cerah. Bintang-bintang mulai bermunculan di sana-sini, sementara angin dingin terasa bertiup dari arah bawah. Keledai-keledai ditambatkan ke pohon, dengan tali yang dibiarkan agak panjang, supaya mereka bisa bergerak dengan leluasa. Beberapa ekor di antaranya sudah merebahkan diri ke tanah. Si Belang mencari-cari si Putih. Tapi anak kambing itu pergi mendatangi Philip, dan menunggu anak itu masuk ke dalam tenda. Semua pergi mencuci badan di mata air. Semua — kecuali Pak David, yang nampaknya tercengang melihat keempat remaja itu sibuk membasuh diri dengan air sumber yang dingin. la sendiri sudah berbaring di tanah sambil menyelubungi tubuhnya dengan selimut. la berbaring diam, menengadah ke arah langit yang penuh bintang. "la tidak bisa dikatakan kawan seiring yang periang, ya?" kata Jack. "Kurasa ia beranggapan kita ini sudah sinting semua, karena kita selalu bercanda sambil tertawa-tawa. — Cepatlah sedikit, Philip! Kita masuk ke tenda." Dinah dan Lucy-Ann sudah lebih dulu masuk ke tenda mereka. Kedua anak perempuan itu menyusup ke dalam kantung tidur masing-masing, yang dilengkapi dengan tudung besar untuk melindungi kepala dari hawa dingin. Nyaman sekali rasanya berbaring di dalam kantung itu. Cukup lapang, lagi pula hangat. Lucy-Ann bisa memandang ke luar lewat lubang tenda. Bintang-bintang berkelip-kelip di langit. Kelihatannya besar-besar dan terang sekali. Saat itu sunyi senyap. Hanya bunyi air gemercik di sumbernya saja yang terdengar, serba angin yang menghembus di sela dedaunan. "Pada saat begini, rasanya seperti kita sendiri saja yang ada di dunia," kata Lucy-Ann pada Dinah. "Bayangkan kalau benar-benar begitu keadaannya, Dinah! Aneh rasanya, ya?" Tapi Dinah tidak memiliki daya khayal seperti Lucy-Ann. la malah menguap. "Ah, mendingan tidur sajalah,” katanya. "Jack dan Philip sudah masuk ke tenda mereka atau belum? Aku lebih senang jika tempat mereka agak lebih jauh dari sini. Aku ngeri, kalau nanti cecak ular itu tahu-tahu menggeleser masuk kemari malam-malam." "Dia kan tidak apa-apa," kata Lucy-Ann sambil meringkuk di dalam kantung tidurnya. "Hmm, nikmat! Menurutku, liburan kita selalu saja mengasyikkan. Ya kan, Dinah?" Dinah tidak menjawab, karena sudah pulas. Lucy-Ann masih tetap terjaga selama beberapa saat, menikmati bunyi air gemercik serta angin yang menghembus pelan. Ia merasa seperti masih duduk terayun-ayun di atas punggung keledainya. Kemudian matanya terpejam. Jack dan Philip masih mengobrol sebentar. Mereka benar-benar puas hari itu. Keduanya memandang ke luar, lewat celah tenda yang sengaja dibuka sedikit. "Daerah ini sangat liar dan terpencil," kata Jack dengan suara mengantuk. "Aku agak heran, bahwa di sini ada jalan yang bisa dilewati. Bill dan Bibi Allie baik hati, mau mengizinkan kita pergi sendiri." "Hmmmmm," gumam Philip. la masih bangun, tapi sudah segan berbicara. "Hmmmm!" kata Kiki menirukan dari luar. Burung kakaktua itu bertengger di puncak tenda. Ia merasa gerah di dalam. "Ah, di situ rupanya Kiki," kata Jack. "Aku tadi sudah heran, ke mana dia pergi. Philip-- kau tidak kepanasan ya, ditindih si Putih!" "Hmmm,“ gumam Philip. Sekali lagi terdengar Kiki menirukan dari atas tenda. "Hmmmm!" Si Putih berbaring di atas kantung tidur Philip. Sebenarnya anak kambing itu ingin ikut menyusup ke dalam, tapi tidak diperbolehkan. "Aku tidak mau sepanjang malam tersodok-sodok kukumu yang keras itu, Putih," kata Philip sambil mengikatkan bagian leher kantung tidurnya rapat-rapat, untuk mencegah kemungkinan si Putih berusaha menyusup malam-malam. Sally, ular cecak itu juga ada di sekitar situ, tapi Philip malas mengurusnya lagi, karena sudah terlalu mengantuk. Sally boleh menggeleser ke mana saja ia mau. Sementara itu Philip sudah biasa merasakan geleseran secara tiba-tiba pada salah satu bagian tubuhnya, yang berarti Sally sedang berjalan-jalan lagi. Dari atas tenda terdengar ocehan pelan. Kiki berbicara pada dirinya sendiri. Setelah itu sunyi. Semua dalam perkemahan sudah tidur, di bawah naungan bintang-bintang di langit. Angin malam menyusup masuk ke dalam tenda, tapi tidak bisa menembus kantung tidur yang menghangatkan tubuh. Si Putih agak kepanasan. la bangun, berjalan melewati Philip, menginjak Jack, lalu berbaring di ambang tenda. Anak kambing itu mengembik pelan. Kiki yang bertengger di atasnya membalas dengan bunyi yang sama. Keesokan paginya Pak David sudah bangun, sementara anak-anak masih pulas semua. Laki-laki tua itu sedang sibuk dengan keledai-keledainya, ketika kepala Philip tersembul dari dalam tenda. Anak itu menarik napas dalam-dalam, menghirup udara pagi yang segar. "Hmm, segarnya!" katanya. "Jangan, Putih! Kepalamu kan keras — sakit badanku jika kaubentur-bentur terus. He, Jack! Bangun — pagi ini indah sekali." Tidak lama kemudian semua sudah bangun dan cepat-cepat keluar dari tenda. Mereka pergi membasuh badan di mata air, sambil tertawa-tawa. Si Putih berjingkrak-jingkrak, berkeliaran tak menentu. Rupanya sudah terjangkit kegembiraan yang dirasakan anak-anak saat itu. Kiki menirukan bunyi tuter mobil, sehingga keledai-keledai kaget mendengarnya. Pak David yang biasanya diam saja saat itu ikut tersenyum, melihat suasana seceria pagi itu! Setelah itu mereka sarapan pagi. Hidangannya lidah asin, keju lunak dengan roti kemarin, serta tomat masing-masing sebuah. Sari buah sudah tidak ada lagi, karena habis diminum saat makan malam. Sebagai pengganti, diminum air dari sumber. Anak-anak mengatakan bahwa air itu sama nikmatnya seperti sari jeruk! "Bagaimana, Pak David — akan sudah bisa sampaikah kita hari ini di Lembah Kupu-kupu?" tanya Jack. la mengulangi pertanyaan itu dengan lambat-lambat, sambil mengepak-ngepakkan tangan untuk menunjukkan pada laki-laki tua itu bahwa ia berbicara tentang kupu-kupu. Pak David tidak langsung memahami maksudnya. Setelah mengerti, ia menggeleng. "Besok?" tanya Philip. Pak David mengangguk. Setelah itu ia menaikkan barang-barang lagi ke atas punggung kedua keledai pengangkut perbekalan. Binatang-binatang itu kelihatan seperti tidak sabar, ingin meneruskan perjalanan. Saat itu matahari sudah agak tinggi di langit. Bagi Pak David serta ketujuh keledainya, hari sudah siang! Akhirnya mereka berangkat, walau Jack masih harus bergegas kembali sebentar untuk mengambil teropongnya yang ketinggalan, digantungkan pada dahan sebatang pohon. Kemudian mereka berjalan beriringan satu-satu menelusuri punggung pegunungan, sementara angin mempermainkan rambut mereka. Hari itu Jack merasa yakin sekali bahwa ia melihat beberapa ekor burung elang. la mengendarai keledainya sambil menggenggam teropong, siap untuk meneliti setiap titik yang nampak di langit Sedang anak-anak yang lain melihat tupai-tupai berbulu merah di sela-sela pepohonan yang mereka lewati. Binatang-binatang itu pengejut, tapi cukup jinak. Seekor di antaranya bahkan mau ditawari makanan. Setiap kali ia lari menghampiri untuk mengambil remah-remah, tapi selalu sambil melirik dengan waspada ke arah Kiki dan si Putih. "la ingin ikut denganmu: Philip," kata Lucy-Ann dengan geli, ketika seekor tupai meletakkan kaki depannya ke lutut Philip. Philip membelai-belai binatang mungil itu. Tubuh tupai itu gemetar. Rupanya agak takut. Tapi ia tidak lari. Tahu-tahu Kiki datang menyambar. Tentu saja tupai tadi tidak menunggu lebih lama lagi. la melesat dengan cepat, menghilang ke tengah dedaunan yang rimbun. "Dasar pencemburu — selalu saja kau merusak segala-galanya," tukas Philip. "Sana, pergi, aku tidak mau kaudekati! Pergilah ke Jack — biar tupai-tupai itu datang padaku!" Beberapa ekor burung layang-layang muncul lagi dan terbang rendah mengitari anak-anak. Mereka bukan tertarik karena makanan, tapi ingin menyambar lalat yang beterbangan mengusik kawanan keledai. Anak-anak merasa seperti mendengar paruh burung-burung itu terkatup-katup memakan lalat. "Jack — coba kaujinakkan beberapa ekor burung layang-layang, lalu kita bawa mereka untuk menangkapi lalat," kata Lucy-Ann. la menepuk seekor lalat besar yang hinggap di kakinya. "Binatang menyebalkan! Tadi ada sesuatu menggigitku. Tak kusangka di tempat setinggi ini masih ada lalat!" Sally, cecak ular itu merayap ke luar, hendak memakan lalat yang baru saja dibunuh Lucy-Ann. Binatang itu sudah jinak sekali sekarang. Binatang itu berjemur di tempat terang. Kulitnya kemilau, seperti perak. Dinah sudah sebal saja melihatnya. Kemudian binatang itu cepat-cepat menyusup ke bawah tubuh Philip, ketika si Putih datang menghampiri sambil mengendus-endus. "Jangan suka mengendus-endus," kata Philip sambil mendorong si Putih pergi, ketika anak kambing itu hendak menyusupkan hidungnya ke bawah tubuhnya karena ingin mencari cecak ular tadi. Si Putih menumbuk Philip dengan keras, lalu berusaha duduk di pangkuannya. "Aduh, panas ah!" kata Philip. "Aku menyesal mengajak binatang serewel kau, Putih! Semalaman aku merasa gerah karena napasmu tepat mengenai tengkukku!" Lucy-Ann tertawa geli. la senang pada si Putih. Bukan ia saja — anak-anak yang lain juga begitu. Anak kambing itu bandel, suka menanduk-nanduk, dan dengan seenaknya saja menginjak-injak orang — tapi ia juga sangat bersemangat, lincah, dan ramah, sehingga tidak ada yang sanggup lama merasa kesal padanya. "Yuk, kita berangkat lagi," kata Philip kemudian. "Pak David sudah mendeham-deham. Seolah-olah hendak mengatakan bahwa kita ini pemalas." Pak David memang mempunyai kebiasaan mendeham-deham dulu beberapa kali sebelum berbicara. Hal itu dilakukannya karena ia merasa gugup. Dan Kiki langsung menirukan kebiasaan itu. dengan bunyi yang persis sekali. Burung iseng itu bertengger di dekat Pak David sambil ikut berdeham-deham apabila laki-laki tua itu melakukannya. Kemudian Kiki tertawa terkekeh-kekeh. Pak David nampaknya agak takut padanya. Lumayan juga jarak perjalanan yang ditempuh hari kedua itu. Ketika sudah tiba saatnya berhenti untuk bermalam lagi, Pak David memandang berkeliling dengan tekun. Kelihatannya seperti mencari-cari sesuatu. "Anda kehilangan sapu tangan, Pak?" tanya Jack. Anak-anak yang lain tertawa. Pak David menatapnya dengan sikap serius, karena tidak memahami kalimat Jack yang dilontarkan secara iseng itu. Kemudian laki-laki tua itu mengepak-ngepakkan lengannya menirukan gerak sayap, sambil mengucapkan beberapa patah kata dalam bahasa Wales. Tampangnya kocak sekali saat itu. Anak-anak cepat-cepat memalingkan muka, supaya jangan sampai tertawa melihatnya. "Katanya besok kita akan sudah bisa melihat Lembah Kupu-kupu," kata Jack menafsirkan artinya. "Asyik!" Setelah makan, mereka mempersiapkan perkemahan. Petang itu tidak seindah siangnya. Langit mendung, sehingga matahari tidak nampak ketika terbenam. Juga tidak nampak bintang-bintang yang biasanya muncul satu per satu di langit. "Kalau nanti hujan, Anda pasti basah, Pak,“ kata Jack pada Pak David. Laki-laki tua itu mengangkat bahu, lalu mengatakan sesuatu dalam bahasanya sendiri yang mengalun bunyinya. Setelah itu ia berbaring di tanah, berselubung selimut tipis. "Kurasa hujan takkan turun nanti malam." Kata Philip sambil tengadah, memandang langit "Tapi hawa pasti akan jauh lebih dingin. Hhhh! Nanti aku pasti mengucap syukur. karena berbaring di dalam kantung tidur." "Nah — selamat tidur," seru Dinah dan Lucy-Ann dari dalam tenda mereka. "Ya, selamat tidur!" balas Philip. "Besok cuaca pasti cerah lagi!" Anak itu menganggap dirinya pandai menaksir keadaan cuaca. Tapi kali itu ia keliru. Bab 9 SUASANA BERUBAH LUCY-AAN yang paling dulu bangun. Ia meringkuk di dalam kantung tidurnya, karena merasa kedinginan. Kemudian ia membuka mata, memandang ke arah kelepak tenda yang terbuka. Dikiranya akan nampak lereng gunung yang hijau, serta pegunungan yang menjulang tinggi di kejauhan. Tapi semuanya itu tidak nampak. Yang ada hanya kabut putih semata-mata, bergerak lewat di depan tenda. Cabikannya ada yang menyusup ke dalam, nampak seperti jari-jari tangan yang dingin pucat. Gunung-gunung sudah tidak nampak lagi. Pepohonan dekat perkemahan seakan-akan terhapus. Bahkan kawanan keledai pun tidak kelihatan. "Apakah yang terjadi?" tanya Lucy-Ann. Ia agak bingung. "Astaga! Rupanya ada kabut tebal turun!" Ia membangunkan Dinah. Kedua anak perempuan itu memandang lereng gunung dengan perasaan kecut. Sekali-sekali ada juga pemandangan yang nampak sekilas, saat kabut yang lewat agak tipis. Tapi dengan segera menebal kembali. "Ini bukan kabut—tapi awan," kata Dinah. "Kau tahu kan, dari bawah kita kadang-kadang melihat puncak gunung terselubung awan. Hah — kita sekarang juga diselubunginya. Tebal sekali, sehingga kita tidak bisa melihat apa-apa. Sialan!" Saat itu Jack dan Philip bangun. Terdengar suara mereka yang bernada kecewa. Dinah dan Lucy-Ann memanggil mereka. "He, Jack! Philip! Menyebalkan sekali, ya? Kita tidak bisa melihat apa-apa!" “Ah, sehabis sarapan nanti pasti lenyap lagi," kata Philip dengan suara gembira. la muncul dari tengah keputihan kabut, diikuti oleh si Putih. "Iih, dinginnya! Kupakai saja baju tebal!" Pak David muncul saat itu. Tampangnya muram. la menuding ke arah lembah sambil mencerocos dalam bahasa Wales. ”Kelihatannya tegang sekali," kata Jack. "Sayang aku tak mengerti maksudnya." Anak-anak memutuskan untuk sarapan di dalam tenda saja, karena di luar segala-galanya lembab dan dingin. Pak David memilih tetap di luar saja. Dinah mulanya tidak mau ikut masuk karena takut pada Sally. Akhirnya ia duduk di ambang tenda, siap untuk lari apabila cecak ular itu datang menghampiri. Suasana saat sarapan tidak secerah biasanya. Anak-anak merasa kecewa, karena tidak ada pemandangan indah yang selama itu selalu terhampar di depan mata. Di samping itu mereka juga khawatir, jangan-jangan Pak David tidak mau meneruskan perjalanan hari itu. Tapi sejam kemudian kabut menyingkir, dan Pak David kelihatannya mau saja berangkat lagi. Barang-barang dinaikkan ke atas punggung keledai-keledai pengangkut perbekalan. Setelah itu perjalanan diteruskan. Mereka sudah bisa melihat agak jauh lagi ke depan, karena sinar matahari yang sementara itu sudah muncul mulai menceraiberaikan kabut. "Cuaca pasti akan cerah lagi nanti," kata Jack. "Baru saja aku nyaris melihat matahari!" Tapi kemudian kabut menebal kembali, sehingga pandangan menjadi kabur sekali. Keledai yang ada langsung di depan pun hanya pak samar. "Kurasa ada baiknya jika aku berpegangan pada ekor keledaimu, supaya kau jangan tiba-tiba lenyap dalam kabut!" seru Jack pada Dinah yang ada di depannya. "Begitulah — seperti yang dilakukan kawanan gajah dalam sirkus!" Kabut yang menyelubungi semakin bertambah tebal. Rombongan itu berhenti, untuk merundingkan apa yang sebaiknya dilakukan. Sulit sekali menanyakan pendapat Pak David, karena laki-laki tua itu seperti dengan tiba-tiba saja sama sekali tidak memahami bahasa Inggris. Bahkan beberapa patah kata yang dikenalnya, saat itu tidak dimengerti lagi olehnya. Jack mengepak-ngepakkan lengan, mengangkat-angkat alis, lalu menuding-nuding ke depan. Maksudnya hendak bertanya, apakah Lembah Kupu-kupu sudah dekat. Pak David nampaknya mengerti. Tapi sikapnya ragu. "Mudah-mudahan saja ia tidak tersesat," kata Jack pada Philip. "Kemarin sikapnya kelihatan masih cukup yakin. Tapi sekarang tidak. Nampaknya sangat ragu. Sialan!" "Tapi kita tidak bisa terus berhenti di tempat ini," kata Dinah. la menggigil dalam kabut lembab itu. "Di sini tidak ada tempat berlindung. Dingin sekali rasanya. Aduh, mana sih matahari?" ` "Kita terus dulu!" kata Jack pada Pak David. "Itu satu-satunya yang bisa kita lakukan, sampai menjumpai tempat berlindung. Terlalu dingin apabila kita menunggu terus di sini sampai kabut ini terangkat. Kalau kita salah mengambil jalan, nanti kan bisa kembali apabila kabut sudah lenyap." Mereka meneruskan perjalanan menembus kabut lembab, mengikuti keledai tunggangan Pak David. Kiki sama sekali tak kedengaran suaranya. Burung kakaktua itu belum pernah mengalami perjalanan di tengah kabut, dan karenanya merasa takut. Si Putih merapatkan diri ke tubuh keledai yang ditunggangi Pak David. Kelincahannya sama sekali tidak nampak saat itu. Tidak ada yang senang, berada di tengah kabut. "Nanti kalau sampai di tempat yang terlindung, kita berhenti untuk makan siang," kata Philip. "Pasti semua sudah lapar sekali sekarang. Tapi kini kita kelihatannya sedang berada di bagian lereng yang terbuka. Kita tidak bisa berhenti agak lama di sini, karena nanti terserang pilek!" Iring-iringan itu bergerak terus dengan lambat. Semua merapatkan baju hangat yang dipakai. Beberapa saat kemudian Jack mulai nampak gelisah. la menghentikan keledainya, menunggu Philip yang menyusul di belakang. "Ada apa?" tanya Philip, karena melihat air muka Jack nampak serius. "Kita sudah menyimpang dari jalan," kata Jack. "Tidak kauperhatikan, ya? Sampai kurang lebih sejam yang lalu kita masih menyusur semacam lintasan — tapi sekarang aku tahu pasti bahwa kita sudah menyimpang dari situ. Entah mau ke mana kita ini dibawa Pak David. Kurasa ia bahkan tidak melihat bahwa kita tidak bergerak di atas jalan." Philip bersiul, menandakan bahwa ia kaget. "Jangan sampai anak-anak perempuan mengetahuinya, nanti mereka takut," katanya. "Ya, kau benar! Di sini sama sekali tidak nampak tanda-tanda ada jalan. Pak David tersesat." "Coba kutanyakan sebentar padanya," kata Jack. la menyuruh keledainya berjalan agak cepat, untuk menyusul Pak David yang berada pada posisi paling depan. " “Ini jalan yang betul, Pak?" tanya Jack lambat-lambat pada laki-laki tua itu, agar bisa dimengerti. "Mana jalannya?" ia menuding ke tanah. Pak David mengangkat bahu. Wajahnya serius. la mengatakan sesuatu dalam bahasanya sendiri. "Kurasa ia tahu bahwa kita sudah menyimpang, tapi ia mengharapkan nanti akan sampai lagi di jalan tadi," kata Jack pada Philip, setelah ia berjalan seiring lagi dengan temannya itu. "Yang jelas, ia kelihatannya tidak bermaksud berhenti atau berbalik." "Ya — dia kan penunjuk jalan kita," kata Philip setelah diam sejenak. "Kita harus mempercayakan diri padanya. la lebih mengenal daerah pegunungan ini " "Memang — tapi ia tidak begitu cerdas," kata Jack ragu. "Bisa kubayangkan bahwa kita nanti akan semakin tersesat di tengah pegunungan ini! Ia tahunya cuma maju terus ke depan!" "Hih, seram rasanya membayangkan kemungkinan itu," kata Philip. "Untung bekal makanan kita banyak sekali!" Kemudian mereka sampai ke sebuah batu besar yang menonjol ke luar di lereng itu, di mana mereka bisa melindungi diri dari angin dingin yang membawa hawa lembab. "Di sini saja sebaiknya kita makan dulu," kata Philip. "Aku kepingin minum yang panas-panas. Bu Evans membekali kita dengan cerek atau tidak?" "Ya, ada cerek dalam perbekalan kita. Jika dekat sini ada air, kita bisa menyalakan api lalu memasak air untuk membuat minuman coklat panas, atau sesuatu," kata Jack. Tapi di sekitar situ sama sekali tidak ditemukan air. Benar-benar menjengkelkan! "Padahal pagi ini begitu banyak yang kita lalui," kata Dinah. "Keterlaluan — masa di sini tidak ada setetes pun! Sedang aku haus sekali." Mereka terpaksa makan tanpa ada yang bisa diminum. Mereka lapar sekali. Sesudah perut mereka terisi, tubuh terasa agak hangat sedikit. Untuk lebih memanaskan badan, kemudian anak-anak bermain kejar-kejaran. Si Putih tidak mau ketinggalan berjingkrak-jingkrak, sehingga berulang kali ada saja yang terjerembab karena tersandung. Kiki terbang sambil menjerit-jerit. Pak David hanya bisa melongo saja melihat mereka. "Coba lihat tampang Pak David — kelihatannya ia beranggapan kita ini sudah sinting semua!" kata Lucy-Ann tercekikik, lalu duduk di atas sebuah batu. "Aduh, aku tidak kuat lagi berlari. Rusukku nyeri rasanya." ' "Rusukunyeri, rusukunyeri," oceh Kiki dengan cepat. "Cul si kadal muncull" "Hore! Kabut mulai menipis!" seru Jack dengan tiba-tiba, sambil menuding ke atas. Matahari sudah nampak jelas bentuknya, mengambang di balik gumpalan kabut. Anak-anak langsung bersemangat kembali. Bahkan wajah Pak David pun sudah tidak begitu muram lagi. "Kita coba saja mencapai Lembah Kupu-kupu sebelum hari gelap." kata Jack pada Pak David. Ia mengepak-ngepakkan lengan, agar lebih bisa dimengerti. Pak David mengangguk. Semua naik lagi ke punggung keledai masing-masing, lalu perjalanan diteruskan. Penglihatan ke depan sudah bisa lebih jauh saat itu Di depan mata terhampar pemandangan lereng gunung yang luas. Dunia dengan tiba-tiba terasa lapang lagi. Mereka terus berjalan, sementara kabut semakin menipis. Anak-anak merasakan kehangatan sinar matahari memanasi ubun-ubun. Mereka membuka jas masing-masing. Nikmat sekali rasanya panas matahari, setelah begitu lama berjalan di tengah kabut yang dingin dan lembab. "Lihatlah — puncak gunung-gunung terdekat sudah nampak sekarang," seru Jack. "Sebentar lagi yang lebih jauh pasti akan kelihatan pula. Untunglah!" "Mestinya sebentar lagi kita akan sudah bisa melihat Lembah Kupu-kupu," kata Lucy-Ann bersemangat. "Kata Pak David, hari ini kita akan sudah sampai di sana. Aku ingin tahu, di mana letak lembah itu. — Eh, Philip, lihatlah — itu ada kupu-kupu!" Philip melihat sebentar. "Itu kupu-kupu biasa," katanya. "Jenis seperti itu sudah sering kita lihat." la memandang ke depan dengan sikap mencari-cari, lalu meneropong. "Di depan ada lembah," katanya sambil menuding. "Pak David! Itukah Lembah Kupu-kupu?" Laki-laki tua itu memandang ke arah yang dituding oleh Philip. "Iss. No," katanya kemudian sambil mengangkat bahu. "Ya, tidak — apa lagi maksudnya?" kata Philip sebal. "Ah, mungkin ia hendak mengatakan tidak tahu! Kurasa sebaiknya kita terus saja — siapa tahu itu memang Lembah Kupu-kupu. Tempat itu nampaknya terlindung letaknya. Di situ iklimnya mungkin cukup hangat, sehingga mungkin banyak terdapat segala jenis serangga dan bunga-bungaan." Rombongan itu terus berjalan turun ke arah lembah yang nampak di kejauhan, sementara anak-anak membayangkan sebentar lagi akan sampai di suatu tempat yang indah, penuh dengan bunga dan kupu-kupu yang serba cemerlang warna-warnanya. Tapi letak lembah itu kemudian ternyata lebih jauh dari sangkaan mereka. Itulah susahnya mengadakan perjalanan di daerah pegunungan. Semua yang nampak dekat, ternyata sekitar dua kali lebih jauh dari sangkaan semula. Benar-benar mengecewakan! Hari sudah sore ketika rombongan itu akhirnya masuk ke dalam lembah, yang sebenarnya hanya merupakan lekukan dangkal di antara dua gunung yang tinggi. Jadi bukan lembah sejati, yang rendah letaknya. Tempat itu agak tersembunyi letaknya. Di situ bunga-bunga memang lebih banyak dibandingkan dengan yang nampak di sepanjang jalan selama itu —tapi kupu-kupu sama sekali tidak ada! "Tidak mungkin ini tempat yang hendak kita tuju," kata Philip dengan sikap kecewa. "Bagaimana, Pak David?" Laki-laki tua itu menggelengkan kepala sambil memandang berkeliling. Dari air mukanya yang nampak bingung dapat diketahui bahwa ia sebenarnya tidak tahu di mana mereka saat itu berada. "Kalau ini bukan Lembah Kupu-kupu, lalu di mana tempat yang sebenarnya?" tanya Jack dengan lambat-lambat supaya jelas. Sekali lagi Pak David menggeleng-geleng. Orang itu benar-benar menjengkelkan. Percuma saja membawanya, sebagai penunjuk jalan! "Yah," kata Philip kemudian, "rupanya kita dibawanya ke tempat yang keliru. la tidak mengenal tempat ini. Tapi di sini hangat dan terlindung — jadi untuk malam ini kita terima sajalah kenyataan ini. Besok kita minta peta dari Pak David untuk melihat apakah kita bisa mencari jalan yang benar, lalu berangkat dengan kita sendiri sebagai penunjuk jalan. Kalau Pak David — dia itu sama besar gunanya seperti Kiki di daerah pegunungan ini!" - Anak-anak mempersiapkan perkemahan dengan perasaan agak kecewa. Mereka tadinya sudah berharap-harap akan bisa sampai di tempat tujuan malam itu juga. Mereka sudah berencana akan berkemah selama beberapa hari di situ, untuk menikmati pemandangan kupu-kupu biasa dan langka yang jumlahnya pasti ribuan! Tapi kini ternyata bahwa mereka masih harus meneruskan perjalanan lagi, tanpa tahu dengan pasti apakah mereka akan pernah sampai di tempat tujuan sebenarnya! Anak-anak masuk ke dalam tenda begitu bintang-bintang mulai nampak di langit. Mereka hendak cepat-cepat saja tidur malam itu. Sedang Pak David tidur di luar, seperti biasa. Saat tengah malam, tahu-tahu Jack dan Philip terbangun. Ternyata ada Pak David di dalam tenda. Orang itu merangkak masuk dengan tubuh gemetar ketakutan. "Ada bunyi," katanya dalam bahasa Inggris, yang disusul dengan kalimat dalam bahasa Wales yang diucapkan dengan tergesa-gesa.. Laki-laki tua itu ketakutan sekali nampaknya. "Tidur — di sini," katanya, lalu menyusup di sela Jack dan Philip. Keduanya geli melihat kelakuan laki-laki tua itu. Tapi sekaligus juga heran. Apakah yang menyebabkan Pak David begitu ketakutan? Bab 10 MALAM YANG MENGEJUTKAN KETIKA anak-anak bangun keesokan paginya, matahari sudah bersinar cerah, sehingga mereka langsung merasa lebih riang gembira. Si Putih yang sepanjang malam menanduk-nanduk Pak David karena tidak suka melihat laki-laki tua itu ikut tidur di dalam kemah bersama Jack dan Philip, sudah asyik lagi lari ke mana-mana sambil berjingkrak-jingkrak. Setiap kali berpapasan dengan Pak David, disundulnya laki-laki tua itu dengan kepala yang belum bertanduk. "Kenapa Anda tadi malam, Pak?" tanya Jack pada Pak David, ketika mereka sarapan pagi beramai-ramai. "Kenapa Anda ketakutan sekali?" "Ada bunyi," kata laki-laki tua itu. "Bunyi yang bagaimana?" tanya Philip ingin tahu. "Aneh, kami sama sekali tidak mendengar apa-apa." Pak David menyuarakan bunyi-bunyi yang aneh, Sehingga Kiki cepat-cepat terbang membubung dan si Putih lari ketakutan. Sedang anak-anak memandang laki-laki tua itu dengan heran, karena tidak memahami maksudnya. Dengan bahasa Inggris yang hanya sepotong-sepotong dan ditambah dengan gerak-gerik, Pak David menjelaskan bahwa ketika ia hendak memeriksa keledai-keledai, tahu-tahu ia mendengar bunyi-bunyi yang ditirukannya itu. ia mendengarnya di dekat tempat kawanan keledai ditambatkan. "Itu rupanya kenapa kita tidak mendengarnya tadi malam," kata Jack. "Kalau ditilik dari suara yang ditirukan Pak David tadi, kelihatannya yang didengar itu suara binatang — binatang buas dan galak!" "Aduh." ucap Lucy-Ann dengan wajah takut. "Tapi di sini tidak ada binatang liar kan, Jack? Maksudku, binatang liar yang buas?" Jack tertawa nyengir. "Kalau yang kaumaksudkan singa, harimau, dan sebangsanya — kurasa aku bisa memastikan bahwa kau tak perlu takut akan menjumpai binatang-binatang itu di sini. Tapi jika kau seperti Dinah, yang menganggap ular, anjing ajak, landak, dan sebagainya itu juga binatang liar yang buas — yah, kalau begitu. hati—hati sajalah!" "Jangan begitu dong, Jack. Tentu saja bukan binatang-binatang itu yang kumaksudkan," kata Lucy-Ann. "Aku sendiri tidak tahu pasti binatang mana yang kumaksudkan. Pokoknya aku ngeri — karena tidak tahu binatang apa yang suaranya seperti yang ditirukan Pak David tadi." “Ah, mungkin binatang-binatang itu cuma ada dalam khayalannya saja," kata Philip meremehkan "Atau ia bermimpi buruk. Ia kan cepat sekali takut!" Pak David ternyata enggan meneruskan perjalanan. la selalu menunjuk-nunjuk ke arah dari mana mereka datang. Tapi anak-anak tidak mau perkelanaan mereka itu berakhir dengan mengecewakan. Mereka bertekad hendak mencari Lembah Kupu-kupu sampai dapat, biar untuk itu diperlukan waktu seminggu penuh! Anak-anak terpaksa sibuk sekali mengepak-ngepakkan lengan, sampai akhirnya Pak David mengerti. Sikapnya langsung masam. Tapi walau begitu ia naik juga ke punggung keledainya, untuk ikut dengan anak-anak. Peta kini berpindah ke tangan Jack, yang menelitinya dengan penuh perhatian. Ia merasa jengkel, karena lembah yang dicari ternyata tidak tertera namanya pada peta itu. Mungkin tidak banyak yang mengenal tempat itu. Rombongan itu melintasi lembah yang sebenarnya merupakan lekukan dangkal, lalu mendaki lereng gunung lagi. Mungkin lembah berikut adalah tempat yang hendak mereka tuju. Atau kalau tidak, lembah setelah itu. Tapi walau mereka berjalan terus sepanjang hari dengan penuh harapan, tetap saja tidak ditemukan lembah yang banyak kupu-kupunya. Anak-anak mulai menduga, jangan-jangan yang mereka cari itu hanya ada dalam kisah belaka. Mereka sudah tidak menyusuri jalan lagi. Jack dan Philip tidak henti-hentinya mencari-cari, tapi di sekitar situ memang sama sekali tidak ada jalan yang bisa dilewati. Ketika berhenti untuk berkemah lagi malamnya, anak-anak merundingkan apa yang sebaiknya mereka lakukan selanjutnya. "Jika kita masih terus saja, nanti tidak tahu lagi jalan kembali," kata Jack. "Kalau Pak David mestinya tahu, karena sejak lahir ia tinggal di tengah daerah pegunungan sini, dan mestinya sanggup menemukan jejaknya semula dalam perjalanan pulang. Tapi di pihak lain ia tidak bisa dikatakan cerdas — jadi aku tidak mau terlalu mengandalkan diri padanya." "Kalau begitu. apakah lebih baik kita pulang saja sekarang," kata Lucy-Ann. Anak itu nampak kecewa. "Bisa juga kita berkemah di sini beberapa hari," kata Jack. Ia memandang berkeliling. "Tempat ini cukup bagus." Saat itu mereka berada di pertengahan lereng sebuah gunung. Mulai dari tempat itu tebing gunung terjal sekali. Kelihatannya takkan mungkin didaki lebih lanjut. "Kurasa belum ada orang yang pernah mendaki gunung ini sampai ke puncak sebelah sana itu," kata Dinah sambil mendongak "Begitu kasar medannya — penuh celah dan batu-batu besar yang mencuat." "Kita berkemah di sini," kata Philip mengambil keputusan. "Cuaca nampaknya sudah tenang. Tadi kulihat ada mata air di dekat sini. Dan selama kita berkemah, kita bisa memotret dan mempelajari keadaan lingkungan dengan teropong." Pak David kelihatannya tidak senang, ketika keputusan itu disampaikan padanya. Tapi ia tidak membantah, melainkan langsung pergi untuk menambatkan keledai-keledainya. Semua sudah capek sekali, karena perjalanan yang ditempuh hari itu cukup jauh. Anak-anak mengiris-iris daging ham yang ada dalam perbekalan, karena takut busuk kalau tidak cepat-cepat dimakan. Pak David kelihatannya ingin tidur di dalam tenda lagi, karena berulang kali ia memandang ke situ dengan sikap yang menampakkan keinginannya. Tapi hawa malam itu panas. Sedang laki-laki tua itu tidak tahan panas. Akhirnya ia merebahkan diri di tanah, tapi memilih tempat di antara kedua tenda. Keledai-keledai ditambatkan dengan tali pengikat yang agak panjang ke pepohonan, agak jauh dari perkemahan. Ketika sudah tengah malam, tiba-tiba Lucy-Ann terbangun. la merasa seperti mendengar suara mengendus-endus di sekitar perkemahan. Anak itu langsung merosot lebih masuk lagi ke dalam kantung tidurnya, karena ngeri. Bunyi apakah itu? Jangan-jangan itu binatang liar yang didengar oleh Pak David! Kemudian terdengar bunyi lolongan panjang. Jack dan Philip terbangun karenanya. Sedang Pak David yang berbaring di luar sudah lebih dulu mendengar suara-suara itu. Laki-laki tua itu gemetar ketakutan. Berbagai gambaran yang menyeramkan timbul dalam pikirannya. Saat itu terang bulan, sehingga lingkungan perkemahan nampak seperti mandi cahaya keperak-perakan. Pak David menegakkan tubuhnya, lalu memandang ke arah bawah. Saat itu juga bulu tengkuknya meremang karena ngeri. Ia melihat serigala. Kawanan serigala! Tapi itu kan tidak mungkin?! la pasti sedang bermimpi, kata Pak David dalam hati. Sudah sejak berabad-abad di daerah situ tidak ada serigala lagi. Tapi kalau yang dilihatnya itu bukan kawanan serigala, lalu apa? Dan bunyi mengendus-endus yang didengarnya tadi — itu pasti juga serigala! Tidak, itu mustah1! Pak David duduk terpana sambil berpeluk lutut. Serigala atau bukan? Serigala atau bukan? Dan mau apa binatang-binatang itu, berada di dekat keledai-keledai? Saat itu terdengar bunyi lolongan lagi — lolongan yang setengah menggonggong. Hih, seram! David melesat masuk ke dalam tenda Jack dan Philip, sehingga kedua remaja itu kaget setengah mati. Laki-laki tua itu mengatakan sesuatu dalam bahasa Wales dengan suara terbata-bata, lalu menyambung dalam bahasa Inggris. "Serigala!" “Ah - mana mungkin!" kata Jack dengan segera, karena melihat laki-laki tua itu sangat ketakutan. "Anda pasti bermimpi buruk tadi!" Pak David menariknya ke ambang tenda, lalu menuding dengan jari gemetar ke arah kawanan binatang yang sedang mengendus-endus, tidak jauh dari tempat keledai-keledai ditambatkan. Jack dan Philip menatap dengan mata terbelalak, seakan-akan tidak bisa mempercayai penglihatan mereka sendiri. Kelihatannya itu memang kawanan serigala! Jack merinding. Astaga — bermimpikah ia saat itu? Binatang-binatang yang sedang mengendus-endus itu nampaknya jelas serigala! Si Putih juga gemetar tubuhnya, seperti Pak David. Hal itu menyebabkan Jack dan Philip ikut-ikut merasa takut. Hanya Kiki saja yang sama sekali tidak takut. Kakaktua itu juga melihat kawanan serigala yang muncul. Dengan segera ia terbang menghampiri, untuk memeriksa. la selalu tertarik pada apa saja yang lain dari yang lain. Kiki terbang di atas kepala binatang-binatang itu, yang mendongak ke arahnya dan memandang dengan mata yang berkilat-kilat. "Bersihkan kakimu!“ jerit Kiki, lalu menirukan bunyi mesin pemotong rumput yang sedang merambah rumput panjang. Bunyinya menyakitkan telinga, apalagi saat tengah malam yang sunyi di daerah pegunungan itu. Kawanan binatang yang seperti serigala itu nampak kaget, lalu lari serempak menuruni gunung dan menghilang di tengah kegelapan. Kiki masih berteriak-teriak terus, mengumpat-umpat. "Mereka sudah pergi lagi," kata Jack lega. "Benarkah binatang-binatang itu tadi serigala? Aku benar-benar tidak bisa mengerti!" Ketika fajar sudah menyingsing, Pak David pergi memeriksa keadaan keledai-keledai. Sejak kejadian tengah malam itu ia tidak bisa tidur lagi, begitu pula Jack dan Philip. Pak David karena terlalu ketakutan, sedang kedua remaja itu karena bingung. Puncak-puncak gunung sudah mulai terang. Pak David berjalan dengan hati-hati, menghampiri keledai-keledai. Mereka masih ada di tempat semula. Semuanya selamat, tapi kelihatannya gelisah. Pak David melepaskan mereka, lalu menggiring semuanya untuk minum ke parit. Jack dan Philip memandang dari tenda mereka. Keduanya mengamat-amati ke arah bawah. Mereka tidak melihat serigala barang seekor pun. Terdengar suara burung berkicau. Seekor burung berbulu belang kuning menjerit-jerit minta makan. Tahu-tahu terjadi sesuatu yang mengejutkan. Pak David yang sedang menggiring kawanan keledai ke parit, tiba-tiba menjerit ngeri lalu menjatuhkan diri ke tanah sambil menutupi muka. Jack dan Philip yang memandang dengan napas tertahan merasa seperti melihat sesuatu bergerak-gerak di dalam belukar. Pak David menjerit sekali lagi. la cepat-cepat berdiri, meloncat ke punggung seekor keledai, lalu memacunya ke arah tenda-tenda sambil berteriak-teriak dalam bahasa Wales. "Hitam, hitam!" serunya dalam bahasa Inggris. Jack dan Philip bingung mendengarnya. Mereka menatap laki-laki tua itu sambil melongo. Jangan-jangan Pak David sudah gila, pikir mereka. Laki-laki tua itu melambai-lambaikan tangan ke arah mereka, lalu menuding keledai-keledai yang datang menyusul. Kelihatannya seperti hendak mengatakan agar ikut dengannya. Pak David tidak berhenti, melainkan terus memacu keledainya, meninggalkan tempat itu. Bunyi derap keledai itu masih menggema selama beberapa saat. Keledai-keledai yang lain berpandang-pandangan dengan sikap ragu, tapi kemudian menyusul Pak David! "He! Ayo, kembali!" teriak Jack sambil bergegas keluar. "He! He! Berhenti!" Seekor keledai berpaling. Kelihatannya seperti hendak balik. Tapi kawan-kawannya mendesak dari belakang. Dengan segera binatang-binatang tunggangan itu sudah lenyap dari penglihatan. Bunyi derap mereka makin lama makin pelan, sementara mereka terus mengejar kawannya yang ditunggangi Pak David. Jack dan Philip terhenyak ke tanah dengan lesu. Muka Jack pucat. la memandang Philip, sambil menggigit-gigit bibir. Selama beberapa saat keduanya sama-sama membisu. "Ada apa?" Keduanya berpaling, memandang wajah Dinah dan Lucy-Ann yang saat itu muncul dari tenda mereka. "Kenapa berteriak-teriak? Pak David-kah itu tadi, yang cepat-cepat pergi dengan keledai? Kami tidak berani melihat!" "Ya — itu tadi memang Pak David! la lari meninggalkan kita, dan keledai-keledai yang lain lari menyusulnya," kata Philip kecut. "Gawat keadaan kita sekarang!" Setelah itu semuanya terdiam. Lucy-Ann kelihatan sangat takut. Bagaimana sekarang, karena baik Pak David maupun kawanan keledai tidak ada lagi? Jack merangkul anak itu, ketika Lucy-Ann datang menghampiri lalu duduk di dekatnya. "Jangan takut! Kita kan pernah menghadapi situasi yang lebih gawat daripada ini! Kita sekarang paling-paling terpaksa berada beberapa hari di sini, karena Bill pasti akan datang mencari apabila Pak David sudah sampai di tempat pertanian dan menceritakan apa yang terjadi!" "Untung saja perbekalan kita turunkan — jadi persediaan makanan cukup banyak," kata Philip. "Kecuali itu tenda-tenda serta kantung tidur kita juga ada. Payah, Pak David itu. la penakut!" "Aku ingin tahu apa yang dilihatnya tadi, sampai ia lari pontang-panting," kata Jack. "la menyerocos dalam bahasa Wales. Satu-satunya yang kutangkap tadi cuma kata `hitam, hitam’ saja!" "Apa yang hitam?" tanya Dinah. “Ia cuma mengatakan `hitam' saja," kata Jack. "Coba kita periksa ke tempat di mana ia tadi ketakutan, barangkali ada sesuatu yang bisa kita lihat di situ." "Aduh, jangan!" kata Dinah dan Lucy-Ann dengan segera. "Kalau begitu biar aku sendiri yang pergi, sedang Philip tinggal di sini menemani kalian,“ kata Jack. Ia langsung menuruni lereng, diperhatikan oleh ketiga anak lainnya yang memandang dengan napas tertahan. Jack memandang dengan sikap menyelidik. Kemudian ia menoleh sambil menggeleng-geleng. "Tidak ada apa-apa di sini!" serunya. "Aku tidak melihat sesuatu pun! Pak David tadi pasti salah lihat — karena masih terbayang mimpi buruknya!" Jack naik lagi ke perkemahan. "Tapi bagaimana dengan binatang-binatang yang kita lihat itu?" tanya Philip setelah beberapa saat. "Kita kan sama-sama melihat kawanan serigala itu. Itu kan bukan cuma khayalan belaka?!" Bab 11 KEJADIAN ANEH TIDAK lama kemudian Dinah menyarankan agar mereka sebaiknya sarapan saja dulu, lalu ia pergi —ke tempat kedua keranjang besar yang berisi perbekalan makanan. la mengeluarkan beberapa buah kaleng. Menurut pendapatnya, boleh juga sekali-sekali sarapan ikan sarden serta buah persik dan sebagainya. Pokoknya hidangan yang lain dari biasanya, agar semua tidak terus memikirkan soal larinya Pak David serta keledai-keledai tunggangan mereka. Mereka duduk, tanpa banyak berbicara. Lucy-Ann tidak mau jauh-jauh dari Jack dan Philip. Setelah ada kawanan serigala, ditambah Pak David yang lari ketakutan, ia merasa sangat takut! "Mudah-mudahan saja ini tidak berkembang menjadi petualangan kita yang biasanya," katanya berulang kali pada dirinya sendiri. "Petualangan-petualangan itu selalu saja muncul secara tiba-tiba." Si Putih berjingkrak-jingkrak mendatangi Philip. Kaleng makanan yang sedang dipegang anak itu terpelanting ditanduknya. Anak kambing itu menyundul Philip dengan lembut, lalu menanduk-nanduknya dengan pelan. Philip mengusap-usap hidung si Putih, lalu mendorongnya pergi. "Syukurlah, kau tidak ikut lari dengan keledai-keledai itu!" katanya. "Sementara ini aku sudah terbiasa kaurecoki terus, Putih! He — jangan kaumasukkan hidungmu ke dalam kaleng itu! Dorong dia pergi, Lucy-Ann — nanti habis makanan kita disikatnya!" Tahu-tahu Kiki menyambar si Putih, sambil menjerit marah. Burung kakaktua itu dari tadi sudah melirik-lirik buah persik yang ada dalam kaleng. Karenanya ia marah sekali ketika melihat si Putih mengendus-endus kaleng itu. Dipatuknya hidung anak kambing itu, yang langsung lari mendatangi Philip sambil mengembik-ngembik. Anak-anak tertawa geli melihat kejadian itu. Perasaan mereka dengan segera mulai agak enak kembali. Keempat remaja itu duduk sambil makan dekat tenda, sambil sekali-sekali memandang sebentar ke arah gunung curam yang menjulang tinggi di atas kepala mereka. Dari lereng sampai puncak terjal sekali, berbeda dengan gunung-gunung lainnya di sekitar situ. "Aku tidak suka pada gunung ini," kata Lucy-Ann. "Kenapa begitu?" tanya Dinah. "Entah — pokoknya aku tidak suka," kata Lucy-Ann. "Aku punya perasaan tertentu." Anak-anak yang lain tertawa. Lucy-Ann sering mempunyai `perasaan` mengenai berbagai hal. Dan ia yakin, perasaannya pasti beralasan. Jadi tidak mengherankan jika saat itu ia mempunyai `perasaan' tentang gunung, sementara yang lain-lain berperasaan tidak enak tentang serigala serta hal-hal lainnya. "Kau tidak perlu punya perasaan apa-apa tentang gunung," kata Philip. "Gunung di mana-mana sama — terdiri dari puncak, lereng, dan bagian kaki. Kadang-kadang ada gerombolan domba di situ, dan kadang-kadang tidak!" "Tapi tidak banyak gunung yang ada serigalanya," kata Lucy-Ann bersungguh-sungguh. Hal itu menyebabkan anak-anak yang lain mulai merasa tidak enak lagi. "Apa yang akan kita lakukan hari ini?" tanya Jack, setelah semua selesai sarapan. "Kurasa kita terpaksa tinggal di sini terus, sampai Bill datang mencari kita. Kita jangan mencoba-coba berjalan kaki pulang, karena kecuali tidak tahu jalan, kita pun takkan mampu mengangkut bekal makanan cukup banyak, supaya jangan sampai kelaparan di tengah jalan." "Ya — jauh lebih baik jika kita di sini saja," kata Philip dengan segera. "Kemungkinannya masih ada satu banding sepuluh bahwa Pak David tahu jalan kembali untuk mengantarkan Bill beserta keledai-keledai kemari. Sedang kalau kita berkeliaran, mereka takkan mungkin bisa menemukan kita." "Ya — kelihatannya memang itulah tindakan yang terbaik," kata Jack. "Di sini ada perkemahan kita — jadi kita sebaiknya bersikap puas dengan apa yang ada. Kita nikmati saja kesempatan berkemah ini. Tapi lebih enak rasanya apabila di sini ada tempat untuk mandi-mandi. Hawa panas sekali, sedang aliran air itu terlalu kecil — paling-paling kita hanya bisa berkecipak-kecipuk saja di situ." "Kita nanti jangan memencar," kata Lucy-Ann. "Maksudku — kawanan serigala itu bisa kita takut-takuti sampai lari jika kita berteriak serempak — tapi jika kita seorang diri saja — nanti — nanti kita..." "Dimakan serigala!" kata Jack, lalu tertawa. "Aduh, besarnya matamu, Nek! Dan bukan main besarnya taring-taringmu!" la menirukan ucapan si Tudung Merah ketika berhadapan dengan serigala yang menyamar jadi Nenek. "Sudahlah, jangan kauganggu dia!" kata Philip, karena melihat Lucy-Ann benar-benar ketakutan. "Kau tidak perlu takut, Lucy-Ann. Serigala baru benar-benar kelaparan saat musim dingin. Sakarang kan musim panas!" Lucy-Ann nampak lega mendengarnya. "Yah — kalau mereka benar-benar kelaparan, pasti keledai-keledai sudah langsung diserang, ya?" katanya. "Tapi aneh - kenapa di sini ada serigala?" Keempat remaja itu hendak mengemaskan perbekalan makanan mereka. Tahu-tahu terjadi sesuatu yang menyebabkan mereka seperti terpaku di tempat masing-masing. Pertama-tama terdengar bunyi gemuruh, yang seakan-akan datang dari dalam gunung. Tanah bergetar sedikit. Keempat remaja itu saling pegang-memegang dengan perasaan kecut. Kiki menghambur ke udara sambil menjerit-jerit. Si Putih meloncat ke atas batu yang tinggi. Ia berdiri di situ dengan sikap seolah-olah hendak terbang. Getaran berhenti! begitu pula bunyi gemuruh. Tapi hampir seketika itu juga bunyi tadi kedengaran lagi. Agak lebih keras, tapi tidak jelas — seolah-olah datang dari suatu tempat di balik dinding batu yang sangat tebal. Tanah bergetar lagi. Si Putih melonjak tinggi-tinggi, lalu mendarat di atas batu lain. Anak kambing itu nampak sangat takut. Begitu pula halnya dengan anak-anak. Lucy-Ann berpegang erat-erat pada Jack dan Philip. Mukanya pucat pasi. Dinah pun berpegangan pada Philip, tanpa mengingat rasa takutnya pada Sally, cecak ular itu. Setelah itu bunyi gemuruh lenyap. Tanah di bawah kaki pun sudah tidak bergetar lagi. Burung-burung yang tadi terdiam, sudah mulai berkicau kembali. Si Putih sudah pulih dari rasa takutnya. la datang menghampiri sambil berjingkrak-jingkrak. Kiki hinggap kembali di bahu Jack. "Hidup Ratu," oceh burung itu dengan nada lega. "Apa itu tadi?" kata Philip setelah beberapa saat. "Gempa bumi? Aduh, takut sekali aku saat itu!" "Philip — ini kan bukan gunung api, ya?" tanya Lucy-Ann cemas, sambil mendongak ke arah puncak gunung. "Tentu saja bukan! Kalau gunung api, akan langsung ketahuan dari bentuknya!" jawab Jack. "Ini gunung yang biasa-biasa saja — tapi entah apa yang menyebabkannya bergemuruh dan bergetar seperti tadi. Seram rasanya hatiku karenanya." "Kan sudah kukatakan, aku punya perasaan tertentu tentang gunung ini," kata Lucy-Ann. "Ada perasaan aneh dalam hatiku mengenainya. Aku ingin kembali saja sekarang. Aku tidak ingin lebih lama berada di tempat ini." "Kami semua juga," kata Philip, "tapi kita pasti takkan tahu jalan nanti, Lucy-Ann. Soalnya lain jika selama ini kita menyusur jalan tertentu. Tapi kau kan tahu sendiri., sewaktu ada kabut tebal kita tanpa sadar meninggalkan jalan yang sedang dilalui. Jadi kita takkan mungkin bisa mengetahui jalan mana yang harus ditempuh." "ltu juga kusadari," kata Lucy-Ann, "tapi aku tak suka pada gunung ini — apalagi jika mulai bergemuruh dan bergetar. Kira-kira apa yang menyebabkannya?" Tidak ada yang tahu jawabannya. Mereka membereskan makanan yang masih tersisa, lalu pergi mencuci badan di parit yang hanya sedikit airnya. Tahu-tahu angin yang bertiup terasa dingin. Anak-anak mendongak. Mereka melihat awan tebal bergulung-gulung datang dari arah barat daya. "Kelihatannya seperti akan turun hujan," kata Jack. "Moga-moga saja angin tidak bertambah kencang. Kalau itu terjadi, pasti tenda-tenda kita akan diterbangkannya. Kalian masih ingat tidak, bagaimana tenda-tenda kita diterbangkan angin sewaktu kita sedang mengalami petualangan di Pulau Puffin? Huh — seram sekali rasanya saat itu." "Yah," kata Philip, "jika menurutmu ada kemungkinan tenda-tenda kita nanti diterbangkan angin, Jack — sebaiknya kita cari saja tempat berkemah yang lebih baik daripada di sini. Tapi jangan terlalu jauh, karena nanti ada kemungkinan kita tidak melihat Bill dan Pak David, apabila mereka mencari kita. Dekat sekelompok pepohonan, atau bisa juga gua — pokoknya tempat di mana kita terlindung dari tiupan angin." "Kita cari saja sekarang," kata Dinah sambil mengenakan jasnya. Aneh — hawa langsung terasa dingin, begitu matahari menghilang di balik awan dan angin terasa bertiup. "Si Putih kita ajak, karena kalau tidak, bisa habis sisa makanan kita disikatnya!" Tanpa diajak pun, anak kambing itu memang ingin ikut. la berjalan di samping Jack dan Philip, sambil berjingkrak-jingkrak iseng seperti biasanya. Tapi sementara itu ia sudah jengkel sekali terhadap Kiki. Setiap kali burung kakaktua itu mendekat, si Putih pasti melonjak ke arahnya. la ingin membalas Kiki, yang mematuk hidungnya. Jack dan Philip berjalan agak cepat, sehingga adik-adik mereka tertinggal sedikit. Kemudian Philip berbicara dengan suara pelan. "Kurasa lebih baik kita mencari gua, Jack!" katanya. "Hatiku tidak enak membayangkan binatang-binatang itu — serigala, atau entah apa — berkeliaran malam-malam di sekitar kita. Kalau di dalam gua, kita bisa menyalakan api di mulutnya, sehingga tidak ada binatang berani masuk." "Ya, itu gagasan yang baik," kata Jack menyetujui. "Tak terpikir hal itu olehku tadi! Aku pun tidak suka membayangkan kemungkinan ada kawanan serigala datang mengendus-endus malam-malam di sekitar tenda kita, sementara kita tidur! Lebih aman rasanya, kalau di dalam gua!" Karenanya mereka lantas mencari-cari gua atau tempat yang menjorok masuk ke dalam tebing batu. Tapi mereka tidak menjumpainya. Gunung tempat mereka berada terjal sekali, sehingga sangat sulit didaki. Sedang Lucy-Ann takut terpeleset sehingga jatuh ke bawah. Si Putih meloncat-loncat, mendului mereka. Geraknya pasti di tempat berbatu-batu itu. Jack dan Philip ingin bisa bergerak begitu leluasa di situ, seperti anak kambing itu. "Coba lihat si Putih — tenang saja ia berdiri di atas batu itu!" kata Jack. Ia sudah kesal sekali, kepanasan karena memanjat-manjat itu. "He, Putih! Kemarilah sebentar, bantu kami memanjat! Coba kami punya empat kaki yang begitu lentur seperti kakimu!" Si Putih berdiri di atas batu sambil mengibas-ngibaskan ekornya yang pendek. Kemudian ia berbalik, lalu menghilang. "Ke mana dia sekarang?" kata Jack tercengang. "Nah — itu dia muncul kembali! He, Philip, kurasa di tempatnya itu pasti ada gua, atau batu yang menaungi di sebelah atas. Si Putih bolak-balik saja menghilang!" Kedua remaja itu memanjat, menyusul si Putih. Ternyata dugaan Jack benar. Di atas batu besar yang mencuat ke depan itu ada gua rendah yang menjorok ke dalam. Bagian atasnya batu pula, yang mencuat seperti mengatapi. Di depan gua itu tumbuh berbagai jenis tanaman pakis. "Tempat ini cocok untuk keperluan kita," kata Jack. la merangkak-rangkak, menengok ke dalam. "Kita bisa menyalakan api di atas batu di luar situ — di mana si Putih tadi berdiri — supaya malam-malam kita bisa merasa aman. Kau pintar, Putih! Kau menemukan apa yang memang kami ingini!" "Tapi bagaimana cara kita mengangkut segala barang-barang kita ke atas sini?" kata Philip ragu. "Tadi saja kita sudah capek memanjat-manjat. Lain halnya jika kita ini keledai atau kambing yang dengan enak saja bisa mendaki lereng yang curam, bahkan dengan membawa muatan di punggung. Kita kalau memanjat harus dengan bantuan tangan." Itu memang merupakan masalah yang tidak gampang dipecahkan. Dinah dan Lucy-Ann dipanggil, lalu dibantu naik ke atas batu tempat si Putih tadi berdiri. "Ini ada tempat yang baik, di mana kita bisa tidur malam ini," kata Jack. "Dari sini bisa kelihatan dengan jelas apabila Bill muncul bersama Pak David. Lihatlah, dari atas batu ini kita bisa memandang sampai jauh sekali! Dan kita juga aman dari gangguan serigala, apabila kita menyalakan api di depan mulut gua ini." "Ya, betul!" kata Lucy-Ann senang. la menyusup masuk ke dalam gua. la harus merunduk ketika melewati ambangnya, tapi di dalam langit-langit ternyata lebih tinggi. "Ini sebenarnya bukan gua, melainkan rongga di bawah batu besar yang mencuat di atas itu," katanya. "Tapi pokoknya, cocok untuk kita!" Anak-anak duduk di atas batu, sambil berharap-harap semoga matahari muncul lagi dari balik awan. Si Putih merebahkan diri di sisi mereka. Kiki bertengger di bahu Jack. Tapi tiba-tiba ia terbang membubung sambil menjerit dengan nyaring. Si Putih cepat-cepat meloncat bangun, lalu memandang ke arah bawah. Kenapa mereka begitu? "Kawanan serigala itu lagi, ya?" tanya Lucy-Ann ketakutan. Semuanya memasang telinga. Terdengar suara binatang di sebelah bawah mereka, di tengah semak belukar yang tumbuh di bawah pepohonan yang berbatang putih. Dari bunyinya tidak dapat diketahui dengan jelas jumlah binatang-binatang itu. Bisa seekor— tapi mungkin juga lebih banyak. "Cepat, kembali ke gua," kata Jack dengan suara pelan pada Dinah dan Lucy-Ann. "Dan jangan bersuara!" Kedua anak perempuan itu menyelinap masuk kembali ke dalam gua yang gelap, sementara kedua abang mereka terus memandang ke bawah sambil mendengarkan dengan cermat. Binatang apakah yang di bawah itu? Kalau ditaksir dari bunyinya, pasti binatang besar! Bab 12 SERIGALA? TIBA-TIBA si Putih mengembik dengan suara nyaring. Sebelum Philip sempat menahan, anak kambing itu sudah meloncat ke bawah lalu menghilang ke tengah semak belukar. Saat berikut terdengar suara yang sudah mereka kenal. Suara yang menyenangkan, walau bunyinya sama sekali tidak bisa dibilang enak didengar. "L-a! l—a! l-aa!" "Astaga — itu suara keledai!" seru Jack. Ia cepat-cepat merosot turun, karena ingin melihat. "Mungkinkah keledai-keledai yang kembali? Adakah Pak David bersama mereka?" Dengan segera keledai itu sudah mereka temukan. Ternyata si Belang! Keledai itu ada di dalam semak. la mengendus-endus si Putih. Kelihatannya senang sekali bertemu kembali dengan anak kambing itu. Tapi keledai-keledai yang lain tidak kelihatan — apalagi Pak David! "Belang! Keledai manis!" seru Lucy-Ann. Ia berlari-lari menghampiri dengan gembira. "Kau ternyata kembali pada kami!" "Kembali ke si Putih, maksudmu," kata Philip. "Kau memang sayang sekali padanya, ya Belang? Kau kembali, karena ingin mencarinya. Yah — kami senang melihatmu muncul lagi, karena dengan bantuanmu, kini ada masalah sangat sulit yang bisa diselesaikan — yaitu mengangkut segala perbekalan ke gua di atas sana!" Si Belang memang kembali karena ingin mencari anak kambing itu. Tapi ia juga senang sekali bisa berjumpa lagi dengan anak-anak. Keledai itu tenang dan penyabar, dan tidak segan bekerja keras. la terus saja berada di dekat anak-anak, sementara si Putih tidak mau beranjak dari sampingnya. "Sini, Belang!" seru Philip memanggilnya. "Tolong angkutkan barang—barang ini ke atas, ya!" Si Belang berdiri dengan patuh, sementara Jack dan Philip mengikatkan barang-barang yang akan diangkut ke punggungnya. Mula-mula perlengkapan tidur yang dibawa ke atas. Keledai itu agak repot juga berjalan mendaki tebing yang terjal. Tapi ia sampai di atas dengan selamat. Setelah itu ia turun lagi, untuk mengangkut keranjang-keranjang berisi makanan. "Terima kasih, Belang!" kata Jack sambil menepuk punggung keledai itu. "Sekarang ikut aku, kita minum!" Semua ikut turun ke air yang mengalir di lereng, lalu minum dan bermain-main dengan air. Matahari sudah muncul dari balik awan. Hawa langsung terasa panas sekali. Anak-anak melepaskan jas mereka, lalu berbaring sambil menjemur badan. "Kita harus mencari kayu untuk api unggun malam ini," kata Jack. "Agak banyak juga yang diperlukan, apabila apinya harus menyala terus sepanjang malam. Kita masukkan saja ke dalam keranjang-keranjang, lalu kita suruh si Belang membawakannya ke atas!" "Untung ada si Belang!" kata Dinah. Anak-anak mengumpulkan kayu bakar sebanyak mungkin, lalu ditumpukkan di atas batu di luar gua. Tapi tumpukan itu belum dinyalakan. Api unggun yang berkobar-kobar nyalanya baru diperlukan apabila hari sudah malam. Tidak lama kemudian senja datang menjelang. Matahari terbenam di balik pegunungan, teriring pancaran sinar yang merah semarak Anak-anak masuk ke dalam gua, begitu lereng gunung sudah gelap. Setiap kali mereka teringat lagi pada kawanan serigala serta Pak David yang menjerit ngeri ketika melihat sesuatu di dalam semak. "Hitam, hitam!" serunya saat itu. Apakah yang dilihatnya? Selama hari masih siang, anak-anak tidak begitu teringat pada hal-hal itu. Tapi begitu hari gelap, bayangan seram langsung timbul. Mereka berunding, apakah si Belang sebaiknya dibawa masuk ke dalam gua atau tidak. Akhirnya keledai itu sendiri yang memutuskan. Ia tidak mau dibawa masuk ke bawah naungan batu yang mencuat, melainkan tetap berdiri di luar dengan sikap keras kepala. Biar anak-anak mendorong-dorongnya sekuat tenaga, ia tetap saja tidak bisa dipaksa masuk. Pokoknya ia tidak mau masuk ke dalam gua — habis perkara! "Baikkah, Belang!" tukas Jack kesal. "Tinggal saja di luar kalau begitu — biar kau dimakan serigala, jika itu yang kauingini!" "Aduh, jangan suka berbicara begitu," kata Lucy-Ann cemas. "Ayo masuk, Belang! Masuklah!" Tapi si Belang tetap berkeras, hendak tinggal di luar. Akhirnya anak-anak yang menyerah. Kalau si Putih dan Kiki, sama sekali tak ada kesulitan, karena yang satu ingin bersama Philip, sedang yang lain ingin menemani Jack. "Sekarang kita nyalakan api unggun, karena sudah sangat gelap,“ kata Jack. "Mana korek apinya, Philip?" Dengan segera api unggun sudah menyala, karena dahan dan ranting yang dikumpulkan kering sekali. Nyalanya nampak meriah, melonjak-lonjak seperti menari, teriring bunyi gemertak kayu dimakan api. "Menyenangkan sekali rasanya," kata Lucy-Ann. "Aku merasa aman berlindung di gua ini, sementara di depan ada api menyala. Philip, suruh si Putih berbaring ke sebelah sana. Sakit badanku disodok-sodok kukunya. Kenapa ia tidak memakai selop saja, kalau malam!" Anak-anak tertawa. Semua merasa aman dan nyaman di kantung tidur masing-masing, sementara nyala unggun menerangi gua, menyebabkan bayang-bayang bergerak-gerak sepanjang dinding. Si Putih berbaring sambil merapatkan diri pada Philip, sedang Kiki bertengger di bagian tengah tubuh Jack. Si Belang ada di luar. Lucy-Ann menyayangkan, kenapa keledai itu tetap tidak mau diajak masuk. Semua tertidur, setelah untuk beberapa lama memperhatikan api unggun. Nyalanya mengecil ketika seluruh kayu yang bertumpuk sudah habis terbakar. Akhirnya hanya bara merah saja yang masih nampak. Beberapa jam kemudian Philip tiba-tiba terbangun. Dilihatnya unggun sudah hampir padam. Ia keluar dari kantung tidurnya untuk menambah kayu. Api unggun tidak boleh sampai mati seluruhnya! Si Belang masih tetap berbaring dengan tenang di uar, Philip melihat keledai itu diterangi nyala api yang berkobar memakan kayu yang ditumpukkan di atas unggunan. Setelah itu ia menyusup lagi ke dalam kantung tidurnya. Tapi si Putih ternyata sudah lebih dulu masuk, sementara Philip sedang menumpukkan kayu di atas api. "Berandal cilik," kata Philip memarahinya dengan suara pelan. "Ayo, keluar! Tempatnya tidak cukup untuk kita berdua!" Tapi si Putih tidak mau ke luar, sehingga Philip terpaksa menarik dan mendorong-dorong sebentar. Untung tidak ada yang ikut terbangun, karena semua tidur lelap. Akhirnya Philip berhasil mengeluarkan anak kambing itu, lalu menyusup masuk ke dalam kantung tidurnya. Dengan cepat dieratkannya tali pengikat pada bagian leher, sebelum si Putih bisa berusaha masuk lagi. Anak kambing itu mendesah dengan sikap kecewa, lalu mengambrukkan diri di atas perut Philip. Philip berbaring sambil memandang api unggun. Asapnya kadang-kadang ditiup angin masuk ke dalam gua, sehingga Philip nyaris terbatuk- batuk karenanya. Kemudian ia menegakkan tubuh. Sambil bertelekan pada siku, ia memandang ke luar. la mendengar bunyi si Belang bergerak-gerak. Apa sebabnya? Jantung Philip berdebar-debar. Sejumlah bayangan gelap nampak menyelinap, bergerak mendatangi gua. Sosok-sosok itu tidak melewati unggun, tapi kelihatannya tidak takut pada api. Napas Philip terasa sesak. Debaran jantungnya semakin cepat, seakan-akan habis berlari. Apakah yang ada di luar itu? Jangan-jangan serigala! Philip melihat sepasang mata bersinar, seperti lampu mobil di kejauhan — tapi warnanya hijau, sehijau rumput! la duduk. tanpa berani berkutik sedikit pun. Kawanan serigala itu datang lagi! Rupanya mereka mencium bau rombongan yang berlindung di dalam gua. Apakah yang akan dilakukan binatang-binatang itu? Untung saja mereka tidak menyerang si Belang! Dan keledai itu pun tidak sangat takut rupanya, melainkan hanya agak gelisah Sosok-sosok gelap itu menyelinap bolak-balik di belakang nyala api. Philip tidak tahu apa yang harus diperbuat saat itu. la hanya bisa berharap, semoga binatang-binatang itu masih cukup takut pada api, sehingga tidak berani melewatinya lalu masuk ke dalam gua. Setelah beberapa waktu, kawanan binatang itu pergi. Philip bisa bernapas lega kembali! Aduh, bukan main takutnya ia tadi. Untung sore itu terpikir untuk membuat api unggun! Philip bertekad takkan tidur lagi malam itu, untuk menjaga jangan sampai api padam. Anak itu berbaring dengan mata nyalang. Otaknya penuh dengan pikiran tentang serigala, bunyi gemuruh, gempa bumi, serta "Hitam, hitam!" Terasa ada yang aneh dengan segala kejadian itu. Ada tidak hubungan antara berbagai hal itu? Jangan-jangan ada yang tidak beres dengan gunung ini, katanya dalam hati. Api unggun mulai mengecil. Philip bangun dengan hati-hati. Maksudnya hendak menumpukkan kayu tambahan ke atasnya. Kini ia bisa melihat sampai jauh sekali, karena bulan sudah ada di langit. Unggunan berkobar besar kembali, setelah kayu ditambahkan ke atasnya. Philip bergerak dengan hati-hati meninggalkan gua, menghampiri si Belang. Saat itu ia mendengar bunyi yang mencurigakan. Philip menoleh dengan cepat. Jantungnya seakan berhenti berdetak sesaat, ketika melihat seekor serigala berdiri di depan gua. Rupanya binatang itu menyelinap ke situ, saat Philip pergi mendatangi si Belang! Akan masukkah serigala itu ke dalam gua? Binatang itu berdiri tanpa bergerak, sambil memandang ke arah Philip. Philip membalas tatapannya. Dalam hati ia mencari-cari akal. Apa yang harus dilakukannya, jika binatang itu menyerang? Tapi saat itu terjadi sesuatu yang sama sekali tak terduga semula. Ekor binatang itu bergerak-gerak, mengibas-ngibas — persis seperti anjing besar! Philip merasa lega sekali. Binatang itu ternyata ingin berteman dengannya. Binatang umumnya memang cepat sekali tertarik pada Philip. Tapi serigala? Itu benar-benar luar biasa! Anak itu mengulurkan tangan ke depan, walau dengan agak takut-takut. Tapi ia nekat. Serigala itu berlari-lari kecil mengitari unggun, menghampiri Philip — lalu menjilat tangan anak itu sambil mendengking pelan. Sinar bulan menerangi bulunya yang berwarna gelap, telinganya yang runcing, serta moncongnya yang panjang. Serigalakah itu? Philip mulai menyangsikannya, setelah binatang itu ada di dekatnya. Tiba-tiba disadarinya, binatang apa yang berdiri di hadapannya itu. “Ah, kau ini kan anjing herder!" serunya lega. "Kenapa tak kusadari selama ini? Mana teman- temanmu yang lain? Kalian semua anjing gembala! Anjing baik — anjing manis! Akui ingin berteman dengan kalian!" Anjing gembala Jerman yang besar itu meletakkan kaki depannya ke bahu Philip, lalu menjilati muka anak itu. Kemudian ia mendongak. Anjing itu melolong. Bunyinya persis suara serigala. Tapi Philip sudah tidak takut lagi mendengarnya. Lolongan itu rupanya untuk memanggil anjing- anjing lainnya. Dari arah bawah terdengar bunyi langkah-langkah berlari menerabas semak belukar. Sekawanan anjing melompat ke atas batu yang mencuat Mereka mengepung Philip. Tapi begitu melihat pemimpin mereka bersikap ramah terhadap anak itu, mereka pun ikut menggapai-gapainya sambil menjilat-jilat. Suara lolongan tadi membangunkan ketiga anak yang masih tidur dalam gua. Mereka cepat-cepat duduk, tercengkam perasaan takut. Mereka semakin ngeri ketika melihat Philip seperti sedang diserang kawanan serigala di luar gua! "Aduh — mereka menyergap Philip! Cepat!" seru Jack. Ketiga remaja itu cepat-cepat keluar dari kantung tidur masing-masing, lalu bergegas keluar untuk membantu Philip. Anjing-anjing yang mengerumuninya langsung menggeram, karena mendengar bunyi ribut-ribut di dalam gua. "Kami datang, Philip!" seru Lucy-Ann. Dengan berani anak itu mengambil sepotong kayu, untuk dijadikan pentungan. "Tenang, tenang!" seru Philip. "Mereka tidak menyerang diriku. Mereka ramah! Ini bukan serigala, melainkan anjing herder!" "Astaga!" kata Dinah, sambil muncul ke tempat di luar gua yang diterangi cahaya bulan. Begitu lega hatinya mendengar bahwa yang dihadapi itu bukan serigala, sehingga lenyap rasa takutnya pada anjing-anjing besar yang begitu banyak! "Aduh, Philip!" desah Lucy-Ann. Ia hampir menangis karena lega. "Kusangka kau sedang diserang mereka!" "Kalau begitu kau benar-benar tabah, mau datang menyelamatkan diriku," kata Philip. Ia tersenyum geli melihat kecilnya kayu yang diambil Lucy-Ann untuk mengusir kawanan anjing yang disangkanya serigala. "Pemimpin mereka rupanya ingin berteman — dan karenanya yang lain pun ikut-ikut!" Anjing-anjing besar itu kelihatannya hendak tetap di situ. Philip menimbang-nimbang, apa yang sebaiknya dilakukan. "Mereka tidak bisa kita ajak masuk ke dalam gua," katanya. "Tempat di situ sempit — nanti kita tidak bisa bernapas." "Jangan, ah!" kata Dinah. la sudah ngeri saja membayangkan anjing sebanyak itu ikut tidur bersama mereka di dalam. " "Kalau begitu kita ambil saja kantung tidur kita, lalu tidur di sini dekat si Belang," kata Philip. "Anjing-anjing ini boleh tinggal jika mereka mau. Tapi jika tidak, mereka boleh saja pergi lagi. Jumlah mereka sekitar sepuluh ekor. Aku ingin tahu, kenapa mereka berkeliaran seperti anjing liar di sini. Bayangkan — sepuluh ekor! Luar biasa." Anak-anak menyerat kantung tidur masing-masing ke luar, lalu berbaring lagi di dalamnya. Anjing-anjing besar itu mengendus-endus di sekitar mereka, dengan sikap heran. Kemudian pemimpin mereka duduk, di samping Philip. Sikapnya gagah sekali, seperti hendak mengatakan, "Jangan ada yang berani mendekat! Anak ini kulindungi!" Anjing-anjing yang lain berbaring di antara anak-anak Si Putih tidak berani menghampiri Philip, karena takut melihat anjing besar pemimpin kawanan herder itu. Karenanya ia lantas mendatangi Jack. Kiki memilih lebih baik bertengger di atas pohon saja. la tidak mau dekat-dekat dengan anjing sebanyak itu! Sinar bulan menerangi pemandangan yang luar biasa empat remaja berbaring di atas batu, ditamani seakor anak kambing, seakor burung kakaktua, seekor keledai — serta sepuluh anjing herder! Bab 13 WAJAH DI SELA DEDAUNAN KEESOKAN paginya anak-anak terbangun karena terkejut mendengar si Belang bersin dengan keras. Mereka berlompatan, karena kaget mendengar bunyi itu. Saat itu si Belang bersin lagi. "Ah, si Belang rupanya yang bersin! Kau pilek, Belang?" tanya Lucy-Ann agak cemas. Kemudian ia memandang berkeliling, karena teringat pada kejadian saat tengah malam. "Mana anjing-anjing itu?" Pertanyaan ini diucapkan serempak oleh anak-anak. Kawanan anjing herder sudah tidak ada lagi di tempat itu. Anak-anak berpandang-pandangan dengan perasaan heran. Ke manakah binatang- binatang itu? Dan kenapa mereka tahu:tahu pergi lagi? "Tidak mungkin itu cuma mimpi, karena mustahil kita semua bermimpi sama," kata Dinah, menjawab pertanyaan yang ada dalam hati mereka berempat. "Mereka benar—benar datang kemari tadi malam. Sepuluh ekor! Aneh." "Ya, memang aneh," kata Jack. "Menurut pendapatku, mereka pasti anjing-anjing peliharaan. Sikap mereka tidak seperti kawanan anjing liar." "Pendapatku juga begitu,“ kata Philip. "Tapi lalu siapa yang memelihara mereka? Bermil-mil di sekitar sini kan sama sekali tidak ada rumah! Kecuali itu untuk apa memelihara sepuluh ekor anjing pemburu manusia di daerah pegunungan yang begini terpencil?" "Wah — jadi anjing-anjing itu pemburu manusia?" tanya Lucy-Ann kaget "Yah — polisi biasanya memakai anjing herder untuk melacak jejak penjahat," kata Philip. "Betul kan, Jack? Anjing gembala Jerman tajam sekali penciumannya. Tapi tak mungkin di sini sedang ada polisi, apalagi dengan membawa anjing herder. Maksudku —jika ada polisi datang kemari, Bill pasti diberi tahu. Ia kan menduduki jabatan tinggi di kepolisian, jadi tidak ada hal yang tidak diketahuinya sehubungan dengan aktivitas polisi." "Dari mana mereka. kalau begitu?" tanya Dinah. "Mungkinkah mereka ditugaskan menjaga sesuatu — untuk mengusir, atau memberi tanda, misalnya?" "Itu mungkin saja— tapi apa yang perlu dijaga di sini, di daerah pegunungan yang begini?" kata Jack. "Menurutku di sini sama sekali tidak ada apa-apa!" "Sudahlah, jangan dipikirkan terus soal itu," kata Philip sambil keluar dari kantung tidurnya. "Aku ingin mandi-mandi sebentar. Ada yang mau ikut?" "Yuk," kata Dinah. "Setelah itu kita membuka beberapa kaleng makanan, untuk sarapan. Coba kita tadi teringat, memberikan sisa daging ham beserta tulangnya pada anjing—anjing itu, Jack. Dagingnya sudah tidak baik lagi —— tapi mereka pasti tak peduli." "Lain kali saja kita berikan, kalau mereka muncul lagi," kata Jack. Keempat remaja itu berkecimpung dalam air sungai kecil. diikuti si Putih dan si Belang. Kiki duduk agak menjauh, sambil mengata-ngatai mereka. Burung kakaktua tidak suka kena air. "Puh! Hahh!" teriaknya. "Huhh! Pah!" "Ya, ya, bagus — terus saja, campur adukkan saja cercaanmu, Kiki!" kata Jack. "Bagaimana dengan ’hii' dan `beee`. Kau kan juga tahu bunyi ejekan itu!" "Hibee," oceh Kiki dengan asyik. "Hibee, hibee, cul —— hibee muncul!" Anak-anak tertawa, diikuti oleh Kiki. Kemudian ia menirukan suara si Belang meringkik. Persis sekali bunyinya, sehingga keledai itu celingukan mencari kawan sejenis yang meringkik itu. "l—aa, i—aa, i—aa," teriak Kiki dengan asyik. Jack melempar handuk ke arahnya, agar ia berhenti. Kiki menjerit dengan marah, karena kepalanya tertutup handuk. Si Belang dan si Putih memandangnya dengan heran. Sehabis sarapan, Lucy-Ann pergi mencuci peralatan makan di kali, sementara anak-anak yang lain mempelajari peta untuk mengetahui di mana mereka saat itu berada. Lucy-Ann berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Ia berlutut di tepi air, sambil menggosok piring dengan pasir. Tiba-tiba ia mendongak, karena merasa seperti mendengar sesuatu di atas pohon yang tumbuh di dekat situ. Pohon itu berdaun lebat. Lucy-Ann menyangka bahwa yang terdengar tadi pasti burung yang sedang hinggap di situ. Tapi tahu-tahu ia terkejut setengah mati, karena ada orang memandang dari atas pohon. Muka yang tersembul di tengah dedaunan itu — berkulit hitam! Anak perempuan itu duduk terpaku dengan piring di tangan, tidak mampu bergerak maupun bersuara sama sekali. Ranting-ranting tersibak ke samping. Kini nampak bahwa orang yang memandangnya itu berambut kribo. Bibirnya tebal, sedang giginya putih sekali. "Orang Negro," kata Lucy-Ann dalam hati. "Tapi kenapa ada di sini — di atas pohon? Apa yang harus kulakukan sekarang?" Orang berkulit hitam itu memandang anak perempuan yang masih terpaku di bawah pohon. Kemudian ia tersenyum, sambil mengangguk ramah. Tangannya tersembul dari balik dedaunan, diangkat mendekati mulut. Orang itu meletakkan telunjuknya ke bibir. "Jangan berteriak, Gadis cilik," laki-laki hitam itu berbisik dengan suara parau. "Jangan bilang aku ada di sini. Aku ini orang yang malang, tersesat seorang diri di sini." Lucy-Ann tidak menuruti permintaan itu. la harus memberi tahu, tekadnya dalam hati. Tapi anak-anak yang lain tidak mendengar seruannya. Laki-laki berkulit hitam itu menggeleng-geleng sambil mengerutkan kening. "Kalian harus cepat—cepat pergi dari sini, Gadis cilik. Gunung ini berbahaya. Banyak orang jahat di sini. Jika kalian tidak lekas-lekas lari, nanti ditangkap oleh orang-orang itu. Di sini banyak bahaya, Gadis cilik!" "Anda sendiri, kenapa ada di sini?" tanya Lucy-Ann dengan nada takut. "Dari mana Anda mengetahui semua hal itu?" "Sebelum ini aku ada di dalam gunung jahat, Gadis cilik. Lalu aku minggat. Tapi tidak bisa ke mana-mana — takut anjing-anjing besar itu. Aku terpaksa tetap di atas pohon besar ini. Cepatlah lari, jauhi tempat ini, Gadis cilik! Jauh sekali!" Lucy-Ann merasa tidak seram. Tiba-tiba ia berpaling, lalu lari ke tempat anak-anak yang lain. la sampai dengan napas tersengal-sengal. "Ada apa?" seru Jack kaget. Wajah Lucy-Ann pucat pasi, menunjukkan bahwa ia terkejut sekali. la hanya bisa terbata-bata, sambil menuding-nuding ke arah sungai kecil. "Orang hitam!" katanya putus-putus. "Hitam!" "Hitam? Kata itulah yang diucapkan berulang-ulang oleh Pak David!" seru Philip. "Tenangkan dirimu, Lucy-Ann! Katakan apa yang kaulihat tadi, Cepat!" Sementara napasnya masih tersengal-sengal, Lucy-Ann menceritakan apa yang baru saja dialaminya di tepi sungai. Anak—anak yang lain kaget mendengar ceritanya. Ada orang hitam . bersembunyi di atas pohon — karena takut pada kawanan anjing! Orang yang mengatakan bahwa gunung itu berbahaya — banyak orang jahat'! Apa maksudnya? "Yuk — kita tanyakan saja padanya!" seru Jack. "Rupanya ada sesuatu yang misterius di sini. Mari kita selidiki, lalu kita laporkan pada Bill, apabila ia datang nanti. Ayo, cepat!" -- Anak—anak bergegas lari ke air, lalu memandang ke atas pohon. Tapi tidak ada siapa-siapa di situ. Laki-laki Negro tadi sudah menghilang lagi. "Sialan!" tukas,Jack kecewa. "Rupanya ia takut melihat kau cepat-cepat lari tadi, Lucy-Ann, karena menduga kau pasti akan memanggil kami!" "Ajaib, kenapa anjing-anjing itu tidak menemukan jejaknya tadi malam — serta sewaktu Pak David melihat dia di atas pohon ini," kata Jack. "Kurasa karena orang itu cukup cerdik," kata Philip. la memandang air yang mengalir dari atas. "Anjing kan tidak bisa mengendus bau dalam air. Dan orang hitam itu mestinya datang dari sebelah atas atau bawah kemari sambil mengarungi sungai kecil ini. Sesampai di pohon, lalu meloncat naik ke atas. Kawanan anjing herder itu takkan sanggup mengikuti jejaknya dalam air. Walau begitu ia rupanya ketakutan juga, melihat anjing—anjing itu berkeliaran di dekat-dekat sini!" "Mungkinkah anjing-anjing itu mencari dia?" tanya Lucy-Ann ngeri. "la mestinya ketakutan setengah mati. Kaiau aku sudah pasti ngeri, apabila dikejar-kejar kawanan anjing herder!" Keempat remaja itu masih mencari—cari selama beberapa saat, tapi Negro itu tetap tidak ditemukan. "Mungkinkah maksudnya tadi di dalam gunung ini ada orang?" tanya Dinah, setelah mereka menghentikan pencarian. "Kedengarannya tidak masuk akal —— tapi jika diingat bunyi gemuruh yang kita dengar kemarin — serta tanah yang bergetar keras — mungkin saja ada orang yang bekerja di dalam gunung," kata Jack. "Bekerja bagaimana maksudmu? Tambang, begitu?" tanya Dinah. "Entah — aku pun tidak tahu. Mungkin saja! Walau tidak bisa kubayangkan apa yang bisa ditambang di dalam gunung ini, atau dengan cara bagaimana mesin—mesin yang diperlukan diangkut masuk ke dalam. Untuk itu kan diperlukan jalan! Dan kalau di sini ada jalan, pasti akan diketahui orang." "Misterius! Benar-benar misterius," kata Dinah. Lucy-Ann mendesah. "Lagi-lagi kita menjumpai petualangan," katanya. "Kita tidak boleh pergi bersama—sama rupanya. Maksud kita hendak mencari burung, kupu-kupu, atau apa saja — tapi kemudian selalu muncul sesuatu yang tak tersangka-sangka! Bosan aku rasanya!" "Kasihan," kata Philip. "Kita memang selalu secara kebetulan menjumpai hal-hal yang aneh. Bagiku, itu malah asyik! Aku suka pada petualangan." "Ya, itu karena kau anak laki—laki," kata Lucy-Ann. "Anak perempuan tidak suka pada hal-hal seperti itu." "Aku suka," seia Dinah dengan segera. "Aku selalu menikmati segala petualangan kita sampai sekarang. Sedang yang ini kelihatannya lebih misterius lagi! Ada apakah di gunung" ini? ingin sekali aku mengetahuinya! Coba orang hitam itu masih ada di sini — kita bisa minta dia menceritakan segala-galanya." "He — dengar tidak —— kurasa bunyi gemuruh itu datang lagi," kata Lucy-Ann dengan tiba-tiba. "Lihat saja si Putih, ia ketakutan sekali! Ya —— itu dia bunyinya." Jack menempelkan telinganya ke tanah. Bunyi itu kedengaran semakin jelas dan aneh. Mungkinkah gemuruh itu bunyi letusan, jauh di dalam gunung? Kemudian tanah bergetar lagi. Lucy-Ann berpegangan erat-erat pada Jack. Seram rasanya, tanah yang semula kokoh tahu—tahu bergetar! Getaran itu hanya sebentar saja. Dinah memandang sekilas ke atas tebing yang ada di belakang mereka. sambil bertanya-tanya dalam hati, rahasia apa yang ada di dalam gunung itu. Tiba-tiba sikapnya menegang. Dicengkeramnya lengan Philip. "ltu — lihat!" katanya sambil menuding ke atas. Anak-anak yang lain memandang ke arah yang ditudingnya. Nampak kepulan asap keluar dari sisi gunung, mengepul-ngepul seperti serangkaian awan kecil. Tapi itu bukan asap biasa. Warnanya kemerah-merahan. Dan berlainan dengan kabut, kepulan asap itu tidak melayang dibawa angin, melainkan tetap melayang di dekat tebing selama beberapa saat. Kemudian warnanya memucat, dan akhirnya lenyap dari penglihatan. "Wah — apa itu tadi?" tanya Jack tercengang. "Belum pernah aku melihat asap seperti itu. Rupanya pada sisi gunung di sebelah situ ada semacam celah, dari mana ada asap atau gas menghambur keluar." "Celah yang bagaimana?" tanya Lucy-Ann dengan mata terbelalak. "Yah, begitulah — semacam cerobong," kata Jack menduga. "Cerobong dengan aliran udara yang membawa asap atau gas ke luar. Hal yang sedang terjadi di dalam gunung ini mengeluarkan asap tadi, yang harus dibuang ke luar. Aku ingin tahu, apa sedang dibuat di dalam gunung ini. di samping gas atau asap tadi!" Anak-anak tidak bisa membayangkannya. Mereka merasa tidak mampu mencocokkan segala fakta aneh yang sudah mereka ketahui: kawanan anjing herder, lalu orang hitam yang mengaku minggat dari dalam gunung, bunyi gemuruh serta' tanah yang bergetar, kemudian asap merah. Aneh, benar-benar aneh! "Kenapa sih, Bill belum muncul-muncul juga!" kata Philip. "Coba ia ada di sini, mungkin ia bisa menghubung-hubungkan potongan-potongan teka-teki ini!" "Atau jika kita berhasil menemukan orang hitam yang dilihat Lucy-Ann tadi — pasti banyak yang bisa diceritakannya pada kita," kata Philip. "Kita sebaiknya tetap berjaga-jaga saja — siapa tahu, nanti akan muncul lagi," kata Dinah. Malam itu juga anak-anak memang melihatnya. Tapi satu pun pertanyaan mereka tidak sempat dijawab! Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 14 BERBAGAI PERISTIWA PETANG itu anak-anak hendak berjalan-jalan sebentar. Si Belang ditinggalkan dalam keadaan tertambat ke pohon yang di dekat air, dengan sepucuk surat terselip pada tali kekangnya. Surat itu ditujukan pada Bill, menyatakan bahwa mereka akan segera kembali. Soalnya mungkin saja Bill datang saat mereka sedang berjalan-jalan. "Tapi kurasa tak mungkin ia akan sudah sampai kemari sekarang," kata Jack. "Walau demikian, siapa tahu — karena Bill sering melakukan berbagai hal secara tak terduga. Dan dengan cepat sekali! Keempat remaja itu berangkat disertai si Putih yang berjingkrak-jingkrak di sekitar mereka. serta Kiki yang bertengger di atas bahu Jack Mereka mendaki lereng, melewati gua tempat mereka tidur malam sebelumnya. Kantung-kantung tidur mereka yang ada di situ, sudah dimasukkan lagi ke dalam gua. Tapi anak-anak berniat akan tidur di luar lagi malam ini. "Yuk, kita ikuti si Putih," kata Dinah. "Ia kelihatannya seperti tahu jalan yang bisa dilewati." Mereka pun membuntuti si Putih. Anak kambing itu ternyata ingin mendaki. Tapi kemudian mereka terpaksa berhenti, karena terhadang tebing gunung yang sangat curam, hampir tegak lurus. Bahkan si Putih pun tidak bisa terus. "Aduh, panasnya!" kata Dinah sambil mengipas-ngipaskan tangan. "Kita duduk sebentar yuk, di bawah pohon-pohon itu." Pepohonan itu seperti melambai-lambai ditiup angin. Jack mendongak dengan sikap kepingin, memperhatikan ranting-ranting yang bergerak kian kemari. "Pasti enak dan sejuk duduk di atas dahan- dahan itu, karena di situ banyak angin," katanya. "Bagaimana jika kita naik saja ke sana. Pohon-pohon ini kelihatannya gampang dipanjat." "Itu ide yang bagus!" kata Philip. "Aku suka duduk berayun-ayun di atas pohon. Kau ingin kubantu naik, Lucy-Ann?" Tidak lama kemudian keempat remaja itu sudah duduk di atas dahan yang bercabang-cabang, membiarkan diri terayun-ayun kena angin yang lumayan kuat tiupannya di atas situ. "Ini baru asyik," kata Dinah. "Sedap!" "Hebat!" kata Jack. "Jangan terlalu keras kaucengkeram bahuku, Kiki! Jangan khawatir, kau takkan bisa jatuh!" Si Putih terpaksa ditinggal di bawah. Anak kambing itu mengembik-ngembik. Beberapa kali ia mencoba meloncat naik ke atas pohon, tapi selalu gagal. Ia lari berputar-putar mengelilingi pohon yang dipanjat Philip. Kelihatannya kesal sekali! Akhirnya ia lari menghampiri sebuah batu, lalu meloncat turun naik di situ tanpa berhenti. Anak-anak tertawa geli melihat kekonyolannya. Tiba-tiba terdengar bunyi ribut-ribut, suara menggonggong, menggeram, melolong, dan mendengking. "Itu kawanan anjing yang tadi malam!" kata Jack. la memicingkan mata, memandang ke arah i suara ribut yang terdengar. "Wah — mereka mengejar orang hitam itu!" Jauh di bawah mereka terdengar bunyi berisik di tengah semak belukar, bercampur suara gonggongan. Kemudian nampak seorang laki-laki berlari melintasi medan lereng yang gundul berbatu-batu. Jaraknya sekitar setengah mil di bawah mereka. Anjing-anjing bertemperasan mengejarnya. Lucy-Ann nyaris terjatuh dari pohon karena ketakutan melihat ada orang dikejar kawanan anjing. Anak-anak hanya bisa memandang saja sambil membisu. Jantung mereka berdebar keras. Dalam hati mereka berdoa. semoga orang yang dikejar itu selamat. Orang itu berhasil mencapai sebatang pohon. Ia cepat-cepat meloncat ke atas pohon itu, tepat ketika anjing yang paling depan berhasil mengejarnya. Orang itu menjunjung tubuhnya ke atas, lalu menghilang di tengah dedaunan. Kawanan anjing mengepung pohon itu. Ribut sekali bunyi gonggongan mereka! Lucy-Ann meneguk ludah, sementara air matanya bercucuran. Ia menangis, karena merasa kasihan pada laki-laki yang dikejar-kejar itu. Sedang anak-anak yang lain memandang terus dengan perasaan suram. Philip menimbang-nimbang baik buruknya jika ia turun lalu memanggil anjing-anjing itu. Tapi sebelum ia sempat bertindak, muncul seorang laki-laki lagi. Orang itu berjalan dengan santai, menuju ke pohon yang sedang dikepung kawanan anjing. Anak-anak tidak bisa melihat tampangnya, karena jaraknya dari mereka terlalu jauh. Suaranya pun tak terdengar. Tapi udara pegunungan yang tipis melayangkan bunyi siulan melengking. Seketika itu juga anjing-anjing yang mengepung pohon lari mendatangi orang yang baru datang itu. Ia berdiri tidak jauh dari pohon. Dari gerak-geriknya dapat ditebak bahwa ia memanggil orang yang bersembunyi di situ, menyuruhnya turun. Tapi tidak ada yang nampak turun. Laki-laki yang baru muncul itu melambaikan tangannya ke arah kawanan anjing, yang dengan segera mengepung pohon lagi sambil ribut menggonggong dan melolong-lolong. Sedangkan laki-laki itu berpaling, lalu berjalan kembali ke arah dari mana ia datang tadi. "Aduh—rupanya ia menyuruh anjing-anjingnya terus mengepung pohon," kata Lucy-Ann terisak-isak. "Orang yang bersembunyi di situ pasti akan kelaparan apabila tetap bertahan di atas! Tapi kalau turun, langsung akan diserang kawanan anjing galak itu. Kita bisa berbuat apa, Philip?" "Aku akan turun, lalu memanggil anjing-anjing itu," kata Philip. "Kita tunggu dulu sampai laki-laki tadi sudah jauh, supaya ia tidak melihat aku. Setelah itu akan kuusahakan memancing anjing-anjing itu agar pergi dari sana, sehingga laki-laki yang terkepung itu mendapat kesempatan lari." la menunggu selama dua puluh menit, lalu turun dari pohon. la bergerak menyelinap dengan hati-hati di tengah belukar, menghampiri pohon yang dijadikan tempat persembunyian laki-laki yang dikejar anjing. Philip terkejut setengah mati, ketika tiba-tiba bahunya dicengkeram dari belakang. Ia berpaling dengan cepat — daan menatap wajah seorang laki-laki! Philip meronta-ronta hendak membebaskan diri dari cengkeraman orang itu. Tapi sia-sia! la tidak berani berteriak memberi tahu anak-anak yang lain, karena tidak ingin mereka ketahuan pula! Dalam hati ia menyesali dirinya sendiri, kenapa tidak menunggu agak Iebih lama lagi. Rupanya orang yang dihadapinya saat itu, adalah orang yang tadi menyuruh laki-laki yang bersembunyi agar turun dari pohon! "Apa yang kaulakukan di sini?" kata laki-laki yang mencengkeram bahu Philip. Dari logat bicaranya dapat diketahui bahwa ia orang asing. “Kau ini siapa?" "Aku cuma hendak mencari kupu-kupu, Pak," kata Philip terbata-bata, dengan tampang seolah-olah tahunya hanya kupu-kupu saja. Hatinya tidak enak melihat raut muka orang itu. Kelihatannya galak. Lancip seperti elang, dengan alis tebal menaungi mata hitam yang menatap dengan tajam. Philip langsung sadar bahwa orang ini pasti tidak gampang kena tipu. "Dengan siapa kau di sini?" tanya orang itu sambil memperkeras cengkeraman tangannya, sehingga Philip menggeliat kesakitan. "Sendiri saja. Pak. seperti Anda lihat," kata Philip. Mudah-mudahan saja orang itu mau percaya. Orang itu menatapnya dengan pandangan menyelidik. "Jika kau sudah lama di sini, pasti sudah disergap anjing-anjingku," katanya. "Kau serta kawan-kawanmu!" "Kawan-kawan yang mana?" tanya Philip pura-pura bodoh. "Ah — si Putih, anak kambingku, maksud Anda? la memang selalu ikut dengan aku!" Saat itu si Putih datang menghampiri sambil berjingkrak-jingkrak. Laki-laki itu memandangnya dengan heran. "Dia ini seperti anjing saja terhadapku — tidak pernah mau berpisah," kata Philip menjelaskan. "Lepaskan aku, Pak! Aku ke sini cuma karena hendak mencari kupu-kupu. Malam ini aku akan sudah pergi lagi.” "Kau dari mana?" tanya laki-laki itu. "Tahukah orang tuamu bahwa kau ada di sini?" "Tidak," jawab Philip tanpa berbohong. "Aku pergi begitu saja, karena hendak berburu kupu-kupu. Datangku dari sana." Ia berkata begitu sambil menggerakkan kepalanya ke arah belakang, dengan harapan bahwa orang itu mau percaya bahwa ia pencinta alam yang tidak tahu apa-apa, dan karenanya lalu melepaskan dirinya. Tapi ternyata tidak! Bahu Philip malah semakin keras dicengkeramnya, lalu ia berpaling ke arah pohon yang masih dikepung kawanan anjing. "Kau harus ikut — karena sudah terlalu banyak yang kaulihat," tukasnya. Saat itu terdengar suara orang berteriak-teriak dari atas pohon. Rupanya orang yang bersembunyi di situ hendak menyerah. Laki-laki yang mencengkeram bahu Philip datang menghampiri pohon itu, diikuti oleh si Putih yang terheran-heran. Laki-laki itu mengeluarkan peluit dari kantungnya, lalu meniupnya. Terdengar bunyi melengking tinggi. Seperti sudah terjadi sebelumnya, kawanan anjing Iangsung meninggalkan pohon dan datang menghampiri laki-laki itu. Sedang orang itu kini berteriak. Disuruhnya orang yang bersembunyi itu turun dari pohon. Orang yang ketakutan itu bergegas turun, sehingga nyaris jatuh. Ternyata ia memang orang berkulit hitam yang pernah dilihat Lucy-Ann. Kawanan anjing herder sama sekali tidak menyerangnya. Mereka terlatih baik, kata Philip dalam hati. Laki-laki Negro itu berlutut sambil mengoceh ketakutan. la kelihatannya ngeri sekali. Laki-laki yang satu lagi menyuruhnya berdiri. Nada suaranya dingin dan merendahkan. Laki-laki hitam itu berdiri lalu berjalan dengan dikelilingi kawanan anjing. Laki-laki yang satu lagi melangkah di belakangnya, sementara tangannya masih terus mencengkeram bahu Philip. Ketiga anak lainnya yang masih di atas pohon hanya bisa memandang dengan perasaan ngeri. Mereka kaget sekali ketika melihat Philip dicengkeram laki-laki itu. "Ssst — kita tidak boleh sampai ketahuan," kata Jack sambil berbisik. "Philip takkan apa-apa, jika anjing-anjing itu ada di dekatnya Ada sepuluh sahabatnya yang setiap saat bisa dipanggil untuk membela dirinya!" Iring-iringan manusia bersama anjing itu lewat dekat sekali di bawah pepohonan tempat Jack, Dinah, dan Lucy-Ann bersembunyi. Philip memaksa dirinya, jangan sampai memandang ke atas. Jangan sampai anak-anak yang ada di atas itu ikut ketahuan, katanya dalam hati. Jack menyibakkan ranting-ranting yang menutupi, lalu mengamat-amati rombongan yang lewat di bawah dengan perasaan cemas Ternyata mereka menuju ke tebing batu curam yang tidak bisa didaki. Jack meraih teropong yang tergantungi _ di lehernya, untuk mengamat-amati gerak-gerik rombongan itu dengan cermat. Ke manakah tujuan mereka? Jika itu berhasil diketahui, mungkin ia nanti akan bisa menyusul, untuk membebaskan Philip dan si Putih. Dilihatnya laki-laki tak dikenal itu menggiring Philip, lurus menuju tebing curam yang menghadang. Tahu-tahu rombongan itu lenyap. Begitu saja — tahu-tahu hilang! Jack menggosok-gosok lensa teropongnya, karena disangka kotor atau bagaimana. Tapi tidak — pemandangan yang nampak tetap sama. Hanya tebing batu yang curam — tanpa ada siapa pun di situ. Seekor anjing saja pun tidak kelihatan lagi di situ! "Jack! Bisakah kau melihat apa yang terjadi dengan Philip sekarang?" tanya Lucy-Ann dengan suara cemas. "Aduh. Jack -- ia tertangkap!" "Ya, dan kini ia digiring masuk ke dalam gunung," kata Jack. "Tapi aku tidak tahu, lewat mana! Sesaat tadi semuanya masih ada di luar, lalu tahu-tahu lenyap! Aku sampai bingung!" Sekali lagi ia mengamat-amati tempat tadi dengan teropongnya. Tapi tetap tak ada yang nampak di situ. Tahu-tahu ia menyadari bahwa matahari sudah terbenam. "Sebentar lagi hari sudah gelap." katanya pada Dinah dan Lucy-Ann. "Kita harus cepat-cepat turun lalu kembali ke gua, sementara kita masih bisa melihat jalan." Anak-anak itu bergegas turun. Lucy-Ann berusaha menahan tangis. "Apakah yang terjadi dengan Philip?" katanya sendu. "Aku ingin ia berada lagi di sini!" "Jangan cengeng." kata Dinah. "Tangismu takkan bisa menolong dia! Kau ini sedikit-sedikit menangis!" Ia mengucapkan kata-kata itu dengan ketus, untuk menyembunyikan kenyataan bahwa ia sendiri pun sudah hampir menangis. Jack merangkul kedua anak perempuan itu. "Janganlah bertengkar," katanya. "Itu pun takkan bisa menolong Philip. Yuk, kita cepat-cepat kembali ke gua. Aku akan menjemput si Belang dari air, lalu membawanya ke atas." Sementara kedua anak perempuan itu kembali ke gua, Jack pergi ke sungai kecil untuk menjemput si Belang yang menunggu dengan sabar di situ. Kiki bertengger di atas bahu anak itu. Ia sama sekali tidak mengoceh, seperti biasanya. Burung cerdik itu selalu tahu apabila ada kejadian yang tidak enak. Dicubitnya telinga Jack dengan lembut seolah-olah hendak mengatakan bahwa ia ikut prihatin. Hari sudah hampir gelap ketika akhirnya semua sudah berada di gua. Api unggun tidak perlu dinyalakan lagi malam itu — karena ternyata tidak ada serigala yang perlu ditakuti. Anak-anak kini malah akan merasa senang, apabila nampak sosok-sosok gelap datang menyelinap. Kawanan anjing herder itu pasti akan mereka sambut dengan gembira. "Aku rindu pada si Putih," kata Dinah. "Aneh rasanya, tidak melihat anak kambing itu berjingkrak-jingkrak ke mana-mana. Untunglah, ia ikut dengan Philip. Aku juga merasa lega, karena cecak ular itu juga tidak ada lagi." Ketiga remaja itu tidak ada yang ingin lekas-lekas tidur, karena merasa perlu"berembuk dulu. Dengan tiba-tiba saja begitu banyak peristiwa yang terjadi. Aduh — kapan sih, Bill tiba? Selama itu mereka mampu mengurus diri sendiri, tanpa dicampuri orang dewasa — tapi saat itu bahkan kalau Pak David saja yang datang, pasti akan disambut dengan perasaan lega! "Yah — sebaiknya kita masuk saja ke kantung tidur kita sekarang," kata Jack kemudian. "indah sekali bulan malam ini." "Bagiku tidak ada yang indah, kalau kuingat bahwa Philip tertawan," kata Lucy-Ann sedih. Tapi bulan saat itu memang sangat cemerlang sinarnya di atas pegunungan, sehingga segala-galanya nampak jelas seperti saat siang. Anak-anak itu sudah hendak menyusup masuk ke dalam kantung tidur masing-masing, ketika pendengaran Lucy-Ann yang tajam menangkap bunyi yang asing. "He — kalian dengar tidak itu," katanya sambil memasang telinga. "Apa itu? Tidak, sekali ini datangnya bukan dari dalam gunung — tapi di atas, di udara!" Anak-anak keluar dari gua. Mereka berdiri sambil mendongak di atas batu yang datar, memperhatikan langit yang cerah disinari cahaya bulan. "Aneh!" kata Jack. "Kedengarannya agak seperti pesawat terbang — tapi bukan pesawat terbang. Apakah itu?" Bab 15 DI BALIK TIRAI HIJAU Bunyi itu kian mendekat. "Seperti ada sepeda motor—tapi di udara," kata Jack. "Atau mesin jahit," kata Dinah. "Itu, Jack! Lihatlah — apakah itu? itu, bintik kecil yang di sebelah sana itu!" Jack buru-buru meraih teropong yang masih tergantung di lehernya, lalu memandang ke langit dengannya. Matanya terpicing, berusaha mengenali bintik kecil gelap yang nampak di langit. Bintik itu semakin mendekat. "Apa pun benda itu, kelihatannya hendak mendarat di gunung ini," kata Dinah. "Pelan sekali geraknya! Pesawat terbangkah itu, Jack?" "Bukan," kata Jack. "Astaga — itu helikopter! Terbangnya tidak laju, tapi bisa mendarat di tempat yang sangat sempit. Di pekarangan, atau bahkan di atas atap datar!" "Helikopter?" seru Dinah, sambil merampas teropong yang sedang dipegang Jack. "Mana — coba kulihat!" Sementara itu bintik tadi sudah cukup dekat, sehingga Dinah dapat melihatnya dengan jelas lewat teropong. Jack dan Lucy-Ann mengamat-amatinya dengan mata terpicing. Pesawat itu melayang di atas puncak gunung, lalu terbang dengan lambat mengitarinya. Beberapa menit kemudian muncul lagi. Kemudian helikopter itu membubung agak tinggi, lalu turun lambat-lambat. Geraknya hampir tegak lurus, sedang bunyinya terdengar aneh di tengah keremangan senja. Sesaat kemudian bunyi itu lenyap. "Sudah mendarat," kata Jack. "Tapi di mana? Wah — kalau aku, takkan mau mendarat di gunung_ securam ini!" "Mungkin di puncak sana ada tempat pendaratan," kata Lucy-Ann. "Ya, mungkin juga," kata Jack. "Tapi aneh sekali — mendaratkan helikopter di puncak gunung seperti ini! Untuk apa?" Tidak ada yang bisa memberikan jawaban. "Yah," kata Jack kemudian, "jika helikopter tadi benar-benar mendarat di puncak sana, itu satu kemungkinan untuk membawakan makanan serta perbekalan lainnya bagi orang-orang yang bekerja di dalam gunung ini! Mereka kan memerlukan bekal makanan, sedang di sekitar sini sama sekali tidak ada jalan masuk ke dalam." "Aku rasanya seperti sedang bermimpi," kata Lucy-Ann lirih. "Seram rasanya! Coba aku bisa bangun sekarang, dan kejadian ini ternyata memang mimpi belaka!" "Yuk — kita tidur saja sekarang," kata Jack. "Kita tidak bisa berbuat apa—apa. Kita harus menunggu sampai Bill datang. Kalau kalian mau, kita bisa tidur di luar lagi dalam kantung tidur, kita cukup hangat dan nyaman." Sambil makan coklat, ketiga remaja itu menyusup masuk ke dalam kantung tidur masing-masing. Kiki terbang ke belukar yang ada di dekat situ, lalu bertengger di sana. Burung itu mendeham-deham, menirukan Pak Dayid. "Look you, whateffer look you, whateffer," ocehnya. Rupanya ia teringat pada kata-kata yang baru dipelajarinya di tempat pertanian keluarga Evans. "Diam, Kiki!" kata Jack. "Whateffer, " kata Kiki lagi, lalu terceguk dengan suara nyaring. "Maaf!" katanya, lalu terkekeh. la diam sesaat Kemudian kepalanya tersembul lagi dari bawah sayap. "Bee!" katanya dengan puas, karena masih ingat pada bunyi ejekan itu. Kemudian kepalanya dimasukkan kembali ke bawah sayap. Malam itu Jack tidak bisa tidur nyenyak, karena memikirkan Philip. la juga tidak habis berpikir, kenapa rombongan yang terdiri dua orang laki-laki, Philip, dan sepuluh ekor anjing yang besar-besar bisa dengan tiba-tiba saja lenyap, sementara ia masih memperhatikan. Ia memutuskan untuk pergi memeriksa tebing gunung yang curam itu besok. Mungkin ia akan bisa mengetahui ke mana rombongan itu pergi — dan dengan cara bagaimana bisa tahu-tahu lenyap. "Bagaimana menurutmu — mungkinkah Bill datang hari ini?" tanya Lucy-Ann keesokan paginya. Jack menghitung-hitung sebentar, lalu menggeleng. "Kurasa belum," katanya. "Tapi mungkin besok — itu pun jika Pak David berhasil cepat-cepat kembali, lalu Bill langsung berangkat kemari. Tapi apabila kita akan pergi jauh dari air, sebaiknya kita meninggalkan surat untuk Bill, seperti yang kita lakukan kemarin. Siapa tahu, mungkin saja ia datang saat kita sedang tidak ada!" Surat yang kemarin disisipkan ke tali kekang si Belang sudah diambil lagi, ketika keledai itu diambil dari sungai kecil dan dibawa ke atas batu yang mencuat, tempat mereka bermalam. Kini Jack menulis sepucuk surat lagi. Isinya menceritakan lenyapnya Philip dekat tebing batu. Jack juga menulis tentang helikopter yang dilihatnya. Menurut perasaannya, lebih baik ia menuliskan semua yang diketahui, untuk berjaga—jaga — hanya untuk berjaga-jaga saja — kalau terjadi sesuatu nanti, dan mereka pun ikut tertawan. Banyak sekali hal aneh yang terjadi di gunung itu. Ada saja kemungkinan bahwa jika laki-laki tak dikenal itu berhasil memaksa Philip untuk mengatakan bahwa masih ada anak-anak lain di gunung itu, mereka kemudian juga akan dicari untuk ditawan pula. Jack menggiring si Belang ke tepi air. Dipilihkannya tempat teduh yang banyak rumput- nya di dekat air, supaya keledai itu bisa minum dengan leluasa. Si Belang menyukai hidup seperti itu. Tapi walau demikian ia masih memandang berkeliling dengan sikap gelisah. la merasa kehilangan si Putih. Di manakah anak kambing kecil temannya itu? "Si Putih sebentar lagi pasti sudah kembali, Belang," kata Jack sambil mengusap-usap hidung keledai itu. "Bersabarlah sedikit!" "Apa rencana kita hari ini?" tanya Lucy-Ann ketika Jack sudah kembali. "Aku rasanya tidak ingin berbuat apa-apa, setelah Philip lenyap!" "Bagaimana kalau kau ikut aku ke tebing batu yang curam itu," kata Jack. "Mungkin saja di sana kita akan bisa mengetahui bagaimana caranya mereka itu tahu-tahu bisa lenyap! Tapi kalau kau ikut, kita harus waspada sekali — jangan sampai disergap secara mendadak!" Nampak bahwa Lucy-Ann sebenarnya tidak ingin ikut. Tapi ia tidak mau berpisah dari Jack, apabila kemungkinan ada bahaya. Jika akan datang sergapan secara mendadak, ia memilih lebih baik ada bersama Jack dan Dinah! Ketiga remaja itu berangkat dengan membawa bekal beberapa kaleng makanan, karena mungkin mereka nanti segan kembali ke gua apabila hari sudah panas. Kiki terbang di atas kepala mereka sambil berteriak—teriak menirukan suara kawanan burung layang-layang yang berlayapan sambil menangkap serangga. Burung-burung. itu sama sekali tidak mempedulikan Kiki. Dengan tenang dan tangkas mereka terus melakukan kesibukan mencari makan. Akhirnya anak—anak sampai di kelompok pepohonan tempat mereka duduk-duduk menikmati hembusan angin malam kemarinnya. "Tunggu sebentar di sini," kata Jack. Ia meloncat naik ke atas pohon. "Aku ingin memeriksa sebentar, apakah keadaan benar-benar aman." Ia meneropong berkeliling, sambil berpijak ke dahan di puncak pohon. Tidak ada bunyi Iain yang terdengar saat itu, kecuali angin yang bertiup serta kicauan burung. Manusia sama sekali tidak nampak, begitu pula anjing. "Kelihatannya aman," kata Jack, setelah turun Iagi. "Yuk — kita berangkat sekarang!" Saat itu Kiki mulai meringkik—ringkik, menirukan suara si Belang. Jack berpaling sambil membentak. "Diam, Kiki! Burung nakal! Sekarang tidak boleh ribut! Burung konyol!" Kiki menggerak-gerakkan jambulnya. la terbang ke atas pohon sambil mendetak-detakkan paruh dengan marah. Sikapnya itu seolah—oIah hendak mengatakan, "Baiklah! - Kalau kau marah-marah seperti itu, aku tidak mau ikut!" Kiki bertengger di dahan pohon sambil merajuk. Tapi ia melirik ke arah anak-anak, yang sementara itu meneruskan langkah ke arah tebing. Sesampainya di situ mereka mendongak. Tebing itu menjulang nyaris tegak lurus ke atas. Takkan ada yang mampu mendaki tebing securam itu. Bahkan si Putih pun tidak! "Sekarang di mana mereka berada kemarin, ketika tahu-tahu lenyap?" kata Jack sambil mengingat-ingat. "Kurasa di sebelah sana." Ia berjalan mendului, menghampiri dinding batu yang tidak rata. Di depannya tumbuh belukar yang rapat, berjalinan dengan tumbuhan merambat yang terjuntai dari sebelah atas. Semula anak-anak menyangka bahwa belukar lebat itu tumbuh Iangsung di dinding yang ditutupi, seperti rumput atau tanaman pakis. Tapi kemudian datang angin kencang, menggerak-gerakkan belukar itu. Saat itu timbul dugaan dalam hati Lucy-Ann bahwa tanaman yang menutupi dinding itu tidak langsung tumbuh di situ, tapi terjulur dari sebelah atasnya. Ia memegang belukar itu, lalu menariknya. Ternyata bisa disingkapkan, seperti tirai! Nampak dinding batu di belakangnya. Tapi dinding itu tidak polos, melainkan bercelah. Celah itu besar dan agak tinggi, sekitar enam sampai tujuh meter ke atas tebing. "He, Jack!" kata Lucy-Ann. "Lihatlah — belukar ini ternyata bisa disibakkan, seperti tirai! Dan ini ada retakan besar di belakangnya. Mungkinkah mereka kemarin menghilang lewat sini?" "Wah, betul juga — rupanya mereka masuk dengan cepat ke balik tirai tumbuhan merambat ini," kata Jack. "Kusangka mereka menghilang dengan begitu saja! Tolong pegang terus, Lucy-Ann, supaya kita bisa melihat celah itu. Pasti kemarin mereka masuk lewat situ!" Ketiga remaja itu dengan gampang saja bisa menyelinap ke balik tirai belukar yang terayun- ayun, lalu memasuki celah. Ternyata di belakangnya ada gua berbentuk bulatan. Gua itu tinggi sekali. Langit-langitnya tidak kelihatan, walau sudah diterangi dengan senter yang disorotkan Jack ke atas. "Seperti lubang dalam gunung," katanya. "Dan tinggi sekali — entah sampai ke mana!" "Masuk kemarikah mereka kemarin itu?" tanya Dinah sambil menengadah, memandang ke atas "Tapi lalu ke mana?" "Entah," jawab Jack. Ia juga merasa bingung. Tiba-tiba ia kaget. "Aduh — coba lihat, apa yang ada di tengah-tengah ini! Nyaris saja aku tercebur!" Ia menyorotkan senternya ke dasar gua. Hampir tak ada lantai yang nampak, karena hampir seluruhnya merupakan ko|am! Kolam dengan air gelap selicin kaca! "Hii — kelihatannya menyeramkan," kata Lucy-Ann sambil bergidik ngeri. "Ini gua aneh," kata Dinah. "Tanpa langit-langit dan tanpa dasar — yang ada cuma kolam! Sama sekali tidak bisa diketahui, ke mana kemarin mereka itu pergi!" "Mestinya ada jalan terus dari sini," kata Jack. la bertekad akan mencari sampai berhasil menemukan jalan itu. Ia berjalan mengitari sisi gua. la memeriksa dengan cermat, dibantu sinar senter. Tapi ia sama sekali tidak melihat lubang yang bisa dilewati. Bahkan lubang kecil saja pun tidak. Dinding gua itu seluruhnya terdiri dari batu semata-mata! "Yah — ternyata tidak ada lorong yang bisa dilewati untuk pergi dari sini," kata Jack kemudian. Ia mendongak, memandang ke atas gua yang tidak beratap. "Satu-satunya jalan cuma ke atas sana. Tapi di dinding sama sekali tidak nampak tempat berpijak. Takkan ada yang mampu memanjat dinding seterjal ini!" "Mungkin jalan keluarnya lewat kolam," kata Dinah iseng. Jack memandang kolam berair gelap itu. "Tidak, kelihatannya tidak mungkin di kolam ini ada jalan keluar. Tapi di pihak lain, hanya ini saja satu—satunya tempat yang belum kuperiksa. Sebentar — aku akan mengarunginya ke seberang. Atau berenang, kalau ternyata terlalu dalam!" Kolam itu dalam. Airnya sudah sampai ke lutut, ketika Jack baru dua langkah mengarunginya. Ia Lantas membuka pakaian, lalu mencebur ke dalam air. Lucy-Ann memandang dengan perasaan cemas, sementara Jack berenang ke seberang lalu kembali lagi. "Dasarnya tidak bisa kucapai," kata Jack sambil menendang-nendang ke bawah. "Rupanya dalam sekali! Kolam tak berdasar, dalam gua tak beratap. Aneh, ya? Aku keluar saja sekarang, karena airnya dingin sekali." Ia terpeleset ketika hendak keluar dari kolam, sehingga tercebur kembali ke dalam air. Tangannya menggapai-gapai tepi. Tahu-tahu ada sesuatu yang terpegang. Seperti roda kemudi kecil — kira-kira setengah meter di bawah permukaan kolam! Jack keluar lalu cepat-cepat berpakaian. la menggigil kedinginan. Setelah mengenakan pakai- an, ia berlutut di tepi kolam sambil meraba-raba ke dalam air. Ia mencari benda aneh tadi, yang ketika teraba rasanya seperti roda kemudi. "Tolong pegangkan senter, Lucy-Ann," katanya. "Ada sesuatu yang aneh di sini." " Lucy-Ann memegangkan senter. Tangannya gemetar. Apakah yang akan ditemukan Jack nanti? "Ini dia — semacam roda, tapi kecil," kata Jack setelah beberapa saat mencari-cari. "Kenapa ada roda di sini? Roda gunanya untuk diputar, jadi kuputar saja sekarang!" Jack memutar roda kecil di bawah air itu ke kanan. Ternyata dapat digerakkan dengan gampang! Ia terlonjak kaget, karena tiba-tiba Dinah dan Lucy-Ann menjerit lalu menubruknya! Bab 16 DI DALAM GUNUNG "ADA APA?" seru Jack sambil meloncat bangun. "Apakah yang terjadi?" Lucy-Ann begitu takut dan kaget, sehingga senter yang dipegangnya terjatuh dan Iangsung padam. Gua itu kini gelap gulita. Lucy-Ann cepat-cepat berpegangan Iagi pada Jack. "Ada sesuatu menyentuhku!" kata Lucy-Ann sambil menangis ketakutan. "Terasa jari-jari menggerayangi seluruh tubuhku! Apa itu, Jack?" "Ya, aku pun disentuhnya," kata Dinah. Suaranya gemetar. "Mula-mula bahuku yang disentuh, lalu sekujur tubuhku digerayangi sampai ke kaki. Ada sesuatu di gua ini, Jack! Kita keluar saja yuk!" "Mana senter kita?" kata Jack dengan kesal. "Kenapa kau jatuhkan tadi, Lucy-Ann Mudah-mudahan saja tidak pecah!" Jack meraba-raba, mencari senter itu. yang kemudian ditemukan. Untung saja tadi tidak terjatuh ke dalam kolam. Senter itu menyala kembali, setelah diguncang-guncangkan sebentar. Semua merasa lega. "Nah — apa yang menyentuhmu tadi?" tanya Jack pada Lucy-Ann. "Aku sama sekali tak disentuh apa pun juga!" "Aku tidak tahu — pokoknya, aku ingin lekas-lekas keluar dari sini," kata Lucy-Ann sambil menangis. "Aku ngeri!" Jack menyorotkan senter ke arah belakang Dinah dan Lucy-Ann. la berseru kaget ketika melihat apa yang ada di situ. Dinah dan Lucy-Ann tidak berani ikut memandang, Mereka terus merangkul Jack, sambil gemetar. "Itu — lihat apa yang menyentuh kalian tadi! Tangga tali, yang turun dari atas!" kata Jack tertawa. "Kalian mesti malu — begitu saja sudah takut!" Dinah langsung lenyap rasa takutnya. Ia memaksa dirinya tertawa. "Wah — keterlaluan," katanya. "Tapi aku benar-benar menyangka bahwa ada sesuatu yang menggerayangi diriku. Terasanya begitu sih!" "Rupanya tadi meluncur ke bawah di belakang kalian," kata Jack. Disorotkannya senter, menerangi tangga tali itu sampai di atas. "Aku kaget sekali tadi. ketika kalian tahu-tahu menjerit. Nyaris saja tercebur ke dalam kolam!" "Kejadiannya ketika kau memutar roda yang di bawah itu," kata Lucy-Ann. la masih terisak-isak sedikit. "Ya — ide ini memang hebat sekali," kata Jack. "Harus kuakui, ini merupakan jalan masuk ke gunung yang sungguh-sungguh tersembunyi. Gua Ali Baba saja masih kalah, dibandingkan dengannya! Pertama-tama, tirai belukar yang menjulur dari atas, menutupi celah pada tebing terjal. Setelah masuk ke dalam, yang nampak hanya gua tak beratap serta kolam yang gelap. Kebanyakan orang yang secara kebetulan bisa masuk kemari pasti hanya akan mengatakan, ’Eh — aneh! lalu keluar lagi!" "Memang, dan takkan ada yang menduga di sini ada tangga tali yang meluncur turun apabila roda yang tersembunyi dalam air itu diputar," kata Dinah. "Segalanya ini benar-benar dirancang dengan matang. Rupanya ada orang pintar diam di dalam gunung ini!" "Ya, betul," kata Jack merenung. "Orang berotak cerdas yang menyebabkan gempa bumi serta kepulan asap merah, begitu pula merancang tempat pendaratan untuk helikopter di puncak — dan memelihara kawanan anjing herder yang bertugas menyergap siapa pun yang berkeliaran terlalu dekat kemari. Benar-benar hebat! Aku ingin tahu, apa sebetulnya yang dicari orang berotak cerdas itu di sini!" Dinah dan Lucy-Ann memandangnya dalam gua yang remang-remang, sementara air kolam yang gelap agak. berkilat memantulkan sinar senter. Kedengarannya Jack serius sekali. Perasaannya saat itu memang sedang serius. Ada sesuatu yang sangat aneh. Sangat cerdik — bahkan cerdik sekali! Apakah yang sedang berlangsung di situ? Ditatapnya tangga tali yang tergantung di dinding gua. Ia kepingin sekali memanjatnya ke atas, karena ingin melihat apa sebenarnya yang ada di dalam gunung. Di samping itu ia juga ingin mencari Philip. Ketiga remaja itu kaget setengah mati, ketika tiba-tiba terdengar suara menggema. "Anak nakali Beee!" Jack langsung laga. "Itu Kiki," katanya. "Burung sialan — kaget aku tadi mendengar suaramu! Bagaimana pendapatmu tentang gua ini, Kiki?" "Baaa!" oceh Kiki, lalu menirukan bunyi mesin pemotong rumput. Kedengaran berisik sekali di dalam gua tak beratap itu, menggema seperti tidak habis-habisnya. Kiki senang mendengar gema suaranya, lalu mengulangi bunyi itu sekali lagi. "Diam," kata Jack. "Bagaimana jika ada orang di ujung atas tangga, dan ia mendengar suaramu?!" "Kau kan tidak bermaksud hendak naik ke atas, Jack?" tanya Lucy-Ann cemas, karena melihat Jack sudah menaruh kakinya ke jenjang tangga paling bawah. "Memang, aku hendak naik sebentar ke atas untuk melihat apa yang ada di situ," kata Jack. "Kurasa di sana tidak ada orang yang menjaga, karena takkan ada yang menyangka kita akan bisa mengetahui rahasia menurunkan tangga tali ini kemari. Sementara itu kalian menunggu saja di luar." "Tidak! Kami ikut," kata Lucy-Ann. Philip sudah lenyap dengan tiba-tiba. Jangan sampai Jack pun lenyap pula nanti! la ikut memanjat tangga tali bersama Dinah. Tangga itu teguh, baik buatannya. Ketiga remaja itu terayun-ayun sedikit ketika memanjat ke atas. Tangga itu panjang sekali - seperti tidak berujung! "Aku perlu beristirahat sebentar," kata Jack berbisik ke bawah. "Kalian juga berhenti dulu. Capek rasanya, memanjat terus seperti ini." Ketiga remaja itu berhenti sebentar memanjat, sambil berpegangan pada anak tangga tali. Napas mereka agak terengah-engah. Lucy-Ann takut membayangkan sudah berapa jauh mereka di atas dasar gua. la juga tidak mau memikirkan, masih berapa jauh Iagi ujung sebelah atas tangga itu. Kemudian mereka meneruskan panjatan. Mereka bergerak dalam keadaan gelap gulita. Jack memasukkan senter ke dalam kantung, karena ia memerlukan kedua tangannya untuk memanjat. Lucy-Ann mulai merasa seperti sedang bermimpi buruk Dalam mimpi itu ia harus terus memanjat tangga, sampai terbangun waktu pagi! "He — aku sekarang bisa melihat sinar samar-samar di atas," bisik Jack. "Mestinya kita sudah hampir sampai di ujung tangga ini. Jangan sampai ada yang bersuara!" Mereka sampai di ujung tangga, ketika Lucy-Ann merasa tidak sanggup lebih lama lagi berpegangan ke tangga. Penglihatan Jack tadi ternyata benar — di atas situ memang ada cahaya remang-remang. Ia merangkak naik ke semacam lantai batu, diikuti oleh Dinah dan Lucy-Ann. Selama beberapa menit mereka terkapar di situ. Napas mereka terengah-engah. Capek sekali rasanya — melihat ke sekeliling saja pun mereka tidak mampu. Jack yang paling dulu segar kembali. Ia menegakkan tubuh, memandang berkeliling sambil duduk. Ternyata saat itu mereka berada di semacam ruangan sempit yang diterangi lampu bercahaya redup. Di bagian belakang ruangan itu terdapat sejumlah kendi yang terletak berjejer-jejer, berisi cairan yang kelihatannya air. Di dekat kendi-kendi itu ada beberapa mangkuk untuk minum. Mata Jack Iangsung bersinar-sinar. Memang itulah yang diharapkan, setelah capek memanjat tadi! Diambilnya sebuah kendi serta tiga buah mangkuk, lalu dibawa ke tempat Dinah dan Lucy-Ann yang masih rebah di lantai. Air kendi itu dingin, seperti air es. Ketiganya minum dengan perasaan puas. "Sekarang sudah enak lagi rasanya," kata Jack sambil mendesah. Kendi beserta ketiga mangkuk tadi dikembalikannya ke tempat semula. Selain itu tidak ada apa-apa Iagi dalam ruangan kecil itu. Di ujung belakangnya nampak sebuah lorong yang mengarah ke perut gunung. Lucy-Ann memanggil dengan suara pelan, ketika dilihatnya Jack melangkah menuju lorong itu. "Kau tidak hendak kembali. Jack? Katamu tadi, kau hanya hendak melihat sebentar saja kemari!" "Aku kan memang sedang melihat-lihat," jawab Jack. "Di situ ada lorong. Itu — lihatlah sendiri! Aku ingin tahu ke mana arahnya." Dinah dan Lucy-Ann datang menghampiri. Mereka mengikuti Jack, yang sementara itu sudah memasuki lorong. Mereka tidak mau ditinggal, sendiri di luar. Mereka sampai di dekat sebuah lampu lagi, yang juga redup sinarnya. Lampu itu diletakkan di atas semacam ambang yang menonjol pada dinding lorong. Jack masih terus saja berjalan menelusuri lorong yang berkelok-kelok. melewati lampu demi lampu yang menerangi jalan. "Kita kembali saja sekarang," bisik Lucy-Ann sambil" menarik lengan Jack. "Sudah cukup jauh kita memasuki lorong ini." Tapi Jack tidak mau diajak kembali. karena siapa tahu, mungkin Philip ada di balik tikungan yang berikut! ia meneruskan langkah. Tahu-tahu lorong itu bercabang tiga. Ketiga remaja itu berhenti. karena tidak tahu cabang yang mana harus mereka masuki. Ketiga-tiganya nampak sama saja dalam pandangan mereka. Tapi kemudian muncul sesuatu dari salah satu percabangan itu. Sesuatu yang mereka kenal baik — si Putih! - Anak-anak gembira sekali melihat si Putih tahu-tahu muncul. Sedang anak kambing itu juga tidak kalah gembira. Ia menanduk-nanduk mengusap-usapkan hidung ke tangan mereka, sambil mengembik-ngembik senang. "Kita ikuti saja si Putih," kata Jack dengan lega. "Ia pasti akan membawa kita ke tempat Philip!" Si Putih disuruh berjalan di depan. Anak kambing itu menyusur lorong sambil berjingkrak- jingkrak, memasuki sebuah rongga besar yang kelihatannya seperti serambi rumah. Tapi ia tidak berhenti di situ, melainkan memasuki lorong yang lain lagi- dan sampai di suatu tempat yang sangat menakjubkan. Ruangan yang mereka masuki itu kelihatannya seperti laboratorium yang besar. Tempat bekerja dalam gunung! Anak-anak muncul di sebelah atasnya. Mereka berdiri di atas semacam langkan yang menjorok ke luar di dinding ruangan itu. "Apa itu?" tanya Lucy-Ann takjub, memandang begitu banyak benda asing yang ada di situ. Di bawah sama sekali tidak ada mesin besar — melainkan jaringan kawat berkilat yang terentang ke mana-mana, bejana-bejana besar dari kaca yang berjejer-jejer, kotak-kotak kristal yang di bagian dalamnya nampak percikkan api menyambar ke atas dan ke bawah, serta sederetan roda yang berputar tanpa bunyi, tapi memancarkan sinar aneh. Dari roda-roda itu terentang jaringan kawat ke segala arah. Di tengah ruang kerja itu ada sebuah lampu aneh yang memancarkan sinar. Lampu itu bersegi banyak, sedang warna cahaya yang terpancar berganti-ganti. Kadang-kadang begitu menyilaukan sinarnya, sehingga anak-anak tidak tahan menatapnya. Lalu meredup, tinggal pijarannya saja yang nampak remang-remang, berwarna merah, hijau, atau biru. Lampu itu seolah-olah hidup, seperti mata raksasa yang mengawasi segala- galanya di laboratorium tersembunyi itu. Jack, Dinah, dan Lucy-Ann memandang dengan takjub. Di tempat itu tidak ada orang. Segala peralatan itu kelihatannya bekerja secara otomatis, tanpa pernah berhenti. Roda-roda berputar terus, kawat-kawat kemilau. Tempat itu sunyi senyap, kecuali bunyi dengungan pelan. Kemudian —— Kemudian terdengar bunyi gemuruh yang sudah mereka kenal, bunyi yang seperti datang dari jauh. Jauh di bagian dasar laboratorium itu ada bunyi bergejolak dan mengerang-erang, seperti ada sesuatu yang sedang terjadi di dalam perut gunung. Lalu seperti sebelumnya juga, gunung mulai bergetar. Mula-mula pelan, tapi lama- kelamaan bertambah keras —— seperti ada kejadian dahsyat, jauh di dalam tanah. Dengan tiba-tiba saja lampu besar yang terdapat di tengah-tengah laboratorium bersinar terang, Begitu terang, sehingga anak-anak takut lalu cepat-cepat mundur. Sinar lampu itu berubah menjadi merah nyala. Belum pernah mereka melihat warna merah yang begitu menyilaukan. Dari sebelah atasnya keluar asap berwarna merah, mengepul-ngepul. Jack merasa mulai sukar bernapas. Lehernya seperti tercekik. Dengan cepat didorongnya Dinah dan Lucy-Ann kembali ke dalam lorong. Lega sekali rasanya menghirup udara yang lebih segar di situ. Si Putih meringkuk ketakutan, merapatkan diri pada mereka. "Itulah asap yang kita lihat mengepul keluar dari lubang di sisi gunung," kata Jack berbisik-bisik. "Rupanya dari lampu itu ada cerobong yang menembus ke atas gunung sampai ke lubang itu, lewat mana asap dapat mengepul ke luar." "Apa yang sedang dibuat di sini, menurut perkiraanmu?" tanya Dinah dengan kagum. "Untuk apa kawat-kawat itu. kotak-kotak kristal, serta barang-barang lainnya?" "Entah —- aku sama sekali tidak tahu," kata Jack. "Tapi jelas bahwa apa yang sedang terjadi di tempat ini sangat dirahasiakan. Sebab kalau tidak, untuk apa ini semua —— di tempat terpencil yang tidak bisa didatangi ini?" "Jangan-jangan bom atom, atau yang begitu," kata Lucy-Ann sambil bergidik. "Wah, tidak mungkin —- karena untuk itu diperlukan bangunan yang besar sekali," kata Jack. "Tidak — ini pasti sesuatu yang aneh dan luar biasa, menurut pendapatku. Yuk, kita mengintip sebentar ke bawah." Tapi semuanya yang di bawah masih tetap seperti tadi. Roda-roda berputar tanpa bunyi. Kotak-kotak kristal nampak gemerlapan karena ada percikkan api menyambar-nyambar di dalamnya, serta lampu besar seperti mata raksasa yang mengawasi segala-galanya dengan warna yang berubah-ubah. Kadang-kadang biru, lalu berganti hijau, dan kemudian oranye. "Yuk, kita menyusur langkan ini! Aku ingin tahu, ke mana kita tiba nanti," bisik Jack. "Saat ini aku merasa seperti berada di dalam semacam Gua Aladin — dan setiap saat akan muncul Jin Lampu!" Anak—anak menyusur langkan, dan akhirnya tiba di tempat lain yang juga menakjubkan. Tempat itu sebetulnya gua biasa, yang tinggi langit-langitnya. Tapi gua itu sudah berubah wujud, dijadikan semacam balai besar yang nampak mewah, dengan sederet jenjang yang menuju ke sesuatu yang seperti singgasana. Tirai yang indah menutupi dinding batu. Tirai-tirai itu digantungkan ke pinggir langit-langit gua yang nampak gemerlapan karena lampu-lampu yang terpasang di situ, berkilauan seperti bintang. Di lantai terhampar permadani berwarna keemasan, sedang pada masing-masing sisinya terdapat kursi-kursi indah berderet-deret. Anak-anak memandang semuanya itu sambil melongo. "Apakah ini?" bisik Dinah. "Kelihatannya seperti tempat tinggal raja. Penguasa gunung!" Bab 17 PHILIP DITEMUKAN "ANEH — tidak ada seorang pun yang kelihatan," kata Jack sambil memperhatikan ruangan sunyi itu. "Ke mana semuanya? Tadi roda-roda, kawat, serta peralatan lainnya sibuk sendiri, tanpa ada yang mengawasi — lalu ini, ruangan besar yang kosong ini, dengan singgasana serta tirai yang serba indah!" "Jack!" bisik Dinah sambil menarik-narik lengannya. "Bagaimana jika kita sekarang mencari Philip untuk menolongnya? Kita kan tinggal kembali menyusur lorong yang panjang tadi, lalu menuruni tangga tali! Si Putih pasti akan membawa kita ke Philip, dan kemudian kita bersama-sama lari ke luar!" "Ya — setuju," kata Jack. Ia mengelus-elus anak kambing berbulu putih yang ada di sisinya. "Mana Philip, Putih?" bisiknya. Didorongnya anak kambing itu, disuruhnya berjalan. "Tunjukkan tempatnya, Putih!" Si Putih menanduk-nanduk Jack dengan sikap manja. Rupanya anak kambing itu tidak menangkap maksud anak itu. Jack masih mencoba beberapa kali lagi. Tapi sia-sia. "Kita tunggu saja sampai dia pergi atas Kemauannya sendiri," katanya kemudian. "Dan kalau dia pergi, kita ikuti!" Ketiga remaja itu menunggu. Tidak lama kemudian si Putih mulai gelisah, lalu melintasi ruangan luas itu, lewat singgasana yang besar. Anak-anak membuntutinya. Mereka melakukannya dengan hati—hati, sambil merapatkan diri ke dinding, berlindung dalam bayangan. Si Putih menyusup masuk ke balik tirai tebal berwarna merah. Anak-anak mengintip sebentar. Ternyata di balik tirai itu ada ruangan Iain yang agak kecil. Kelihatannya itu ruang baca, karena nampak buku-buku berjejer sepanjang dinding. Jack, Dinah, dan Lucy-Ann menyimak judul buku-buku itu dengan perasaan ingin tahu.Tapit1dak ada yang mereka pahami, karena kebanyakan berbahasa asing. Semua kelihatannya sangat ilmiah dan sulit dimengerti orang biasa. "Buku-buku ilmiah," kata Jack. "Yuk, kita menyusul si Putih. Ia tadi lewat lubang itu!" Mereka menyusul anak kambing itu. Si Putih menunggu. karena melihat mereka belum muncul. Anak—anak bergegas, dengan harapan bahwa si Putih akan membawa mereka ke tempat Philip. Ternyata memang begitu! Anak kambing itu mendului berjalan ke arah atas, lewat lorong yang berdinding melengkung seperti terowongan. Pada jarak-jarak tertentu dalam lorong itu ada penerangan, berupa lampu bercahaya redup seperti yang terdapat dalam lorong pertama. Seram rasanya berjalan dalam keremangan, tanpa bisa melihat jauh ke depan atau ke belakang. Si Putih berjalan di depan. Sosok tubuhnya yang putih nampak samar—samar seperti hantu cilik. Mereka melalui rongga-rongga besar yang penuh berisi berbagai barang. Kotak-kotak, — peti-peti. begitu pula bermacam-macam bungkusan berserakan di mana-mana. Jack berhenti sebentar, untuk memperhatikan beberapa di antaranya. Kebanyakan dilengkapi dengan etiket berbahasa asing. Sebuah kotak berada dalam keadaan terbuka. Isinya kaleng• kaleng makanan. "Kan benar kataku," kata Jack. "Perbekalan makanan mereka diangkut kemari — kurasa mestinya dengan helikopter. Aku ingin tahu, apa sebetulnya yang mereka lakukan di sini." Beberapa saat kemudian mereka sampai di suatu tangga yang dipahat pada dinding batu. Tangga itu agak curam ke atas. berputar-putar. Si Putih naik lewat tangga itu. Geraknya lincah. Tapi anak—anak mendaki dengan napas terengah-engah. Makin lama makin tinggi. berputar-putar mengikuti lintasan tangga. Akhirnya mereka sampai di sebuah pintu yang terdapat di sisi jenjang batu itu. Pintu itu kekar, terbuat dari kayu tebal. Di bagian luarnya ada gerendel besar. Si Putih berhenti di depannya, lalu mengembik-ngembik. Anak-anak gembira sekali ketika terdengar suara yang mereka kenal baik. "Aku masih ada di sini, Putih! Aku tidak bisa keluar — tapi kau tak usah takut!" "Itu Philip!" kata Jack, lalu mengetuk-ngetuk pintu dengan pelan. "He, Philip! Kami ada di sini! Sebentar — akan kubukakan pintu." Terdengar suara berseru kaget di dalam, disusul bunyi orang berlari menghampiri pintu. Setelah itu terdengar suara Philip Kedengarannya gugup. "Jack! Aduh, betul-betul kaukah itu? Bisakah kau mengeluarkan aku dari sini?" Jack mencoba menarik gerendel ke belakang. Ternyata gampang saja, karena diminyaki. Begitu pintu sudah terbuka, Philip cepat-cepat menarik Jack ke dalam. Dinah dan Lucy-Ann menyusul, diikuti oleh si Putih. "Bagaimana kalian bisa tahu-tahu ada di sini?" tanya Philip pada Jack. "Aku dikurung di tempat aneh ini, bersama orang berkulit hitam itu. Itu dia, di sana. Kerjanya tidur terus selama kami ada di sini. Dialah yang dikejar-kejar kawanan anjing herder." Laki-laki Negro itu menggeletak di lantai, menempel ke dinding. Ia tidur pulas. Jack, Dinah, dan Lucy-Ann memandang berkeliling dengan perasaan heran. Ruangan itu ternyata sebuah gua yang terdapat di sisi gunung, di sebelah puncak. Gua itu terbuka ke arah luar. Anak-anak memandang lewat lubang yang mengarah ke luar itu, yang berseberangan letaknya dengan pintu. Mulanya hanya langit biru saja yang kelihatan. "Rupanya gua ini dekat sekali letaknya dengan puncak," kata Jack. "Benar-benar hebat pemandangan dari sini — kita bisa melayangkan pandangan lewat puncak gunung-gunung yang di sana itu. Belum pernah aku berada di tempat setinggi ini. Gamang rasanya kalau lama-lama memandang ke luar." Dinah melangkah maju. hendak menghampiri tepi gua. Tapi Philip cepat-cepat menahannya. "Jangan terlalu dekat. Tebing di luar itu terjal sekali ke bawah. Jika kau memandang ke bawah, nanti pusing — rasanya seperti mau jatuh saja!" "Kalau begitu pegangi tanganku, sementara aku memandang ke luar," kata Dinah. Jack juga ingin ikut melihat. "Kalau memang ingin melihat ke bawah, sebaiknya sambil berbaring di lantai," kata Philip. "Dengan begitu kau takkan merasa gamang." Keempat remaja itu merebahkan diri di lantai, lalu memandang ke bawah dari tepi gua yang letaknya dekat sekali dengan puncak gunung itu. Rasanya memang agak seram! Jauh di bawah nampak lereng gunung. Sedang lembah terhampar lebih jauh ke bawah lagi. Lucy-Ann berpegangan pada Philip. Seperti akan terjungkir ke bawah saja rasanya saat itu! Tapi tentu saja itu hanya perasaannya saja. Tidak mungkin ia jatuh, karena ia berbaring di lantai gua. Berada di tempat yang sangat tinggi itulah yang menyebabkan ia merasa seperti akan jatuh setiap saat! "Ih, seram!" katanya, lalu beringsut-ingsut mundur. Anak-anak yang lain masih terus memandang ke luar, sampai akhirnya merasa seperti mau jatuh pula. Semua mundur. lalu duduk. "Cepat, kita keluar!" kata Jack pada Philip. "Kami tahu jalan — dan kalau tidak pun, masih ada si Putih yang bisa menunjukkan jalan! Kita harus memanfaatkan kesempatan ini, selama masih ada. Di sini kelihatannya sama sekali tidak ada siapa—siapa. Aneh!" ”Orang-orang itu tinggalnya di puncak,” kata Philip. "Banyak yang sudah kuketahui sekarang, karena diceritakan orang Negro itu. Gua ini dekat sekali letaknya ke puncak. Begitu dekat, sehingga kadang-kadang terdengar suara orang berbicara dan tertawa-tawa di atas. Rupanya di puncak sana ada dataran — karena ada helikopter mendarat di sana." "Wah — kalau begitu mereka semua sekarang sedang ada di puncak!" kata Jack. "Ketika kami kemari tadi, sama sekali tidak berjumpa dengan siapa-siapa. Ayo, Philip — kita pergi sekarang juga! Jangan sampai ada waktu terbuang. Nanti saja bercerita. apabila kita sudah selamat, keluar dari gunung yang luar biasa ini." Semua berjalan ke arah pintu. Tapi tiba-tiba Jack mendorong, menyuruh anak-anak yang lain mundur. Ia menutup pintu dengan hati-hati, sambil menempelkan telunjuk ke bibir. "Aku mendengar suara orang!" Anak-anak yang lain juga mendengarnya. Suara beberapa orang yang bercakap-cakap dengan lantang, mengarah ke pintu ruangan itu. Apakah yang datang itu akan melihat bahwa gerendel pintu tertarik ke belakang? Suara orang-orang itu kian mendekat, lalu — lewat! Rupanya tidak ada yang memperhatikan pintu ang sudah tidak digerendel lagi. Anak-anak menarik napas lega. "Aduh, untung — mereka lewat!" kata Jack. "Bagaimana — apakah sebaiknya kita tunggu dulu sebentar, lalu cepat-cepat lari?" "Jangan! Tunggu sampai mereka kembali dan naik lagi ke atas," kata Philip. "Kurasa itu tadi para penerjun payung, yang hendak mengambil perbekalan untuk dibawa ke puncak." Anak-anakanak yang lain menatapnya dengan pandangan bingung. "Penerjun payung?" kata Jack. Ia heran sekali. "Apa maksudmu? Kenapa ada penerjun payung di sini?" "Aku mendengarnya dari orang Negro itu," kata Philip menjelaskan, sambil menganggukkan kepala ke arah laki-laki berkulit hitam yang masih tetap pulas. "Namanya Sam. Lebih baik kita menunggu dulu, sampai orang-orang tadi sudah kembali. Kurasa mereka nanti takkan memperhatikan pintu ruangan ini. Mereka bahkan sama sekali tidak tahu bahwa aku ada di sini!" "Kalau begitu kau bercerita saja dulu tentang segala-galanya," desak Jack. Ia sudah tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. "Pasukan payung! Kedengarannya begitu mustahil!" "Kau tahu kan, sewaktu aku tertangkap," kata Philip memulai penuturannya. "Aku dibawa ke tebing terjal itu. Aku disuruh masuk ke balik belukar yang merupakan semacam tirai penutup. Ternyata di belakangnya ada lubang! Dalam gelap, aku disuruh menaiki semacam tangga — kurasa tangga tali. Lama sekali rasanya kami memanjat terus saja ke atas." Anak—anak yang Iain mengangguk. Itu sudah mereka ketahui. "Kemudian kami menelusuri lorong yang panjang. Kami sampai ke suatu tempat yang menyeramkan. Di situ ada roda-roda dan macam-macam lagi .... Kalian juga melihatnya?" "Ya. Luar biasa! Tapi tadi sama sekali tidak ada orang di sana.”' "Tidak banyak yang sempat kulihat," kata Philip. "Kemudian kami berjalan menyusur semacam langkan yang terdapat di pinggir sebelah atas ruangan di mana ada roda-roda, kawat-kawat terentang, serta api yang menyala dan memercik-mercik — masuk ke suatu ruangan yang megah! Kelihatannya seperti ruang istana." "Ya — kami pun melihatnya pula. Seperti balai tempat raja bertahta, lengkap dengan singgasana," kata Jack. "Tapi tidak ada siapa—siapa di situ." "Nah —— setelah itu aku didorong masuk ke suatu lorong yang arahnya mendaki, lalu lewat tangga berputar sampai ke gua ini," kata Philip. "Pintu Iangsung digerendel dari luar, dan sejak itu aku terkurung terus di sini! Negro itu juga ikut didorong masuk — tapi si Putih ditahan di luar! Sejak itu berulang kali kudengar suaranya mengembik-ngembik di balik pintu. Sedih hatiku mendengarnya. Jelas sekali bahwa ia merasa kehilangan!" Tapi saat itu si Putih sudah berbahagia kembali! la berbaring di pangkuan Philip. Sekali-sekali ditanduknya anak itu dengan pelan, meminta perhatian. "Makanan untukku disorongkan ke dalam lewat pintu yang dibuka secelah. Selalu saja makanan kalengan," sambung Philip. "Tapi orang-orang yang muncul semua tetap membisu. Tidak ada yang berbicara padaku — termasuk laki-laki bertampang asing yang menyergapku. Huh — tampangnya tidak enak. Apalagi. matanya! Dalam cerita-cerita kan sering ditulis tentang orang dengan tatapan menusuk. Nah — begitulah matanya — tajam sekali! Untung saja ia tidak banyak bertanya-tanya. Coba kalau itu dilakukannya, kurasa ia pasti akan tahu segala-galanya, karena bisa membaca pikiranku." Anak-anak yang lain mendengarkan dengan penuh minat. Kemudian Jack menganggukkan kepala ke arah orang Negro yang masih tidur. “Lalu apa saja cerita orang itu?" katanya. "Wah, macam-macam — yang aneh-aneh," kata Philip. "Katanya, ia membaca iklan dalam koran, mencari beberapa orang yang pernah menjadi penerjun payung. Kalian tahu kan, orang yang dilatih untuk terjun dengan payung pendarat dari pesawat terbang yang sedang membubung tinggi." "Ya, ya, kami tahu — teruskan saja ceritamu," kata Jack dengan sikap tidak sabar. "Nah, laki-laki bermata elang — itu, yang menyergap aku — namanya Meier- ia kemudian mewawancarai orang hitam ini di sebuah kantor, di Meksiko. Ia menawarkan upah besar, jika Sam mau melakukan percobaan terjun payung jenis baru." "Jenis baru yang bagaimana?" tanya Dinah. "Kalau tentang itu, aku tidak begitu mengerti! Soalnya cara Sam menceritakannya agak kacau —atau mungkin juga aku yang tidak mengerti," kata Philip. "Pokoknya ada hubungannya dengan terbang memakai sayap — yang dipasangkan pada lengan. Rupanya dengan sayap itu orang tak mungkin jatuh terbanting ke tanah. Bisa terbang ke segala arah seperti burung." "Itu kan mustahil." kata Jack dengan segera. "Ide gila-gilaan!" "Memang. Karena itulah aku lantas beranggapan bahwa Sam salah mengerti," kata Philip. "Nah — ternyata orang yang bernama Meier itu berhasil mengontrak sejumlah orang yang bekas pasukan payung, dengan bayaran tinggi. Mereka kemudian diangkut dengan helikopter ke mari, ke puncak gunung ini. Tugas mereka mencoba sayap-sayap terbang itu. Setidak-tidaknya, begitulah kata Sam." "la sendiri pernah melakukannya?" tanya Jack. "Ia sendiri tidak, tapi tiga orang rekannya. Sayap-sayap aneh itu dipasangkan ke lengan mereka, lalu suatu saat mereka disuruh meloncat dari helikopter. Kalau tidak mau, mereka akan didorong ke luar." kata Philip. "Lalu — apa yang terjadi kemudian?" tanya Jack. "Sam mengatakan bahwa ia tidak tahu," jawab Philip. "Soalnya, rekan-rekannya yang disuruh terjun itu. tidak ada yang kembali! Sam yakin, mereka pasti tewas dalam penerjunan itu. karena terbanting ke tanah. Ia tidak mau mengalami nasib begitu — dan karena itu minggat!" Bab 18 PENYELIDIKAN AGAK lama juga anak-anak membisu, setelah kisah aneh itu selesai diceritakan. Kedengarannya begitu mustahil! Tapi sesudah mengalami hal-hal yang begitu aneh selama beberapa hari belakangan, mereka beranggapan bahwa apa saja pun bisa terjadi di gunung yang terpencil ini. "Tapi maunya untuk apa?" tanya Jack beberapa saat kemudian. "Dan apa makna segala roda, kawat, dan peralatan Iainnya itu? Aku tidak bisa mengerti!" "Aku juga tidak. Tapi menurut Sam, jika percobaan ternyata berhasil, jika orang bisa benar-benar terbang dengan sayap tiruan itu, maka ada orang yang akan menjadi kaya raya,” kata Philip. "Tentu saja, karena pasti siapa pun akan ingin memiliki sayap seperti itu. Semua pasti ingin bisa terbang." "Kedengarannya memang asyik," kata Lucy-Ann. "Aku pun ingin bisa terbang seperti burung! Pasti lebih nikmat, dibandingkan dengan naik pesawat udara!" Anak-anak yang lain juga berperasaan begitu. Tapi tidak ada yang benar-benar meyakini kebenaran cerita Sam mengenai hal itu. "Bagaimana ia sampai bisa minggat dari sini?" tanya Jack sambil menggerakkan kepala ke arah laki-laki berkulit hitam yang berbaring di lantai. "Dengan jalan nekat. yang sama berbahayanya seperti meloncat dari helikopter untuk menguji kegunaan sayap-sayap itu," kata Philip. "Dengan diam-diam diambilnya payung terjun dari tempat penyimpanan, lalu terjun dengannya dari sini!" Anak-anak yang lain merasa seram mendengarnya. "Apa? Meloncat ke bawah dari sini? Dari puncak gunung?" kata Jack. "Wah, berani sekali dia!” "Memang! Payung terjunnya mengembang, dan ia mengambang ke tanah. Jatuhnya agak keras, tapi untung ia pernah belajar terjun dengan payung. Karenanya ia tidak mengalami cedera. Setelah itu ia mencari tempat persembunyian yang aman." "Tidak ada tempat yang lebih sunyi dan terpencil daripada daerah pegunungan sini," kata Jack. "Kurasa ia bahkan tidak tahu di mana ia sekarang berada." "Memang, sama sekali tidak," kata Philip. "Aku mengatakan bahwa ini daerah Wales — tapi ternyata ia belum pernah mendengar bahwa ada daerah yang namanya begitu." "Lalu, kemudian ia dikejar-kejar kawanan anjing." kata Jack. "Kasihan!" "Betul! Sam tahu tentang anjing-anjing itu, karena mereka juga tinggal di puncak, bersama orang-orang yang ada di atas. Menurut ceritanya, anjing-anjing itu gunanya untuk mengusir siapa saja yang muncul di sekitar gunung ini. Tentu saja juga untuk mengejar orang yang rnelarikan diri, serta mencari penerjun yang jatuh karena sayapnya tidak bekerja." "Kurasa itu lebih mungkin," kata Jack. “Huh — yang mendalangi segalanya ini pasti orang-orang jahat yang tidak berperasaan! Seumur hidupku belum pernah kudengar hal seperti ini." "Kata Sam, ada raja di sini," kata Philip. "Penguasa gunung! Luar biasa tidak!? Pasti dialah yang menjaring orang-orang yang bekas pasukan payung itu, lalu memaksa mereka menjalankan percobaan-percobaan yang gila-gilaan." "Kami memang sudah menyangka bahwa di balik semuanya ini pasti ada orang yang sangat cerdas," kata Jack. "Tentunya laki-laki bermata elang itu — Meier, maksudku — pasti dialah raja itu, ya?" " "Wah — bukan! Aku tidak tahu pasti, apa nama orang yang pekerjaannya seperti dia -5 begitulah, semacam pengatur. Semua diurus olehnya. Mulai dari perbekalan, urusan lain-lainnya — sampai pada mengurung para penerjun payung saat helikopter datang. Pokoknya semua! Kelihatannya ada dua orang yang mengatur segala-galanya. Sedang yang disebut raja itu hanya sekali-sekali saja tampil, apabila ada urusan penting. Seperti kalau ada sayap baru yang selesai. Saat-saat begitu semua harus turun ke balai besar untuk mendengarkan pidato yang tidak mereka mengerti maknanya, serta menyaksikan salah seorang dari mereka dipilih untuk mencoba sayap yang baru selesai dibuat itu." "Kedengarannya seperti memilih seseorang untuk dijadikan korban!" kata Jack dengan nada getir. "Ini sudah gila-gilaan namanya!" "Sam kebetulan sakit, ketika terakhir kalinya raja menunjuk orang-orang yang akan menjadi kor- ban," kata Philip. "Jadi ia belum pernah melihat raja itu. Orangnya pasti aneh — kejam dan tak berperasaan — karena begitu tega menyuruh orang mencoba sayap yang tidak mungkin bisa dipakai terbang!" "Aku sependapat denganmu," kata Jack. "Dan kurasa kita perlu lekas—lekas keluar dari sini, lalu berusaha menghubungi Bill! Aku tidak bisa merasa aman, selama masih di gunung ini. Pantas Lucy-Ann waktu itu mengatakan mempunyai perasaan tertentu tentang gunung ini. Aku pun begitu, sekarang!" "Nah — Sam bangun," kata Lucy-Ann. Anak-anak memandang ke arah laki-laki berkulit hitam itu. la menegakkan tubuh, sambil mengusap-usap mata. Kelihatannya heran, kenapa tahu-tahu ada empat remaja di dalam gua. Kemudian ia teringat, pernah melihat Lucy-Ann ketika ia bersembunyi di atas pohon. la tersenyum, tapi kemudian menggeleng-gelengkan kepala. "Kan sudah kubilang padamu, tinggalkan tempat ini." katanya. Tampangnya serius. "Ini gunung jahat. Orang-orang juga jahat!" "Kami memang akan pergi sekarang, Sam," kata Philip. "Begitu di luar sudah aman! Kau mau ikut? Kami tahu jalan." "Aku takut anjing," kata Sam dengan wajah ketakutan. "Di sini aku aman." "Itu tidak benar. Sam! Kurasa nanti pasti kau yang akan ditunjuk untuk mencoba sayap yang kauceritakan itu," kata Philip. "Mendingan itu, daripada diserang anjing," kata Sam. Saat itu terdengar orang lewat di luar sambil bercakap-cakap. Anak-anak langsung diam sambil mendengarkan, sampai orang-orang yang di luar itu sudah berlalu. "Itu tadi Pete dan Jo," kata Sam, yang ikut mendengarkan. "Mereka sudah naik lagi ke atas gunung," kata Jack. "Yuk — rasanya ini saat yang tepat bagi kita, untuk pergi dari sini. Sewaktu masuk kita tidak berjumpa siapa-siapa — jadi kemungkinannya begitu pula sekarang. Wah — Bill pasti kaget kalau mendengar cerita kita!" Pintu dibuka dengan hati-hati. Dengan segera si Putih lari ke luar. Kiki bertengger di bahu Jack. Ajaib, dari tadi burung iseng itu tidak mengoceh, seperti biasanya. Rupanya ia tidak senang, berada di dalam gunung aneh itu! Mereka menyelinap, menuruni tangga yang berbelit-belit. Rasa lapar timbul melihat makanan berkaleng-kaleng, ketika mereka melewati rongga- rongga tempat menyimpan perbekalan. Tapi saat mereka tidak sempat memikirkan urusan makan, karena harus secepat-cepatnya lari meninggalkan tempat itu. Si Putih berjalan paling depan, menyusur lorong yang samar-samar penerangannya. Menurut per- kiraan anak-anak, mereka akan sampai ke ruang baca yang penuh dengan buku-buku ilmiah. Tapi kemudian ternyata bahwa si Putih mengambil jalan lain. Anak-anak berhenti, dengan perasaan tidak enak. "Wah — ini bukan jalan yang benar! Tadi kita tidak lewat gua itu. Aku yakin!" kata Jack. Mereka bimbang, tidak tahu mana yang lebih baik terus, atau kembali! Kalau sampai tersesat di dalam gunung — wah, gawat! "Aku mendengar bunyi sesuatu," kata Lucy-Ann sambil memiringkan kepala agar bisa mendengar Iebih jelas. "Yuk, kita terus, untuk melihat apa yang berbunyi itu!" Mereka meneruskan langkah ke dalam lorong lebar yang kadang-kadang curam sekali arahnya ke bawah. Hawa di dalamnya tiba-tiba menjadi panas. "Aduh," keluh Philip sambil menyeka kening. "Rasanya sulit sekali bernapas di sini!" Mereka sampai di semacam serambi kecil yang menjorok di atas sebuah lubang yang lebar dan dalam. Anak-anak tercengang melihat lubang yang begitu besar. Jauh di bawah, di tengah-tengah lubang itu nampak sejumlah laki-laki yang sedang bekerja. Dari atas serambi tidak bisa dilihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan orang-orang itu Jarak yang memisahkan begitu besar, sehingga orang-orang itu kecil sekali kelihatannya. Lubang itu diterangi seperangkat lampu yang besar—besar. Anak-anak memandang dengan heran. Apakah yang sedang dilakukan orang-orang yang di bawah itu? Tiba-tiba Jack menyentuh Philip dengan sikunya. "Itu. lihat — orang-orang itu menggeserkan lantai lubang ke samping! Kaulihat tidak? Ada apa di bawahnya?" Philip tidak bisa menjawab, karena ia pun tidak tahu! Dari dalam lubang yang menganga nampak sinar memancar dengan warna-warna cemerlang! Anak-anak belum pernah melihat warna seperti itu. Bukan biru atau hijau — juga bukan merah atau kuning. Entah apa nama warna seperti yang mereka lihat saat itu. Mereka memandang sambil melongo. Tahu-tahu mereka mengalami perasaan aneh — perasaan ringan, seperti sedang bermimpi. Semua berpegangan erat-erat ke sandaran serambi, karena merasa seram. Saat itu orang-orang yang berada di bawah menggeser lantai, sehingga lubang yang menganga tertutup kembali. Begitu sinar yang memancarkan warna-warna asing lenyap, hilang pula perasaan aneh tadi. Mereka merasa biasa kembali. Semua agak lemas, setelah mengalami kejadian luar biasa itu. "Yuk, kita pergi dari sini." kata Jack ketakutan. "Perasaanku tidak enak!" Tapi sebelum mereka sempat beranjak dari situ. tahu—tahu terdengar bunyi gemuruh yang sudah sering mereka alami. Bunyinya datang dari bawah — dari dasar gunung! Anak—anak saling berpegangan dengan perasaan cemas. Bunyi gemuruh itu keras sekali. karena kini mereka berada di dalam gunung. Bunyinya Iebih nyaring daripada guntur. Menyeramkan. seakan-akan berasal dari luar bumi. Kemudian serambi kecil tempat mereka berdiri mulai bergetar. Jack masih sempat sekali lagi melemparkan pandangan ke dalam lubang aneh di bawah. Orang-orang tadi sudah tidak kelihatan lagi sekarang. Rupanya pergi berlindung di balik dinding batu. Jack menyambar tangan Lucy-Ann, lalu cepat-cepat lari dari situ. disusul oleh Philip dan Dinah. Kiki bertengger di bahu Jack. la yang paling takut di antara mereka semua. Sedang si Putih sudah menghilang — entah ke mana! • Keempat remaja itu bergegas lari mendaki lorong lebar yang mereka lalui tadi. Lantai lorong terasa bergerak—gerak di bawah kaki. Menurut anak-anak, pasti seluruh gunung bergetar saat itu. Tenaga apakah yang dipergunakan orang-orang itu? Pasti mereka itu berhasil menemukan salah satu rahasia ilmiah yang belum diketahui orang lain! Ketika sudah sampai di ujung lorong yang mendaki itu, barulah anak-anak berhenti berlari. Keringat mereka bercucuran. Napas terengah- engah. Tahu-tahu si Putih muncul di dekat mereka, lalu merapatkan diri ke kaki Philip. Keempat remaja itu ambruk ke lantai. Tidak ada yang mempedulikan si Putih, sementara anak kambing itu dengan seenaknya saja menginjak-injak tubuh mereka. "Ayo — kita harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini," kata Philip beberapa saat kemudian. "Kalau kita ini ilmuwan, kita takkan merasa takut, tapi malah sangat tertarik. Tapi walau begitu —yuk, kita cepat-cepat keluar!" Semua setuju saja. Tapi sulitnya — lewat mana? Mereka berdiri, lalu memasuki suatu lorong sempit yang berbelok-belok. Tidak lama kemudian lorong itu bercabang dua. Anak-anak mengambil jalan lewat cabang sebelah kanan, karena tidak tahu jalan yang menuju ke luar. Ternyata mereka sampai di sebuah gua sempit, yang kelihatannya seperti sel. Di dalamnya ada tempat tidur, sebuah rak dengan kendi berisi air, serta sebuah ember. Cuma itu saja yang ada di situ. - "Aneh!" kata Jack. "Kurasa ini kamar Meier, atau salah seorang rekannya. Lebih baik kita kembali." Mereka kembali ke percabangan lorong, lalu masuk ke cabang sebelah kiri. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa langkah mereka tertahan oleh tirai sutra berwarna ungu dengan hiasan gambar naga berwarna merah! Anak-anak berhenti. Philip memegang si Putih, agar anak kambing itu tidak Iangsung lari menembus tirai. Jack menghampiri penghalang itu sambil berjingkat-jingkat. Lalu mengintip. Ternyata di situ ada gua yang dihias indah sekali. Tirai-tirai tebal digantungkan di sepanjang dinding, sedang lantainya dihampari permadani empuk, sehingga tempat itu sama sekali tidak kelihatan seperti gua. Di satu sudut ada semacam dipan yang dilapisi hamparan sutra ungu, dengan hiasan naga merah. Persis seperti yang nampak pada tirai yang menutupi jalan masuk ke gua itu. Jack memandang dengan heran. Mungkin itu tempat raja tidur. Hawa dalam ruangan itu enak. Sejuk! Dari manakah datangnya hembusan angin sejuk itu? Jack melihat batang logam langsing terpasang pada dinding di dekatnya. Batang logam itu bercelah-celah, dari atas sampai ke bawah. Jack mendekatkan tangannya ke celah-celah itu. Terasa ada angin keluar dari situ. Ajaib — karena batang langsing itu tidak dihubungkan ke mana-mana. Begitu saja — tergantung di dinding. Kenapa bisa ada angin menghembus keluar dari situ? Timbul lagi dugaan bahwa ada orang yang sangat pintar dalam gunung itu. Saat itu terdengar suara orang bercakap-cakap. Datangnya dari ruangan yang letaknya agak Iebih jauh ke depan. Lubang masuk ke situ juga ditutup dengan tirai ungu seperti yang menutupi ruangan— ruangan Iainnya. Jack berjingkat-jingkat, kembali ke tempat Philip serta kedua anak perempuan. "Kita tunggu sebentar. Aku mendengar suara orang bercakap-cakap di ruangan sebelah depan situ. Kurasa yang ini kamar tidur raja." Mereka menunggu. sambil sekali-sekali mengintip dari balik tirai. Semua sudah lapar sekali saat itu. Mereka lega ketika orang-orang yang ada di dalam kamar sebelah berhenti bercakap-cakap. Anak- anak berjingkat-jingkat, memasuki kamar itu. Mereka tertegun. Bukan karena keindahan tempat itu, melainkan karena melihat sedapnya makanan yang tersaji di atas meja! Bab 19 RAJA GUNUNG "LIHATLAH!" kata Jack. "Rupanya ada yang makan di sini tadi. Tiga orang! Dan lihat— apa yang masih tersisa!" "Bagaimana kalau'_ kita makan sedikit," kata Lucy-Ann. Dipandangnya mangkuk besar yang berisi buah arbei segar. serta kendi kaca yang setengahnya masih berisi krem. Di dekatnya ada piring berisi udang rebus, serta selada campur dua basi. Nampak bahwa tadi ada tiga orang yang makan di situ, kalau melihat jumlah piring dan gelas yang terletak di meja. Peralatan itu bagus sekali. "Ini namanya pesta — pesta besar!" kata Dinah. Diambilnya sepotong kue yang di atasnya dihiasi dengan krem berbentuk mawar, lalu langsung digigit. "Aku tidak tahu ini makanan siapa — tapi mau minta izin, tidak ada siapa-siapa di sini! Aku tidak sabar Iagi menunggu, karena sudah terlalu lapar!" "Aku juga! Nanti kalau ada yang marah, biar Bill saja yang membayar ganti rugi," kata Jack sambil menyambar sepotong udang. Ada beberapa hidangan lain di situ, yang belum pernah dilihat anak-anak. Mereka mencicipnya. Tapi mereka kurang suka, karena bumbunya aneh. Buah-buahan yang tersaji beraneka macam. Ada persik biasa, persik madu, nenas, prem, dan macam-macam lagi. "Helikopter itu pasti sibuk mondar-mandir, mengangkut segala makanan ini kemari!" kata Philip sambil menghunjamkan giginya, menggigit daging buah persik yang manis sekali. "Raja gunung ini kelihatannya tidak setengah-setengah menjamu dirinya sendiri!" Tidak ada yang datang mengganggu keasyikan anak-anak saat itu. Kiki berpesta pora, menikmati hidangan seperti anak-anak pula. Si Putih menyikat habis selada yang disodorkan padanya. Sekali itu ia diperbolehkan duduk di pangkuan Philip, sementara kedua kaki depannya diletakkan di atas meja. Anak kambing itu sebenarnya ingin naik ke atas meja, tapi itu tidak diizinkan. Ia heran, kenapa Kiki boleh! "Aduh, rakusnya kau ini, Kiki!" kata Jack. "Awas, nanti kau tidak henti-hentinya bersendawa, kalau masih makan terus!" "Polly meletus." oceh Kiki. Ia sudah hendak terkekeh-kekeh, kalau Jack tidak cepat-cepat melarangnya. "Nah, sekarang bagaimana jika kita lanjutkan lagi mencari jalan keluar," kata Jack kemudian. "Aku tidak tahu apakah ini ada hubungannya dengan perasaan aneh yang timbul ketika lantai lubang besar tadi digeser ke samping lalu nampak sinar kemilau di bawahnya — tapi aku kini merasa seperti tak peduli. Aku sudah tidak takut lagi! Aku bahkan merasa tidak perlu cepat-cepat keluar dari sini — meski aku sadar bahwa itu perlu sekali!" "Aneh sekali perasaan itu tadi," kata Philip. "Saat itu aku merasa seperti akan melayang ke atas —sampai aku terpaksa berpegangan erat-erat!" Keempat remaja itu mengalami perasaan yang sama waktu itu. Dan kini perasaan mereka sama seperti Jack — perasaan tak peduli. Tapi itu berbahaya, karena mereka harus berusaha selekas mungkin meninggalkan tempat itu Mereka keluar dari ruang makan, memasuki suatu lorong. Penerangan di situ jauh lebih terang, dibandingkan dengan lorong-lorong yang pernah mereka lalui. Di sepanjang dinding batunya bergantungan tirai-tirai besar yang terayun-ayun sedikit kena angin yang berhembus pelan di situ. "Rupanya tempat ini merupakan kediaman pribadi raja," kata Jack. "Mungkin sebentar lagi kita akan sampai di ruang singgasana." Dugaannya ternyata tepat. Mereka sampai di ruangan besar itu. Tapi kini ruangan itu tidak kosong. melainkan penuh orang! Orang-orang itu berdiri tanpa berbicara. Tampang mereka galak-galak. Mereka terdiri dari berbagai bangsa. Beberapa di antaranya memakai baret merah yang merupakan bagian dari pakaian seragam pasukan penerjun payung. Anak—anak yang mengintip ke dalam menduga bahwa mereka itu pasti bekas anggota pasukan payung. Jumlah mereka sekitar dua puluh orang. Sam ada di antara mereka. Philip kaget ketika melihat laki-laki berkulit hitam itu ada di sana. Nah — pasti sekarang sudah diketahui bahwa aku minggat. katanya dalam hati. Orang yang tadi datang ke gua di atas untuk menjemput Sam, pasti saat itu melihat bahwa pintu sudah tidak digerendel dan ia tidak ada lagi di dalam! Sialan! Sekarang ia pasti dicari ke mana-mana. Sekarang pasti sulit lari dari situ. Philip menyenggol Jack, lalu menuding ke arah Sam. Jack mengintip sebentar ke arah yang ditunjuk, lalu mengangguk dengan wajah suram. Pikiran seperti Philip tadi melintas dalam otaknya. la menimbang-nimbang kemungkinan mereka berhasil melarikan diri saat itu juga. Tapi untuk itu mereka harus lewat jalan yang tadi Iagi. Padahal lewat situ, mereka pasti tidak akan bisa sampai ke jalan masuk yang mereka kenal. Mereka bisa juga masuk ke dalam ruang singgasana. Tapi kalau lewat situ, mereka pasti akan ketahuan. Tidak! Mereka harus tetap di situ — di balik tirai — sampai rapat atau entah apa yang sedang berlangsung dalam ruangan itu selesai. Di sisi barisan pasukan payung berdiri sederetan laki-laki berbadan kecil. Mereka kelihatannya orang Jepang. Mereka memakai pakaian seragam dengan hiasan macam-macam. Tidak ada orang duduk di singgasana. Sedang orang yang bernama Meier tidak nampak di ruangan itu. Kemudian terdengar orang-orang yang berkumpul itu berbisik-bisik sesama mereka. Tirai-tirai besar di dekat singgasana disibakkan ke samping oleh dua orang Jepang, membuka jalan untuk — Raja Gunung!“ Orangnya memberikan kesan jangkung, karena ada mahkota besar di atas kepalanya. Mahkota itu penuh hiasan batu permata kemilau. la memakai jubah yang nampak mewah. Pakaiannya seperti kostum pangeran India dalam pasta besar. Mukanya yang kekuning-kuningan sedikit pun tidak menunjukkan gerak perasaan. Rambutnya yang hitam tebal tergerai merangkum mukanya, di bawah mahkota yang besar. la menghampiri singgasana, lalu duduk di situ. Di kiri kanannya berdiri dua orang laki-laki. Philip merasa yakin bahwa satu di antaranya pasti Meier. Sedang yang satu lagi tidak dikenalnya. Tapi ia tidak suka melihat tampangnya yang seperti gorila. Orang itu berbadan besar dan gempal. Mata Meier yang tajam menyapu seisi ruangan. Kemudian ia berbicara. Suaranya tajam menyayat. Ia bercara dalam bahasa asing, yang tak dikenal anak-anak. Meier berhenti sebentar, lalu menyambung dalam bahasa Inggris. Anak-anak terpaku mendengarkan — seperti terpukau. Meier berbicara tentang raja, serta anugerah yang akan dilimpahkannya pada umat manusia ——- yaitu kemungkinan bisa terbang. la berbicara tentang pahlawan-pahlawan yang membantu dalam eksperimen, tentang para penerjun payung yang menyatakan bersedia mencoba 'sayap terbang'. Ia berbicara tentang harta berlimpah ruah yang akan mereka terima, serta kehormatan yang akan dilimpahkan nanti. Setelah itu Meier berbicara lagi dalam dua bahasa lain. Semua kelihatan seperti tersihir, saat ia sedang berbicara. Dalam hati kecilnya, Jack merasa bahwa segala kata-katanya itu omong kosong belaka. Tapi seakan-akan ada yang memaksanya percaya. Sedang orang-orang yang ada di ruang singgasana nampak meresapkan kata-kata Meier, tak peduli apakah ia berbicara dalam bahasa mereka atau tidak. Bukan main kemampuannya mempesona orang! Setelah itu diminta beberapa sukarelawan, agar maju ke depan. Orang-orang yang menghadap langsung maju dengan serentak. Raja berdiri, lalu menunjuk beberapa orang di antara mereka. Kelihatannya ia asal saja menunjuk. Kemudian ia berbicara. Kata-katanya tak terdengar oleh anak- anak yang masih mengintip di balik tirai. Suara Raja Gunung ternyata lemah dan kering, tak sepadan dengan penampilannya yang begitu anggun. Setelah itu Meier berbicara lagi. la mengatakan bahwa mereka yang dipilih itu termasuk perintis penerbangan dengan sayap. Setelah menyelesaikan tugas percobaan, mereka akan dikembalikan ke negeri masing-masing, dengan dibekali harta yang pasti cukup untuk seumur hidup. Orang- orang yang sebelum itu telah menguji keandalan sayap terbang, sementara ini sudah kembali ke rumah masing-masing dengan selamat. Mereka kini menikmati kehidupan sebagai orang kaya dan terhormat. "Omong kosong!" bisik Jack pada Philip, karena teringat pada cerita Sam mengenai hal itu. Setelah itu raja meninggalkan ruangan dengan sikap agung, diikuti oleh Meier dan laki-laki yang satu lagi. Para penerjun payung diantar ke luar oleh orang-orang yang berbangsa Jepang. Beberapa saat kemudian tak ada seorang pun lagi di ruangan besar itu. "Dari sini kami tahu jalan keluar!" bisik Jack pada Philip. "Yuk, kita berangkat!" Mereka menuju ke ruang laboratorium yang besar, di mana roda-roda serta kawat-kawat yang terentang nampak masih selalu bekerja dengan misterius. Anak-anak berdiri di serambi sempit yang terdapat di atas ruangan luas itu, sambil menatap lampu aneh yang ada di tengah-tengah. Jack kaget sekali ketika Dinah memegangnya dengan tiba-tiba. Dinah menuding ke suatu tempat di bawah. Di situ ada sekelompok bejana kaca yang saling dihubungkan oleh pipa—pipa. Ternyata ada orang di situ. Orang itu sudah tua. Keningnya besar dan bulat, melebihi kening siapa pun yang pernah dilihat Jack. Rambut di ubun-ubunnya sudah habis, sehingga kepalanya nampak semakin aneh. Orang itu membungkuk di depan bejana-bejana sambil memperhatikan sesuatu. "Yuk — kita pergi dari sini, sebelum ketahuan," bisik Jack sambil menarik anak-anak yang lain ke lorong yang menuju ke luar. Setelah menelusuri lorong itu, akhirnya mereka sampai di rongga sempit di mana terdapat kendi-kendi berisi air. Sekarang tinggal menuruni tangga tali — lalu cepat-cepat lari ke luar! "Bagaimana dengan si Putih?" bisik Dinah. "Bagaimana cara kita menurunkan dia?" "Bagaimana ia waktu itu naik, ya?" kata Philip. "Begitu pula anjing-anjing herder itu! Selama ini tak sempat kupikirkan hal itu. Waktu itu aku didorong-dorong di dalam gelap, disuruh cepat-cepat naik. Aku takut sekali, sehingga si Putih serta kawanan anjing itu tidak kupikirkan sama sekali. Tidak mungkin mereka naik dengan jalan memanjat tangga tali!" "Mestinya ada lubang, lewat mana mereka masuk," kata Dinah. "Lubang di luar, maksudku! Untuk kita terlalu sempit, tapi masih bisa dilewati si Putih serta anjing-anjing itu!" Kemudian ternyata bahwa Dinah benar. Dekat retakan pada dinding tebing di luar ada lubang kecil. Si Putih serta kawanan anjing herder masuk lewat situ, lalu naik lewat lorong sempit. Kawanan anjing sudah sering melalui lorong itu, sehingga tahu jalan. Dengan cara begitulah si Putih bisa masuk ke dalam gunung, tanpa ikut tertawan bersama Philip. Anak kambing itu masih ada bersama anak-anak. Ia sebenarnya masih ingat jalan yang dilaluinya sewaktu masuk. Tapi ia tidak mau meninggalkan anak-anak. Jack menyalakan senter, sambil meraba-raba mencari tangga. "Mana tangga sialan itu?" katanya kesal. "Mestinya kan di sini tempatnya!" Si Putih datang menghampiri sambil mendesak-desak, sehingga nyaris saja Jack terpental ke bawah. "Pegang si Putih!" katanya pada Philip. "Nyaris saja aku terjungkir didesaknya. Aku tidak bisa menemukan tangga tali itu. Mestinya terjulur di sekitar sini." "Mana — coba aku yang mencari," kata Philip. Si Putih diserahkannya pada Dinah. Setelah itu ia meraba-raba di tepi rongga. sementara Jack menyorotkan senternya ke berbagai arah. Tapi tangga tali itu memang tidak ada Iagi. Atau kalaupun ada, tidak seorang pun melihatnya! Jack menyinari dinding sebelah bawah tebing di mana mereka berdiri. Tapi tangga tali itu tetap tidak kelihatan! "Ke mana dia?" kata Jack kesal. "Mungkin ada yang memutar roda kecil di dalam kolam itu, sehingga tangga tali itu tergulung kembali ke atas — masuk ke suatu tempat yang tidak nampak dari sini," kata Dinah. Ngeri rasanya membayangkan kemungkinan itu. Jack mencari-cari di dalam rongga sempit itu. Barangkali saja tangga itu ditarik ke atas dengan suatu mesin yang digerakkan oleh putaran roda! la meraba-raba dinding rongga. Tiba-tiba tangannya menyentuh suatu benda. Rasanya seperti paku, tertancap di dinding batu. Diarahkannya sorotan senter ke benda. yang mencuat itu. "Barangkali ini tuas pengungkit," katanya. "Lihat!" Jack menarik dan mendorong-dorong batang itu, yang tiba-tiba tertarik ke bawah. Seketika itu ` juga sebuah Iempengan batu tergeser kι samping. Di belakangnya nampak tangga tali, dalam keadaan tergulung. Bagaimana hubungan antara tangga dengan roda yang ada di dalam kolam di bawah, tidak bisa dibayangkan keempat remaja itu. Yang jelas tangga itu tergulung di dalam rongga di balik batu tadi. Mereka tidak bisa mengeluarkannya, walau sudah ditarik sekuat tenaga. Rupanya untuk itu harus digerakkan oleh sebuah mesin dulu! Kalau dari bawah, harus diputar dulu roda yang terbenam di dalam kolam. "Tapi bagaimana cara mengulurnya, jika orang yang hendak mempergunakannya ada di atas sini?" kata Jack untuk kesekian kalinya. Anak-anak menarik-narik lagi. Tapi tangga tali itu tetap tergulung di tempatnya. "Sudahlah — percuma saja kita menarik-narik," kata Jack kemudian. Ia merasa lesu. "Kita tidak bisa turun. Huh — menjengkelkan sekali! Padahal kita sudah hampir keluar dari gunung sialan ini!" Bab 20 RAHASIA YANG MENCENGANGKAN SELAMA beberapa waktu mereka duduk dengan perasaan lesu bercampur bingung di ruangan kecil itu. Berulang kali mereka mencoba lagi agar tangga tali itu bisa diulurkan ke luar, tapi selalu sia-sia. Akhirnya mereka menjadi haus sekali, dan juga lapar. Air yang masih tersisa di kendi-kendi mereka minum sampai habis. Mereka berpikir- pikir, di mana mereka dapat memperoleh makanan. Satu-satunya tempat yang teringat saat itu hanya ruangan di mana mereka makan dengan nikmat sebelum itu. "Kita kembali saja ke sana —— mungkin sisa-sisa makanan tadi masih ada," kata Jack. "Lumayan, jika masih ada beberapa potong udang!" "Kasihan Polly," kata Kiki, yang kelihatannya selalu tahu apabila anak-anak sedang berbicara tentang makanan, "Polly pilek! Panggilkan dokter!" "Eh — kau bisa bicara lagi sekarang, ya?" kata Jack. "Kusangka kau sudah bisu! Awas — jangan berteriak atau terkekeh-kekeh — nanti kita ketahuan!" Mereka berhasil kembali ke`ruang singgasana yang masih tetap kosong seperti tadi. Dari situ mereka masuk ke ruang di mana ada makanan tersaji di atas meja. Makanan itu masih ada di situ. Mata keempat remaja itu berbinar—binar. Saat itu juga semangat mereka bangkit kembali. Mereka duduk menghadapi meja, lalu mulai makan. Tapi tiba-tiba kening Jack berkerut Ia menggapai Philip. Ada bunyi terdengar di kamar sebelah —— kamar tidur yang terhias indah! Anak-anak diam seperti terpaku di tempat masing-masing. Ada orangkah di dalam kamar itu? Tiba-tiba Kiki melihat si Putih meletakkan kaki depannya ke atas meja. Rupanya anak kambing itu hendak mengambil daun selada. Kiki marah melihat kekurangajaran si Putih, lalu terbang menyambar ke arahnya sambil menjerit-jerit. "Tamat riwayat kita sekarang," kata Jack. Tepat saat itu tirai pemisah ruangan disibakkan ke samping oleh seseorang yang menyembulkan kepalanya ke dalam. Anak-anak sudah pernah melihat wajah orang itu. Dialah laki-laki berkening tinggi, yang berada di ruang laboratorium. Matanya melotot, berwarna biru kehijauan. Hidungnya melengkung, sedang pipinya cekung. Warna kulitnya kekuning-kuningan. Orang itu menatap anak-anak tanpa mengatakan apa-apa. Anak-anak membalas tatapannya sambil membisu pula. Siapakah laki-laki tua berkening tinggi itu? "Tahukah aku siapa kalian?" tanya orang itu. Tampangnya nampak bingung. "Aduh — aku sudah lupa! Lupa." Tirai pemisah disibakkan Iebih lebar. Laki-laki tua itu memasuki ruang makan. Ia mengenakan semacam jubah longgar yang terbuat dari kain sutra biru. Penampilannya menimbulkan rasa kasihan. Suaranya tinggi dan kering. Kiki Iangsung menirukannya. Laki-laki itu tercengang, apalagi karena tidak bisa melihat Kiki yang saat itu bertengger .di belakang sebuah jambangan bunga yang besar. Anak-anak diam saja. Mereka menaksir kemungkinan melarikan diri dari situ. "Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya laki-laki tua itu dengan nada heran. "Pernahkah aku melihat kalian sebelum ini? Kenapa kalian ada di sini?" "Eh — kami di sini karena hendak mencari seseorang," kata Jack. "Sekarang kami tidak bisa keluar. Bisakah Anda menunjukkan jalan keluar dari sini?" Laki-laki tua itu kelihatannya seperti sudah linglung, jadi menurut Jack mungkin saja ia bisa ditipu, lalu menunjukkan jalan keluar. Tapi dugaannya ternyata keliru. "Wah, tidak — tidak bisa," kata laki-laki tua itu dengan segera. Air mukanya berubah, nampak licik. "Di sini banyak tersimpan rahasia. Rahasiaku! Orang yang masuk kemari, tidak satu pun boleh keluar lagi — sampai percobaanku sudah selesai sama sekali. Aku penguasa tempat ini! Otakkulah yang mengatur segala-galanya!" Ia mengakhiri kata-katanya dengan suara melengking tinggi. Anak-anak merasa seram mendengarnya. Gilakah laki-laki tua itu'? Tidak mungkin dia "raja" yang mereka lihat dalam ruang singgasana! "Anda tidak kelihatan seperti raja," kata Lucy-Ann pada orang itu. "Raja yang kami lihat sewaktu di ruang singgasana. Orangnya jangkung, dengan mahkota besar di kepala, sedang rambutnya hitam tergerai di sisi mukanya." "Ya, memang — penampilanku diatur supaya kelihatan begitu," kata laki-laki tua itu. "Aku ingin rnenjadi raja dunia! Seluruh dunia — karena otakku yang cerdas. Tidak ada yang bisa menandingi pengetahuanku. Kata Meier, aku akan menjadi penguasa dunia, begitu percobaan- percobaanku sudah selesai. Dan percobaanku itu sudah hampir selesai. Sebentar lagi!" _ “Kalau begitu, tentunya Meier yang mendandani Anda seperti raja, saat Anda tampil di ruang singgasana, ya?" tanya Jack. la merasa heran. Kemudian ia berpaling, lalu berbicara dengan suara pelan pada anak-anak yang Iain. "Itu pasti agar para penerjun payung terkesan! Dalam keadaannya yang seperti ini, takkan mungkin ada yang kagum melihatnya." "Aku memang raja — karena kepandaianku yang luar biasa," kata laki-laki tua itu dengan sikap angkuh. "Aku mempunyai rahasia, dan kini aku mempergunakannya. Kalian tentunya sudah melihat laboratoriumku yang hebat, kan? Ya, Anak- anakku, aku tahu caranya mempergunakan segala kekuatan yang ada di bumi ini! Gerak pasang, logam, angin — dan gravitasi!" "Gravitasi? Apa itu?" tanya Lucy-Ann. "Itu kekuatan yang menyebabkan kau tetap berada di bumi — yang menyebabkan kau selalu kembali apabila kau meloncat, dan mengembalikan bola yang dilemparkan tinggi-tinggi ke udara," kata laki-laki tua itu. "Tapi aku — aku berhasil menaklukkan gravitasi!" Menurut anak-anak, segala kata-katanya itu cmong kosong belaka. Kini mereka yakin bahwa laki-laki tua itu benar-benar gila. Mungkin ia dulu pernah pintar sekali — tapi kini kepintaran itu sudah tidak banyak lagi gunanya bagi dirinya. "Kalian tidak percaya?" tukas laki-laki tua itu, ketika melihat air muka keempat remaja yang ada di hadapannya. "Ketahuilah bahwa aku berhasil menemukan sinar yang bisa menolak tarikan bumi. Mengertikah kalian, Anak-anak? Tidak, tidak mungkin kalian mengerti — karena itu terlalu rumit bagi kalian." "Tidak," kata Jack penuh minat. "Maksud Anda tadi, Anda merasa berhasil menguasai sinar yang apabila dipakai, bisa melawan gravitasi? Jadi apabila sinar itu diarahkan pada — katakanlah, sebuah bola -— maka bola itu tidak mengalami tarikan bumi lagi? Bola itu akan melambung terus, dan tidak pernah jatuh lagi ke bumi?" "Ya, betul — itu maksudku, secara sederhana," kata laki—laki tua itu. "Dan kini aku menciptakan sayap terbang. Sayap itu kukenai sinar temuanku. Sinar itu terkurung dalam sayap. Lalu jika seseorang yang memakai sayapku itu terjun dari pesawat terbang, ia harus menekan sebuah tombol untuk mengerahkan kekuatan cahaya itu — dan ia tidak akan jatuh terbanting ke bumi! la akan bisa melayang dan membubung tinggi sambil mengepak-ngepakkan sayap, ia bisa terbang seperti burung. Kalau sudah bosan terbang, cahaya ditahan lagi dalam sayap dan ia meluncur dengan tenang ke bumi!" Anak-anak mendengarkan penuturannya tanpa mengatakan apa-apa. Belum pernah mereka mendengar hal yang begitu menakjubkan. "Tapi — benarkah semuanya itu?" tanya Lucy-Ann kemudian. Asyik rasanya, membayangkan bisa terbang seperti burung! "Kausangka kami mau datang ke gunung terpencil ini untuk melakukan percobaan-percobaan kami, kaukira Meier dan Erlick mau dengan begitu saja mengeluarkan uang mereka, apabila mereka tidak yakin bahwa aku bisa melaksanakan gagasanku itu?" tanya laki-laki tua itu. Kelihatannya ia agak marah. "Yah — soalnya, hal itu kedengarannya begitu luar biasa," kata Lucy-Ann. "Tentu saja asyik sekali — maksudku, aku berkorban apa saja, asal bisa terbang seperti itu. Anda pintar sekali rupanya!" "Otakku paling hebat di dunia," kata laki-laki tua itu bersungguh-sungguh. "Aku ini sarjana yang paling hebat di antara semua sarjana. Segala-galanya bisa kulakukan. Apa saja!" "Bisakah Anda menunjukkan jalan keluar dari sini?" tanya Jack sambil lalu. Laki—laki tua itu kelihatan agak merasa kikuk. " "Kalian bisa pergi dari sini,jika mempergunakan sayap-sayap ciptaanku," katanya kemudian. "Selama itu kita semua harus tetap berada di sini — termasuk aku! Meier yang mengatur begitu. Katanya aku harus lekas-lekas menyempurnakan sayap-sayapku — karena waktu sudah mendesak. Kalau semua sudah selesai, aku akan dinobatkan menjadi raja dunia. Semua akan memuliakan diriku." "Pak Tua yang malang," kata Philip dalam hati. "la percaya saja pada apa yang dikatakan oleh Meier, laki-laki jahat itu. Meier dan Erlick rupanya menggunakan kepintaran orang ini demi kepentingan mereka sendiri." Kemudian laki-laki tua itu pergi lagi, begitu cepat seperti kedatangannya. Kelihatannya ia sudah tidak tahu lagi bahwa di ruangan itu ada anak-anak. la pergi ke balik tirai, meninggalkan mereka tanpa mengatakan apa-apa Iagi. Keempat remaja itu berpandang-pandangan dengan perasaan gelisah. "Aku tidak tahu, _sampai seberapa jauh kata- katanya tadi bisa dipercaya," kata Jack. "Benarkah ia berhasil mengetahui cara menaklukkan daya tarik bumi? Masih ingat tidak kalian, perasaan apa yang tiba-tiba timbul ketika kita sedang memandang cahaya kemilau yang muncul di bawah lubang dalam itu? Waktu itu kita kan tiba-tiba merasa tubuh kita menjadi sangat ringan, sehingga kita terpaksa berpegangan ke langkan karena takut melayang! Nah — kurasa saat itu cahaya yang diceritakannya itu ada yang terlepas dari bawah!" "Wah, betul juga katamu. Itu memang aneh!" kata Philip sambil berpikir-pikir. "Dan tentu saja semuanya harus dilakukan di bawah tanah — supaya cahaya itu tidak bertemperasan ke segala arah! Perut gunung kelihatannya memang cocok sekali untuk mengadakan percobaan seperti ini- karena dikelilingi dinding batu yang tebal sekali! Pantas kita tadi mendengar bunyi gemuruh, serta merasakan tanah bergetar keras. Sarjana tua itu rupanya hebat pengetahuannya! Aku takut berurusan dengan segala kekuatan yang diterapkan para sarjana sekarang. Ini malah lebih hebat lagi daripada pembelahan atom!" "Aku tidak tahu apa-apa tentang soal-soal seperti itu," kata Lucy-Ann. "Perasaanku sama seperti yang mestinya dialami orang zaman dulu terhadap para dukun. Aku tidak mengerti apa yang mereka lakukan — tapi segalanya seakan-akan ilmu sihir. Aku takut!" "Tunggu saja sampai aku sudah memakai sayap antigravitasi atau entah apa namanya benda itu," kata Philip sambil meraih buah persik. "Itu baru benar-benar ajaib!" "Meier dan Erlick rupanya meyakini kebenaran gagasan laki-laki tua itu," kata Jack. "Kalau tidak, mana mungkin mereka mau begitu merepotkan diri — dan sangat merahasiakan segalanya. Kurasa jika gagasan itu nanti ternyata bisa terlaksana, mereka akan bisa mengumpulkan harta begitu banyak sehingga keduanya menjadi hartawan yang paling kaya di dunia — dan juga yang paling berkuasa." "Betul! Merekalah yang akan menjadi penguasa dunia — bukan laki-laki tua itu," kata Philip. "la hanya diperalat saja, dijejali dengan segala macam omong kosong. Pak Tua itu polos sekali, tapi sangat pintar. Meier dan Erlick nanti pasti akan mengaku bahwa merekalah pencipta alat penolak daya tarik bumi itu, dan bukan laki-laki tua itu. Bayangkan, mereka mengurungnya seperti itu di sini — dan juga yang lain-lainnya!" "Termasuk kita," kata Dinah. "Sekarang aku sudah mulai mengerti apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini. Tapi sulit sekali rasanya bisa kupercaya! Dan kurasa Bill juga akan begitu sikapnya!" Anak—anak itu makan dengan nikmat dan tenang, tanpa ada yang datang mengganggu. Dari kamar laki-laki tua itu sama sekali tak terdengar bunyi apa-apa. Menurut dugaan anak-anak ia pasti sudah tidur, atau mungkin juga kembali ke tempat kerjanya yang aneh itu. Mereka sendiri biar bagaimanapun takkan mau datang lagi ke sana. Itu sudah jelas! "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" kata Jack. "Coba bilang, Putih! He, Kiki —• kau sudah cukup banyak makan persik!" "Kasihan Polly," kata Kiki sedih, lalu mengusap- kan paruhnya ke taplak meja. "Ssst — ada orang datang!" kata Lucy-Ann dengan tiba-tiba. "Cepat, bersembunyi!" "Di balik tirai yang menutupi dinding," bisik Dinah. Dengan cepat keempat remaja itu menyembunyikan diri di belakang tirai-tirai tebal. Mereka berdiri di situ sambil menahan napas. Dua orang Jepang masuk ke dalam ruangan. Rupanya mereka hendak membereskan meja makan. Keduanya bercakap-cakap. Kedengarannya seperti heran. Mereka memang heran, melihat begitu banyak makanan yang habis. Anak-anak mendengar kedua orang itu berjalan hilir-mudik. Tiba-tiba seorang di antaranya berseru. Tapi dalam bahasa Jepang, sehingga anak-anak tidak memahami maksudnya. Mereka tetap bersembunyi di belakang tirai, jantung mereka berdebar keras. Tiba-tiba terdengar suara Lucy-Ann menjerit. Jack dan Philip dengan cepat keluar dari tempat persembunyian. Ternyata salah seorang Jepang itu • melihat kaki Lucy-Ann tersembul keluar dari balik tirai, lalu menyergap anak itu. "Jack! Philip! Cepat, tolong aku!" seru Lucy-Ann ketakutan. Dengan segera kedua anak laki-laki itu datang membantunya. Bab 21 DI PUNCAK GUNUNG Lucy-Ann dicengkeram oleh kedua orang Jepang itu. Ia menjerit-jerit. Tanpa berpikir panjang Iagi, Jack dan Philip langsung menyerang kedua laki-laki itu. Tapi tahu-tahu mereka terpelanting. Dengan gerakan tangan yang kelihatannya sambil lalu saja, kedua orang Jepang itu menyebabkan Jack dan Philip terpental, jatuh terjerembab. Kedua remaja itu cepat-cepat bangun Iagi. Tapi dengan cepat lawan mereka beraksi. Satu di antaranya memiting Philip — dan tahu-tahu anak itu sudah terpental Iagi, melayang di atas kepala lawannya itu. la terbanting menubruk meja makan. sehingga piring dan gelas yang ada di situ berserakan ke mana-mana. Keadaan di situ ribut sekali karena jeritan Lucy-Ann, teriakan Jack dan Philip, serta bunyi piring dan gelas yang berhamburan di lantai. Kiki menambah keramaian dengan jeritan nyaring. Burung kakaktua itu terbang menghunjam, menyerang salah seorang Jepang. Orang itu terpaksa sibuk menangkis. Kemudian muncul empat orang Jepang lagi. Perlawanan anak-anak langsung berakhir. Keempat-empatnya berhasil diringkus lawan mereka. Kiki terbang melarikan diri, sambil terus menjerit-jerit, Sedang si Putih lenyap, entah ke mana perginya. Keempat remaja itu digiring meninggalkan ruang makan. Mereka dibawa ke suatu ruangan yang lebih luas. Tempat itu baik perlengkapannya, tapi tidak semewah ruang pribadi raja. Di dinding tergantung tirai. Tirai-tirai itu biasa saja, tanpa hiasan. Langit—langit ruangan tidak ditutupi, sehingga anak-anak bisa melihat permukaan batu yang kasar di atas kepala mereka. Lucy-Ann menangis. Dinah pucat sekali wajahnya, sedang Jack dan Philip bersikap menantang. Philip meraba-raba kantungnya, untuk melihat apakah Sally Geliat mengalami cedera dalam pergulatan tadi. Cecak ular itu rupanya tidak menyukai kehidupan di gunung. Binatang itu nampak lesu. Tapi ia tidak mau meninggalkan Philip. Ia tetap meringkuk di dalam kantung. Philip bertanya-tanya di dalam hati, di mana Kiki dan si Putih saat itu. Bukan kebiasaan Kiki, begitu saja terbang melarikan diri. Rupanya burung kakatua itu sangat ketakutan. Atau mungkin juga ia tadi kena benturan piring yang terpelanting dari atas meja makan. Beberapa menit kemudian Meier dan Erlick memasuki ruangan. Merekalah sebenarnya yang berkuasa di situ, dengan menampilkan ’raja` yang sudah uzur sebagai boneka mereka. Tampang Meier masam sekali. la menatap anak-anak satu per satu dengan matanya yang tajam. "Ah — jadi kalian ini berempat! Kalian bertiga pasti masuk kemari untuk mencari anak laki-laki ini. Kalian membebaskannya dari gua tempat dia terkurung. Kalian menyangka akan bisa minggat dari sini. Kalian beranggapan bahwa itu pasti gampang, sangat gampang. Dan bagaimana kenyataannya?" Ia melontarkan pertanyaan itu sambil tersenyum masam. Anak-anak tetap membisu. "Bagaimana kalian bisa mengetahui cara menurunkan tangga tali itu?" Meier mengajukan pertanyaan itu dengan begitu tiba—tiba, sehingga anak—anak kaget sekali. "Siapa yang mengatakan caranya?" Anak-anak tetap membungkam. Mata Meier menyempit. Dinah dan Lucy-Ann merasa geram melihat tampang orang itu. "Aku ini bertanya," tukas Meier. Ia menatap Jack. "He, kau — ayo jawab!" "Aku memakai otakku," jawab Jack singkat. "Kecuali kalian, ada Iagi yang mengetahui jalan masuk itu?" tiba-tiba Erlick ikut Berbicara. Anak—anak memandangnya. Mereka tidak suka melihat tampangnya. Hii — seperti gorila, pikir mereka. Meier saja sudah menakutkan — apalagi Erlick. Tampangnya sepuluh kali lipat lebih jahat! "Entah," kata Philip. la sudah jengkel sekali, karena cara kedua laki-laki itu berbicara pada mereka. "Kalau ada orang lain yang tahu — lalu kenapa? Apakah yang kalian lakukan di sini itu begitu memalukan, sehingga kalian merasa perlu menyembunyikan jalan masuk kemari?" Erlick maju selangkah. Ditempelengnya Philip _ keras-keras. Lucy-Ann berhenti menangis. Ia semakin ketakutan. Philip menatap laki-laki itu dengan sikap menantang. Ditahannya rasa sakit karena ditempeleng itu. "Jangan, Erlick," kata Meier. "Ada cara lain untuk membuat anak seperti dia mau tunduk tanpa menempelengnya. Tapi sekarang akan kita kerahkan anjing-anjing kita, mencari jejak di luar. Jika ada kawan anak-anak ini di dekat-dekat sini, mereka pasti akan ditemukan anjing-anjing kita, lalu digiring masuk kemari." Anak-anak merasa gelisah. Jangan-jangan kawanan anjing herder itu nanti menyergap Bill dan Pak David — kalau mereka sudah ada di situ! Kalau itu sampai terjadi, gawat! Saat itu terdengar suara batuk di Iuar ruangan. Meier dan Erlick kaget mendengarnya. Dengan cepat Meier pergi ke ambang ruangan, lalu memandang ke sana dan kemari. Tapi di luar tidak ada siapa-siapa. "Masih ada lagi teman kalian?" tanya Meier. "Laki-laki atau perempuan?" "Dua—duanya bukan," kata Jack. Ia mengenali bunyi batuk tadi. Itu Kiki! Mudah-mudahan saja burung iseng itu tidak ikut-ikut campur. Kedua laki-laki itu pasti tidak akan segan-segan memuntir lehernya! "Puh! Hah!" terdengar lagi suara Kiki, yang setelah itu terkekeh-kekeh. Kedua laki-laki itu kelihatan merasa seram mendengarnya. Mereka pergi ke ambang ruangan lalu memandang ke sana dan kemari. Tapi mereka tidak melihat Kiki, yang bertengger dengan- aman pada batu yang mencuat di atas ambang. "Panggilkan dokter," kata Kiki dengan suara seperti orang yang sudah hampir mati. Meier dan Erlick merinding. _ "Astaga! Siapa itu?" kata Erlick bingung. Ditatapnya anak-anak dengan sikap mengancam. "Jika itu teman kalian yang hendak iseng — awas! Dia akan kukuliti hidup-hidup!" "Kami cuma berempat saja," kata Jack. "Dan semua ada di sini," kata Philip dengan seenaknya. la tahu, cara berbicara demikian terhadap kedua laki-laki itu bisa menimbulkan bahaya bagi dirinya. Tapi ia tak peduli. Philip sama seperti Dinah -— keduanya kalau sudah marah, tidak memakai perhitungan lagi. "Begitu ya! Kalau begitu kalian semua harus tetap tinggal di sini!" kata Meier. "Nanti"kau pasti akan bisa kupaksa agar mau patuh. Mungkin selama ini kau bisa seenaknya saja bersikap kurang ajar — tapi dengan aku, itu tidak bisa! Sekarang jalan di depan kami. Jangan berhenti!" Keempat remaja itu dipaksa berjalan meninggalkan gua itu, di depan Meier dan Erlick. Mereka disuruh mendaki tangga yang berputar-putar ke atas, melewati rongga-rongga tempat penyimpanan perbekalan, terus saja sampai di depan pintu gua tempat Philip dikurung sebelum itu. "He, kau!" bentak Meier. la menujukannya pada Philip. "Ayo, masuk lagi ke situ! Kau pasti tidak berani kurang ajar lagi, apabila sudah mengalami kekurangan makan selama beberapa hari. Yang lainnya naik terus ke atas!" Kasihan Philip — ia dikurung lagi dalam gua yang sisi luarnya terbuka. Tapi tidak ada lagi orang berkulit hitam menemaninya di situ. Philip duduk. Kini ia agak menyesal, kenapa tadi bersikap kurang ajar terhadap kedua laki-laki yang berwajah galak itu. Tapi saat berikut ia malah merasa puas. Ia tidak sudi tunduk pada orang-orang jahat seperti mereka. Walau sayang, kini ia dipisahkan dari anak-anak yang Iain. Tinggal Jack sendiri yang masih bisa melindungi Dinah dan Lucy-Ann. Ketiga remaja itu dipaksa naik terus ke atas. Akhirnya mereka sampai di jenjang yang lebar, yang dipahat pada batu. Anak-anak terus naik, sampai ke puncak gunung. Mereka tertegun di situ, kagum melihat pemandangan menakjubkan yang nampak di sekeliling. Mereka merasa seperti berada di atap dunia! Sesaat mereka melupakan kesulitan yang dihadapi. Mereka memandang berkeliling dengan kagum. Di mana-mana nampak puncak gunung yang menjulang tinggi. Sedang jauh di bawah terhampar lembah—lembah gelap. Nikmat rasanya berada di atas, di tempat yang terang dan berangin sejuk, setelah begitu lama terkurung di dalam perut gunung yang gelap. Puncak gunung itu datar sekali. Pada tiga sisinya ada batu menjulang terjal ke atas, seperti gerigi. Jack langsung mengenali tempat itu. Mereka ternyata berada di` atas Gunung Taring yang pernah terlihat sewaktu mereka berangkat mencari Lembah Kupu-kupu. la memandang berkeliling. Puncak gunung itu gundul, sama sekali tidak ada tumbuh-tumbuhan di situ. Dataran itu terdiri dari batu semata-mata, berukuran sebesar pekarangan yang luas. Di satu sisi nampak para penerjun payung sedang bermain kartu di tempat teduh. Orang-orang itu memandang anak-anak dengan sikap heran. Sam, orang yang berkulit hitam, ada di tengah kelompok penerjun payung. la menuding ke arah Jack, sambil mengatakan sesuatu pada rekan-rekannya. Jack merasa lega, karena tahu bahwa Philip tidak banyak bercerita pada orang itu tentang dirinya serta anak-anak yang lain. Ia tidak menginginkan Meier tahu Iebih banyak lagi tentang mereka. Di sisi dataran yang letaknya berseberangan dengan tempat para penerjun payung duduk-duduk ada tenda. Meier mendorong ketiga remaja itu, disuruhnya berjalan ke situ. "Kalian harus di sini terus," tukasnya. "Tidak boleh berbicara dengan orang-orang itu! Awas, kalau berani ke sana! Kalian sekarang kami tawan. Kalian kemari tanpa diundang — dan sekarang kami tahan di sini selama kami anggap perlu." "Tidak bisakah Philip menyertai kami?" pinta Lucy-Ann. "Ia pasti kesepian, kalau dipisahkan sendiri!" "Philip itu anak yang tadi, ya? Tidak bisa — ia perlu dihukum sebentar," kata Meier. "Biar dia agak menderita kelaparan dulu. Aku ingin tahu, apakah sesudah itu ia bisa berbicara secara sopan." Setelah itu Erlick dan Meier masuk kembali ke dalam gunung. Jack, Dinah, dan Lucy-Ann duduk di bawah tenda. Perasaan mereka murung, karena tahu bahwa keadaan mereka saat itu sama sekali tidak enak. Mereka juga sedih, memikirkan Philip yang dipisahkan. Para penerjun rupanya juga sudah diperingatkan agar jangan mendekati anak—anak yang baru datang itu. Tidak seorang pun dari mereka yang berani menyapa. Nampak jelas bahwa orang-orang itu biasa mematuhi perintah Meier dan Erlick. Di dekat tempat anak-anak duduk ada semacam sandaran alam, berupa dinding batu yang agak tinggi, membatasi pinggiran dataran puncak. Jack pergi ke situ, lalu duduk di atasnya. la memandang berkeliling dengan teropong. Siapa tahu, mungkin ia bisa melihat Bill! Tapi sekaligus ia juga khawatir, kalau Bill memang ada di dekat situ, nanti anjing-anjing herder akan disuruh mengejarnya. Mana anjing-anjing itu, tanya Jack dalam hati. Kemudian sikap duduknya berubah. Diarahkan- nya teropong pada bintik kecil yang nampak bergerak di lereng gunung. Mungkinkah itu Bill dan Pak David, yang datang dengan menunggang keledai? Ternyata bukan Bill, melainkan kawanan anjing harder! Rupanya mereka itu sudah dilepaskan, dan saat itu berkeliaran di luar! Jika Bill ada di sekitar situ, mereka pasti akan berhasil mencium jejaknya. Gawat! Kalau itu terjadi, tentu Bill akan ikut tertawan. Jack mencari-cari akal untuk mencegah kemungkinan itu. Tapi sia-sia saja. Kemudian ia teringat pada si Belang. Untung saja keledai itu diikat dengan tali yang cukup panjang, sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan kelaparan atau kehausan. Tapi si Belang pasti bingung, kenapa anak-anak tidak muncul-muncul! Tiba-tiba Jack kaget, karena ada yang menyentuh tangannya. Ia menoleh ke bawah. Ah, si Putih! Anak kambing itu ternyata berhasil menemukan mereka, dan kini menyundul-nyundul tangan Jack dengan sikap takut-takut. "Halo, Putih! Kau mencari Philip?" kata Jack sambil mengusap-usap hidung anak kambing itu. "la sudah terkurung lagi di dalam gua itu. Kau tidak bisa mendatanginya." Si Putih sudah mengetahuinya, karena sebelumnya ia sudah berdiri sambil mengembik-ngembik di depan pintu tempat Philip terkurung. Tampangnya begitu memelas, sehingga Jack membawanya ke bawah tenda, di mana ketiga anak itu kemudian membujuk-bujuknya. "Apa yang terjadi dengan Kiki?" tanya Lucy-Ann beberapa saat kemudian. “Ah, nanti kan muncul juga," kata Jack. "Kiki bisa menjaga dirinya sendiri. Serahkan saja itu padanya! Mungkin saat ini ia sedang mempermainkan kedua laki-laki tadi— batuk-batuk, bersin, terkekeh-kekeh, dan menirukan bunyi kereta api cepat dalam terowongan!" Dugaan Jack itu tepat. Kiki mempermainkan Meier dan Erlick. Keduanya benar-benar bingung dibuatnya, karena tidak tahu bahwa keempat remaja itu datang bersama seekor burung kakaktua. Ada suara tanpa orang — aneh! Lama juga keadaan di atas tetap tenang. Tapi saat matahari terbenam, terdengar bunyi gonggongan ribut. Dua orang Jepang menggiring kawanan anjing herder ke puncak gunung. Anak-anak memandang dengan cemas. Mereka khawatir, jangan-jangan Bill tertangkap. Ternyata tidak — kawanan anjing itu muncul tanpa membawa tawanan. Anak-anak menarik napas lega. Anjing-anjing herder itu dimasukkan ke dalam kandang besar yang terbuka dan berpagar kawat, agak jauh dari tempat anak-anak. "Hati-hati terhadap mereka," kata salah seorang Jepang itu pada anak-anak. "Mereka galak-galak. Jadi hati-hati saja!" Bab 22 HELIKOPTER TAPI ketiga remaja itu sama sekali tidak takut pada anjing-anjing itu. Bukankah mereka sudah pernah tidur bersama-sama di luar gua, beberapa malam yang lalu? Tapi tentu mereka tidak mengatakannya pada orang Jepang itu. Mereka menunggu sampai keduanya sudah pergi, lalu mendatangi anjing yang besar-besar itu. Tapi saat itu Philip tidak ada bersama mereka. Dan sikap anjing-anjing itu_ terhadap Jack dan kedua anak perempuan yang menyertainya berlainan dengan terhadap Philip. Mereka menggeram ketika Jack datang menghampiri. Seekor di antaranya menyeringai, menampakkan taring yang panjang dan runcing. Dinah dan Lucy-Ann cepat-cepat mundur. "Aduh — galak sekali mereka! Rupanya sudah lupa pada kita. Hati-hati, Jack!" Jack tidak merasa takut. Tapi walau begitu ia berhati-hati, ketika melihat kawanan herder itu tidak menampakkan sikap ramah. Anjing-anjing besar yang galak-galak itu rupanya kecewa karena tidak berhasil dalam perburuan hari itu. Mereka juga lapar, serta merasa curiga terhadap Jack. Coba kalau Philip yang saat itu datang menghampiri, pasti tingkah laku mereka akan lain sama sekali!” "Jauhi mereka, Jack,” kata Lucy-Ann, ketika mendengar geraman anjing-anjing itu. "Seram sekali suara mereka — rasanya seperti suara serigala!" Anak-anak lantas kembali ke tempat mereka. "Satu sudut untuk anjing-anjing, satu sudut untuk kita, dan satu lagi untuk orang-orang itu," kata Jack. "Aku ingin tahu, berapa lama lagi kita akan ditahan di sini!" Hari itu tidak ada yang datang mengantarkan makanan untuk mereka. Untung saja sebelum itu mereka sudah makan besar di ruang pribadi raja! Jack bertanya-tanya dalam hati, apakah mereka nanti harus tidur di atas batu. Jahat sekali orang-orang itu, jika mereka ditahan di situ tanpa diberi selimut dan makanan! Tapi ketika hari sudah mulai gelap, tiga orang Jepang muncul. Mereka membawa beberapa lembar selimut, yang dicampakkan ke depan anak-anak. Seorang dari mereka membawa air dalam kendi, serta beberapa buah mangkuk. "Mana makanan untuk kami?" tanya Jack. "Tidak bawa," kata salah seorang Jepang itu dalam bahasa Inggris terpatah-patah. "Kata Tuan, jangan beri makan." "Tuanmu tidak baik," kata Jack. "Tuanmu jahat sekali!" Orang Jepang itu tidak menjawab. Ia pergi lagi bersama kedua rekannya,dengan langkah menyelinap seperti kucing. Anak-anak meringkuk di bawah selimut sambil memikir- kan nasib Philip yang terkurung dalam gua. Suasana alam keesokan paginya sangat indah ketika matahari terbit dan menerangi puncak-puncak gunung satu demi satu. Anak-anakanak asyik memandang sambil duduk di atas dinding batu yang rendah. Mereka sudah lapar sekali saat itu. Si Putih ada bersama mereka. Tapi Kiki belum muncul-muncul juga. Jack mulai khawatir memikirkannya. Si Putih melompat naik ke atas dinding batu, di sisi Jack. Tidak ada yang bisa melarikan diri lewat sisi luar dinding itu karena tebingnya curam sekali. Agak jauh di bawahnya ada semacam langkan sempit yang menjorok ke luar. Orang yang nekat melarikan diri lewat situ pasti akan terpeleset lalu jatuh tergelincir terus sampai ke bawah, Tubuhnya pasti remuk! Si Putih berdiri di atas dinding dengan telinga ditegakkan, seperti sedang mendengarkan sesuatu. Kemudian dengan tiba-tiba ia mengembik. Dari salah satu tempat terdengar suara orang menjawab. Tapi samar sekali, hampir-hampir tak terdengar! Jack kaget. Suara Philip-kah itu tadi? Di mana letak gua tempat ia dikurung? Barangkali tidak jauh dari dataran puncak! Dinah dan Lucy-Ann bergegas menggabungkan diri, karena melihat sikap Jack yang tiba-tiba berubah. Saat itu mereka terkejut karena kelakuan si Putih. Anak kambing itu meloncat ke bawah, ke sisi tebing yang curam! "Aduh — mati dia nanti!" teriak Lucy-Ann ketakutan. Ia tidak berani melihat apa yang terjadi. Tapi Jack dan Dinah menjenguk ke bawah, dengan perasaan ngeri. Ternyata si Putih melompat ke langkan sempit yang mencuat ke luar, di bawah dinding yang rendah! la mendarat di situ dengan keempat kaki merapat. Batu yang menonjol itu sempit sekali, sehingga hanya dengan cara begitu saja anak kambing itu bisa mendarat di sana. Sesaat lamanya si Putih berdiri di situ sambil mengimbangkan tubuh. Ketika kelihatannya hampir jatuh, anak kambing itu meloncat lagi — ke tonjolan sempit Iainnya di sebelah bawah, merosot di atas permukaan tebing yang kasar — lalu lenyap dari penglihatan. "Astaga! Nekat sekali dia!" kata Dinah sambil menarik napas dalam-dalam. "Jantungku sampai nyaris terhenti tadi!" "Bagaimana si Putih —— dia tidak apa-apa?" tanya Lucy-Ann, yang masih tetap belum berani melihat. "Kelihatannya begitu. Ia tidak kelihatan lagi! Kurasa mungkin ia sudah menemukan gua tempat Philip ditawan,“ kata Jack. "Moga-moga saja ia tidak mencoba naik lagi nanti lewat jalan ini — karena pasti terjatuh ke bawah, sehingga lehernya patah?" Tapi setengah jam kemudian anak kambing itu ternyata berhasil kembali lewat jalan yang sama, dengan gerakan lincah seperti bajing. Di lehernya ada sepucuk surat yang diikatkan dengan tali. Dengan cepat Jack mengambil surat itu lalu membukanya. Ia membacakan isinya pada Dinah dan Lucy-Ann. "Bagaimana keadaan kalian?/\ku baik—baik saja, cuma aku tidak mendapat makan. Hanya air minum saja. Kurasa orang-orang jahat itu hendak memaksa aku tunduk karena kelaparan! Bisakah kalian mengirim si Putih kemari dengan apa saja yang bisa kumakan, jika kalian diberi makanan? salam, Philip." Saat itu datang seorang Jepang membawakan makanan untuk ketiga remaja itu. Semuanya makanan kalengan. Tapi banyak juga yang diberikan. termasuk sebatang roti segar. Menurut perkiraan Dinah, orang-orang Jepang itu mungkin punya oven di salah satu tempat dalam gunung, untuk membuat roti. Anak-anak menunggu sampai orang Jepang itu sudah pergi lagi. Kemudian mereka berunding, bagaimana sebaiknya cara mengirimkan makanan pada Philip. Kemudian Jack membuat beberapa rangkap roti sandwich, lalu membungkusnya baik-baik dengan kertas bekas pembungkus roti ketika diantar ke atas. la menyelipkan surat di antara roti—roti itu untuk memberi tahu Philip bahwa si Putih akan dikirim mengantarkan makanan setiap kali ada kesempatan baik. Kemudian bungkusan berisi roti itu diikatkan ke punggung anak kambing itu. Si Putih mencoba mengambil bungkusan itu, karena mencium bau makanan yang ada di dalamnya. Tapi tidak bisa. "Sekarang kau turun ke tempat Philip Iagi." kata Jack. la menepuk-nepuk sisi atas dinding rendah, untuk menunjukkan pada anak kambing itu bahwa ia harus naik ke situ. Begitu sudah naik, si Putih langsung teringat lagi pada Philip, lalu cepat-cepat meloncat turun, berpindah-pindah dari tonjolan batu yang satu ke tonjolan berikutnya. Anak-anak yang ada di puncak gunung merasa lega, karena tahu bahwa Philip kini takkan kelaparan lagi. Kemudian mereka mulai makan. Sambil mengunyah, Jack mengamat-amati daerah pegunungan yang terhampar di bawah dengan teropongnya. Ingin sekali diketahuinya, apakah Bill akan datang hari itu. Ia pasti akan muncul dengan segera! Waktu terasa seperti merayap hari itu. Para penerjun dijemput orang-orang Jepang dan dibawa masuk ke dalam gunung. Kawanan anjing herder pun dibawa pergi. Jack merasa yakin bahwa mereka nampak berkeliaran kembali di lereng gunung, beberapa saat setelah itu. Mereka mengirim si Putih ke tempat Philip dengan membawa makanan. setiap kali ada makanan diantar ke atas untuk mereka. Agak enak juga rasanya bisa saling berkirim surat yang bernada riang — walau saat itu tak ada yang benar-benar berperasaan begitu. Kiki masih belum muncul, dan sementara itu anak-anak sudah cemas sekali memikirkan nasib burung kakaktua itu. Sampai saat senja, para penerjun payung belum kembali. Anak-anak merasa heran, karena tidak mengetahui sebabnya. Tapi kawanan anjing herder digiring naik ke atas lagi. Anak-anak kini tidak mau lagi datang ke kandang mereka. Anjing-anjing besar itu ribut berkelahi memperebutkan daging. Mereka kedengarannya galak dan buas. Malam itu langit berawan. Hawa terasa panas. Anak-anak menyeret selimut mereka dari bawah tenda, lalu dihamparkan di tempat yang dilewati angin. Mereka berbaring beralaskan selimut Tidak lama kemudian Dinah dan Lucy-Ann sudah tertidur. Tapi Jack belum bisa, karena sibuk memikirkan Kiki, Philip, serta kedua anak perempuan itu. Beberapa saat kemudian ia terduduk, karena mendengar bunyi samar di kejauhan. Jack langsung mengenal bunyi itu. Helikopter! Tidak mungkin keliru lagi. Apakah pesawat itu menuju ke puncak gunung? Jack membangunkan kedua anak perempuan. "Dinah! Lucy-Ann! Ada helikopter datang. Bangun — kita akan mengamat-amatinya. Cepat, kita kembali ke bawah tenda, jangan sampai pesawat itu mendarat terlalu dekat ke kita!" Mereka menyeret selimut ke bawah tenda kembali. Setelah itu mereka duduk di atas dinding batu sambil memasang telinga. Mereka ingin tahu, apakah Philip juga mendengar bunyi helikopter yang datang. Ternyata memang begitu! Philip berbaring menelungkup di dekat ambang gua. la mendengarkan sambil berusaha melihat. Tidak banyak yang nampak, karena di luar terlalu gelap. Mudah-mudahan saja ia bisa ikut melihat apa yang terjadi kemudian, katanya pada diri sendiri. Bunyi pesawat itu semakin mendekat dan akhirnya berisik sekali. "Lihat — itu dia," kata Jack. Ia tidak bisa tenang lagi. "Kalian lihat tidak — sekarang terbang memutar, agak di atas kepala kita. Tidak adakah yang menyalakan senter, untuk menunjukkan tempat mendarat pada penerbangnya?" Saat ia berbicara, dua orang Jepang muncul bergegas-gegas di pelataran, lalu lari ke tengah. Di situ mereka melakukan sesuatu yang tidak bisa dilihat anak-anak. Dengan segera ada sinar terang memancar ke atas, menerangi badan helikopter yang sudah berada di atas kepala. "Itu dia — sekarang akan turun!" seru Jack. “Lihatlah geraknya turun, pelan sekali — hampir- hampir tegak lurus! Helikopter memang pesawat yang cocok untuk didaratkan di puncak gunung!" Putaran baling-baling pesawat itu melambat ketika roda-rodanya sudah mencecah pelataran, dan akhirnya berhenti berputar. Terdengar suara beberapa orang sahut-menyahut. "Besar sekali," kata Jack. "Belum pernah kulihat helikopter sebesar itu. Pasti banyak sekali muatan yang bisa diangkut dengannya." Anak-anak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi kemudian, karena sinar yang terang disorotkan ke arah pesawat itu. Peti-peti serta kotak-kotak dilemparkan dari tempat muatan ke pelataran. Beberapa orang Jepang sibuk bekerja, menyeret-nyeret muatan itu. Beberapa peti dibuka, lalu isinya diangkut lewat tangga batu ke tempat penyimpanan perbekalan. Penerbang pesawat helikopter itu seorang laki-laki yang masih muda, dengan goresan bekas luka di pipi kanan. Ia ditemani seseorang berkulit cokelat, yang jalannya sangat pincang. Dengan ketus mereka berbicara sebentar dengan para pekerja yang berbangsa Jepang. Setelah itu mereka masuk ke dalam gunung. "Pasti pergi melapor pada Meier dan Erlick," kata Jack menduga. "Yuk — kita dekati helikopter itu Coba aku bisa menerbangkannya, kita bisa minggat dari sini dengannya!" "Lalu melayang di depan gua Philip, untuk menjemputnya!" kata Dinah. Ketiga remaja itu menghampiri pesawat helikopter. Jack menyusup masuk, lalu duduk di kursi penerbang. Kepingin sekali rasanya bisa menerbangkannya! Saat itu beberapa orang keluar dari dalam gunung. Meier, Erlick, penerbang serta temannya yang pincang, dan seorang penerjun payung. Jack hendak cepat-cepat keluar, sebelum ketahuan. Tapi terlambati Meier sudah melihatnya. Jack diseret ke luar dengan kasar, sampai terpelanting ke pelataran. "Apa yang sedang kaulakukan di sini? Jangan kaudekati pesawat ini!" teriak Meier dengan berang. Jack lari ke tempat Dinah dan Lucy-Ann, sambil mengusap-usap bahu. "Kau cedera, Jack?" tanya Lucy-Ann cemas. Jack membalas sambil berbisik bahwa ia tidak apa-apa. Kemudian ia mengatakan sesuatu, yang rnenyebabkan kedua anak perempuan itu memandang dengan cepat ke arah orang-orang yang berdiri mengelompok di tengah pelataran. Mereka merasa ngeri! "Kurasa penerjun payung itu yang kini akan disuruh mencoba sayap terbang," kata Jack berbisik. "Mereka membawanya kemari karena hendak memperlihatkan helikopter itu, serta menunjukkan dari mana ia harus meloncat nanti." Dinah dan Lucy-Ann merasa seram, membayangkan harus terjun dari pesawat yang sedang membubung tinggi di udara — dan mengandalkan keselamatan diri pada sayap aneh ciptaan orang tua yang dikatakan raja. Sudah berapa saja yang mengalami kegagalan, pikir mereka. Takkan ada yang bisa mengetahui apakah sayap itu benar- benar bisa diandalkan, selama belum dicoba pemakaiannya. Penerjun payung itu meneliti pesawat helikopter dengan seksama. Ia berbicara dengan penerbangnya, yang menjawab dengan kata-kata singkat. Menurut perasaan Jack, penerbang itu kelihatannya tidak begitu bergairah mengenai soal terjun payung. Mungkin ia lebih suka jika tugasnya hanya terbatas pada pengangkutan perbekalan ke gunung saja. "Kalian berangkat besok malam," terdengar suara Meier yang tajam. "Sekarang makan saja dulu." Dua orang Jepang ditugaskan menjaga helikopter, supaya anak-anak tidak bisa mendekatinya. Sedang orang-orang yang lain masuk Iagi ke dalam gunung. Besok malam, pikir Jack. Apakah yang akan terjadi saat itu? Bab 23 SAYAP AJAIB ANAK-ANAK kembali ke bawah tenda. Mereka tidak berani mendekati helikopter lagi, karena tahu bahwa kedua orang Jepang itu pasti akan bertindak keras. Tidak lama kemudian si Putih muncul dari balik dinding rendah yang membatasi tepi pelataran. Ia lari mendatangi helikopter. Ia ingin tahu, benda apa yang besar itu. Tapi salah seorang penjaga di situ memukulnya. "Jahat sekali orang itu — sampai hati memukul si Putih yang begitu kecil!" kata Jack. "Sini, Putih! Kau harus berhati-hati — nanti kau dijadikan sup oleh kedua orang itu!" "Aduh, Jack — jangan suka berbicara begitu," kata Lucy-Ann yang halus sekali perasaannya. "Benar-benarkah mereka tega berbuat begitu? Masa ada yang sampai hati menyakiti si Putih?" Si Putih cepat-cepat lari menggabungkan diri dengan anak-anak, lalu meloncat-loncat dengan gerakan lincah, naik-turun dinding rendah. Sorotan lampu menerangi helikopter. Tapi pelataran selebihnya terbenam dalam kegelapan. Kawanan anjing herder melolong-lolong di kandang mereka. Anjing-anjing itu gelisah, karena terganggu bunyi helikopter tadi. Kedua penjaga yang berbangsa Jepang menyerukan sesuatu dengan nada mengancam, tapi anjing-anjing itu tidak mengacuhkan mereka. "Aku sama sekali tidak suka pada petualangan kita ini," kata Lucy-Ann dengan tiba-tiba. "Bukan cuma tidak suka, tapi bahkan benci! Aku ingin pergi dari sini. Aku ingin kembali ke tempat pertanian, berkumpul lagi dengan Bill, Bibi Allie, Pak Effans dan Bu Evans. Kenapa sih, kita harus mengalami petualangan lagi? Padahal rencana kita kan berlibur dengan tenang, menikmati suasana musim panas!" "Kita kan tidak mencarinya, tapi tahu-tahu saja terjadi," kata Jack. "Kurasa ada sesuatu pada diri kita yang menarik petualangan — seperti Philip yang selalu menarik perhatian binatang! Ada orang yang bernasib mujur, ada yang menarik datangnya harta, ada yang menarik binatang. dan ada pula yang menarik petualangan." "Aku lebih suka menarik hal-hal yang tidak berbahaya — seperti anjing, atau kucing," keluh Lucy-Ann. "Aduh, si Putih ini seenaknya saja menginjak-nginjak orang!" Akhirnya anak-anak itu tertidur. Paginya, ketika mereka menyuruh si Putih turun untuk mengantar- kan makanan pada Philip, mereka menyertakan pula sepucuk surat yang isinya tentang pengalam— an mereka malam itu. Tidak lama kemudian si Putih kembali, membawa balasan dari Philip. “Aku kasihan pada penerjun payung itu! Aku ingin tahu, sudah berapa saja yang dikorbankan selama ini dalam percobaan yang gila-gilaan itu. Untung bukan aku yang ditunjuk untuk melakukan tugas segila itu! Tabahkan hati kalian! Aku di sini baik-baik saja. Si Putih hampir selalu ada di sini, menemani aku. Sedang Sally Geliat sudah jinak sekali sekarang. la mau kusuapi. Tidurnya di atas batu di tepi luar guaku ini. Bilang pada si Putih ia harus hati-hati sedikit kalau kemari. Jangan berjingkrak-jingkrak seenaknya, nanti Sally terinjak. Nah, sampai bertemu lagi! Philip." Waktu kembali terasa seperti merayap hari itu. Anjing-anjing tidak disuruh berkeliaran lagi di luar gunung. Mereka diajak lari berkeliling pelataran, digiring oleh beberapa orang Jepang. "Dengan begini tidak ada bahaya mengancam, jika Bill datang hari ini," kata Jack lega. "Jadi mudah-mudahan saja ia muncul sekarang — walau sebenarnya tidak banyak yang bisa diperbuatnya di sini. la tidak tahu letak jalan masuk ke dalam gunung! Kalau ia berhasil menemukannya, ia tidak tahu bagaimana cara menurunkan tangga tali. Sedang jalan lain tidak ada!" Wajah Lucy-Ann nampak suram. "Kalau begitu. kita harus tetap di sini seumur hidup?" katanya cemas. Jack dan Dinah tertawa. "Wah, tentu saja tidak!"jawab Jack. "Bill pasti akan melakukan sesuatu untuk menyelamatkan kita — tapi jangan tanya apa!" Hari itu pun para penerjun payung masih belum muncul Iagi di atas, termasuk yang ditugaskan mencoba sayap terbang malam itu. Helikopter masih tetap ada di tengah pelataran. Baling-balingnya kemilau memantulkan sinar matahari. Kemudian malam tiba. Anak-anak mulai gelisah. Makanan sudah diantarkan, tapi 0rang Jepang yang membawa ke atas diam saja. Sepatah kata pun tidak keluar dari mulutnya. Apakah yang sedang dikerjakan para penerjun payung di dalam gunung? Barangkali sibuk berupacara, sehubungan dengan tugas percobaan yang akan dilakukan salah seorang rekan mereka! Dan mana Kiki? Jack sudah sedih sekali memikirkan kakaktuanya itu. Berbagai bayangan yang tidak-tidak timbul dalam pikirannya. Belum pernah Kiki menghilang selama itu. Lampu yang terang dinyalakan lagi, menyinari helikopter. Meier muncul di atas bersama Erlick, beberapa orang Jepang, penerjun yang akan melakukan percobaan, serta penerbang helikopter dengan temannya yang pincang. Setelah itu ada lagi yang muncul dari dalam gunung — sang raja! Tubuhnya diselubungi jubahnya yang gemerlapan, sedang di atas kepalanya terpasang mahkota. Penampilannya saat itu berbeda sekali dengan ketika ia muncul beberapa hari yang lalu. Saat itu ia nampak berupa seorang tua yang malang. Kini ia melangkah dengan sikap anggun, menuju ke tengah pelataran. la diiringi empat orang Jepang yang membawa sebuah peti. Peti itu mereka letakkan di hadapan raja. Tanpa mengatakan apa-apa. raja membungkuk lalu membuka peti. Dari dalam peti itu dikeluarkannya sepasang sayap yang berkilau-kilauan seperti emas. Bentuknya sayap burung yang terbentang — tapi lebih besar dan lebar. Napas Lucy-Ann tersentak karena kagum. "Wah — lihatlah, Dinah! Indahnya sayap itu. Persis sayap asli!" Sementara itu raja berbicara pada penerjun payung yang kelihatan tercengang. "Kalau kau terjun nanti, sayap ini akan membuatmu tidak akan jatuh. Begitu kau melompat, cepat-cepat tekan tombol ini. Seketika itu juga kau takkan merasakan tarikan bumi lagi Tubuhmu akan terasa ringan, seringan udara. Kau akan bisa menggunakan sayap ini untuk menentukan arah gerakmu. Kau bisa melayang, membubung tinggi — sesukamu!" "Asyik, ya?" bisik Lucy-Ann. Dengan penuh minat disimaknya kata-kata orang tua itu. "Sayap ini harus kaupasang ke lenganmu," sambung raja. "Sekarang bentangkan lengan — akan kupasangkan kedua sayap ini." "Eh — cuma ini saja yang akan menahan tubuhku sehingga tidak bisa jatuh?" tanya penerjun payung itu dengan nada sangsi. • "Memang hanya ini yang kauperlukan," kata raja. "Dalam sayap ini tersimpan sinar yang kuat sekali. Begitu tombol kautekan, seketika itu juga sinar akan memancar ke arah bumi, sehingga kau tidak bisa jatuh. Tapi jika kau ingin turun ke bumi, tekan Iagi tombol — dan kau akan melayang dengan landai ke bawah, karena daya tarik bumi berpengaruh Iagi terhadap dirimu." "Tapi nanti dulu — kusangka aku harus mencoba payung model baru." kata penerjun payung itu. "Tak kukira barang itu omong kosong seperti ini!" "Ini bukan omong kosong, tahu!" tukas Meier mencampuri pembicaraan. "Ini ciptaan gemilang sarjana terbesar di dunia. Kalau kau nanti turun ke bumi setelah terbang satu-dua mil, aku akan segera datang bersama Erlick, dengan bantuan anjing-anjing pelacak itu. Setelah itu kau akan mendapat ganjaran yang berlimpah ruah. Kau akan menjadi orang terpandang — karena merupakan salah seorang perintis penerbangan gaya baru!" "Nanti dulu — aku ini kan berat," kata penerjun payung itu Iagi. "Ya, kan? Sayap setipis itu takkan mampu mengangkat tubuhku — tak peduli ada sinar atau tidak! Aku tak mengerti tentang tarikan bumi terhadap aku. Aku cuma tahu bahwa aku pasti jatuh terbanting. begitu aku meloncat hanya dengan benda itu di lenganku Yang betul saja dong!" "Pegang dia!" seru Meier tiba-tiba dengan marah. Seketika itu juga kedua lengan penerjun payung itu dipegang kuat-kuat oleh Erlick serta seorang Jepang. Anak-anak memandang dengan napas tertahan, sementara raja memasangkan sayap ke lengan orang itu. Orang itu berteriak sambil meronta-ronta. Tapi ia tidak bisa melepaskan diri, karena Erlick yang potongan badannya seperti gorila terlalu kuat. "Masukkan dia ke helikopter, lalu segera berangkat," kata Meier memberi komando. "Kau juga ikut. Erlick. Nanti pada saat yang tepat, dorong dia ke luar. Jika ia ingin selamat, pasti tombol itu akan ditekannya. Setelah itu ia akan melihat sendiri bahwa ia bisa terbang!" Tapi penerbang helikopter berpendapat lain. Suaranya terdengar jelas, bernada tidak enak. "Kurasa orang ini terlalu berat," katanya. "Sama seperti yang waktu itu. Menurutku lebih baik kau pertimbangkan lagi keputusan ini, Boss! Lebih baik bikin dulu sayap yang ukurannya dua kali Iebih besar daripada yang ini. Aku mau saja ikut dalam percobaan yang ada kemungkinannya berhasil. Tapi orang bertubuh besar mencoba sayap itu — kurasa kecil sekali harapannya akan bisa selamat!" "Maksudmu, kau menolak membawa orang ini?" tukas Meier. Mukanya pucat karena marah. "Tepat," kata penerbang helikopter. ia juga mulai marah. Goresan di pipi kini nampak jelas. "Suruh saja seseorang bertubuh kecil mencobanya! Waktu terakhir itu percobaan sebenarnya sudah berhasil sebentar — tapi kemudian kekuatannya habis. Para penerjun payung ini semuanya bertubuh kekar — setidak-tidaknya mereka yang harus melakukan percobaan dengan aku — dan kukatakan saja terus terang, aku tidak mau mengangkut orang yang tidak mau. Mengerti?" Meier bergerak maju, seakan-akan hendak memukul penerbang itu. Erlick menahannya. "Ya, begitu lebih baik," kata penerbang itu. Ia sama sekali tidak kelihatan gentar. "Jangan coba macam-macam terhadapku, Boss. Aku terlalu banyak mengetahui rahasia kalian — dan ada orang-orang lain yang juga terlalu banyak tahu,jika aku tidak kembali pada waktunya!" Setelah itu ia masuk ke helikopter, diikuti oleh temannya yang selama itu membisu terus. Mesin pesawat itu dihidupkan, sementara penerjun payung yang tidak jadi ikut hanya bisa memandang saja dengan sikap bingung. Penerbang tadi menjulurkan kepalanya ke luar, lalu berbicara pada Meier, yang kelihatannya hampir meledak karena marah. "Selamat tinggal! Aku takkan datang lagi kemari — aku hendak mengambil cuti! Akan kukirimkan orang lain sebagai penggantiku — seseorang yang tak secerewet aku. Tapi lebih baik ikuti nasihatku, cobalah dengan orang bertubuh kecil!" Setelah itu helikopter membubung tegak lurus ke atas, terbang mengitar dengan pelan, lalu bergerak ke arah barat. Beberapa saat kemudian bunyinya tidak kedengaran lagi. Orang-orang yang tinggal berjalan bolak-balik di pelataran. Mereka sibuk berdebat. Tapi penerjun payung tadi tidak ikut berbicara. Ia dipegang erat-erat oleh beberapa orang Jepang. Sayap terbang sudah dilepaskan dari lengannya, dan selama beberapa waktu dipegang oleh raja. Tapi kemudian dimasukkan ke dalam peti, yang Iangsung dikunci. "Baiklah, aku setuju," kata raja. "Memang mungkin orang-orang yang kita pilih terlalu berat — tapi siapa lagi yang bisa kita pakai kecuali mereka? Cuma penerjun payung saja yang sudah biasa meloncat dari tempat tinggi! Suruhlah orang lain yang mencoba, jika itu yang kalian kehendaki. Hasilnya pasti sama saja! Gagasanku tidak mungkin gagal!" Anak-anak yang mengikuti perembukan itu ngeri sekali, ketika menangkap ucapan yang terdengar kemudian. "Satu dari anak-anak ini bisa kita pakai," kata Meier. "Misalnya saja anak yang bermulut lancang itu. Kita pasangkan sayap di lengannya, lalu kita suruh ia melompat dari helikopter!" Bab 24 HELIKOPTER DATANG LAGI KEMUDIAN orang-orang itu turun semua ke dalam gunung. Lampu besar sudah dipadamkan. Lucy-Ann menangis tersedu-sedu. Jack dan Dinah merangkulnya. berusaha membujuk. Mereka sendiri pun rasanya ingin menangis saat itu. "Ia tidak bersungguh-sungguh tadi," kata Jack sambil mencari-cari kata yang menenangkan. "Jangan takut — ia tadi berkata begitu untuk menakut-nakuti kita saja. Mereka takkan benar-benar tega menyuruh Philip melakukan percobaan itu." "Mereka bukan cuma menggertak saja. Mereka bersungguh-sungguh. Kau juga tahu!" kata Lucy-Ann sambil terus menangis. Bagaimana sekarang? Kita harus berbuat sesuatu." Berkata begitu gampang saja — tapi apa yang bisa mereka lakukan? Malam itu anak-anak sulit tidur. Mereka rnembicarakan baik tidaknya Philip diberi tahu tentang apa yang terjadi — dan apa yang diusulkan kemudian. Akhirnya mereka memutuskan, lebih baik Philip jangan diberi tahu. Kasihan dia, nanti bingung! Padahal ia seorang diri saja di dalam gua. Jadi ketika hari sudah pagi dan si Putih dikirim ke tempat Philip dengan membawa roti sandwich, dalam surat yang ikut disertakan tidak ditulis apa-apa tentang kejadian itu. Ketiga remaja itu kaget, ketika kemudian seorang Jepang naik ke atas, menggiring — Philip! Anak itu bergegas menghampiri mereka sambil tertawa lebar. "Hai! Aku dibebaskan! Rupanya mereka bosan mencoba memaksaku tunduk karena kelaparan -- melihat kenyataan bahwa aku malah semakin gemuk. Kalian dengar tidak bunyi helikopter tadi malam? Aku mendengarnya." Dinah dan Lucy-Ann merangkul Philip, sementara Jack menepuk punggungnya dengan gembira. Mereka senang sekali karena Philip ada bersama mereka lagi. Si Putih yang datang menyertainya berjingkrak-jingkrak naik—turun tembok rendah, seperti sedang beraksi di sirkus saja tingkahnya. Anak-anak tidak banyak bercerita tentang malam sebelum itu. Philip agak heran, kenapa mereka tidak banyak berbicara. Segala pertanyaannya dijawab dengan singkat. la tidak melihat Jack menatap kedua anak perempuan sambil mengerutkan kening, melarang mereka berbicara terlalu banyak. Jack berpendapat lebih baik jangan mengatakan apa-apa dulu, karena mungkin saja Meier memang hanya bermaksud menggertak. Tapi sebetulnya aneh juga, kenapa Meier dengan tiba-tiba menyuruh Philip dibawa naik ke pelataran. Makanan yang diantarkan pun jauh lebih enak dan banyak daripada biasanya. "Seperti calon korban yang digemukkan dulu sebelum dikorbankan," kata Jack dalam hati. "Kapan kiranya helikopter itu datang lagi, ya? Masih berapa lama waktu yang ada? Aduh, Bill — datanglah cepat-cepat kemari!" Lucy-Ann dan Dinah sangat manis terhadap Philip, yang menurut perkiraan mereka pasti akan disuruh terjun dari helikopter. Dinah bahkan bertanya di mana Sally Geliat. Ia memaksa diri tidak cepat-cepat menjauh, ketika Philip mengeluarkan cecak ular itu dari kantungnya. "Eh — kenapa Dinah tahu-tahu begitu sikapnya?" tanya Philip. "Begitu manis sikapnya terhadapku. Biasanya ia tidak begitu. Tahu-tahu nanti ia menawarkan diri, mengurus Sally untukku!" Philip merasa yakin bahwa pasti ada sesuatu yang tidak diketahuinya. Jangan-jangan ada kabar buruk, tentang Kiki. Tapi tidak — jika begitu, sikap Jack pasti lain. Philip merasa tidak enak. Tidak biasanya anak-anak merahasiakan sesuatu terhadapnya. Ia langsung menanyakannya pada Jack. "He, Jack — ada apa-apa, ya? Jangan bilang tidak ada — karena aku tahu pasti. Ayo katakan — kalau tidak, nanti aku kembali saja lagi ke guaku!" Jack sangsi sesaat. Tapi kemudian ia rnemutuskan, lebih baik hal itu dikatakan saja. "Baiklah — akan kukatakan, Philip. Tapi soalnya tidak enak bagi kita." Jack menceritakan kejadian malam itu — sampai pada usul Meier, agar satu dari anak-anak saja yang menguji baik tidaknya sayap terbang itu. "Begitu," kata Philip lambat-lambat. "Dan mestinya yang mereka pilih itu aku, ya?" "Begitulah kata mereka," kata Jack. "Mereka itu tak berperikemanusiaan! Percobaan mereka belum sempurna — sayap terbang itu belum sepenuhnya dapat diandalkan. Setengah saja belum — walau kapan-kapan mungkin bisa benar-benar sempurna!" "Wah — bayangkan, aku akan terbang dengan sayap," kata Philip mencoba berkelakar. Kemudian dilihatnya wajah Jack yang cemas. "Kau tak usah khawatir, itu takkan terjadi! Pasti nanti terjadi sesuatu — dan kalau tidak, aku bukan anak pengecut!" "Aku tahu. Itu tak perlu kaukatakan lagi padaku," kata Jack. "Anak—anak perempuan sedih sekali. Karena itulah sikap kami agak aneh tadi. Kami sebenarnya sudah memutuskan untuk tidak mengatakan hal ini padamu." Philip menghampiri Dinah dan Lucy-Ann sambil melonjak-lonjak Lengannya dikepak-kepakkan seperti sayap. "Sudah, jangan sedih!" katanya dengan riang. "Begitu aku meloncat dari helikopter, aku akan langsung terbang mendatangi Bill. Biar dia kaget setengah mati!" Tapi percuma saja ia mencoba berkelakar. Persoalannya terlalu gawat. Anak-anak tidak ada yang mengajak si Putih bermain-main, karena terlalu gelisah memikirkan apa yang akan terjadi dengan Philip. Anak kambing itu kesal, lalu masuk ke dalam gunung lewat tangga batu. la mencari orang yang bisa diajak bermain-main. Tiga hari sudah lewat Keempat remaja itu sudah hampir putus harapan. Menurut dugaan mereka, Bill takkan datang. Sebab kalau ia mencari mereka, tentu sudah lama muncul. Jika ada yang datang, tentunya akan nampak berkeliaran di lereng gunung. Tapi anak-anak tidak melihat siapa-siapa. Benar-benar mengecewakan! Mereka sudah jemu menunggu dengan sia-sia. Keempat remaja itu menimbang-nimbang. Bagaimana kalau mereka mencoba lari lagi lewat tangga tali. Siapa tahu, mungkin sekarang mereka bisa menemukan cara mengulurkannya ke bawah. Tapi Jack menggeleng. "Tidak — mereka pasti waspada sekarang. Salah seorang Jepang selalu ada di dekat-dekat kita. Tentunya Meier sudah menugaskan seseorang menjaga di bawah." Tapi ada satu hal yang agak menyenangkan. Rupanya ada perintah agar anak-anak jangan sampai kekurangan makan, karena kenyataannya selalu banyak sekali yang diantarkan untuk mereka. Walau keempat remaja itu sedang sedih, namun selera mereka tetap ada. Mereka makan dengan nikmat. dibantu oleh si Putih yang selalu siap menghabiskan sayur yang tersedia. setiap kali ada kesempatan. Suatu malam ketika anak—anak sudah tidur berselubung selimut di bawah tenda, tahu-tahu terdengar bunyi helikopter. Mereka langsung bangun. Jantung mereka berdebar keras. Lucy-Ann mulai menangis. Helikopter itu terbang dengan lambat, mengitari puncak gunung. Kemudian Iampu yang terang dinyalakan, menyinari pelataran. Pesawat itu turun dengan pelan, sampai roda-rodanya mencecah dasar batu. Di pesawat itu ada dua orang, tapi kedua-duanya bukan yang pernah datang. Penerbang pesawat memakai kaca mata dan topi penerbang. Sedang temannya tidak memakai apa-apa. Tampangnya galak. Tidak lama kemudian Meier muncul, bersama Erlick dan sejumlah orang Jepang. "Kau pemimpin di sini?" seru penerbang dari dalam helikopter "Aku menggantikan Kahn. Ia sedang cuti! Sulit juga menemukan tempat ini. Ini Johns, rekanku. Kami membawakan barang-barang yang kalian pesan." Sementara barang-barang dibongkar dari pesawat, penerbang serta rekannya meloncat turun ke pelataran. "Makanan untuk kalian sudah disediakan," kata Meier. "Kalian berangkat kembali besok, kan?" "Tidak, harus malam ini juga," kata penerbang itu. "Ada yang mengadakan penyelidikan tentang kegiatan kami. Jadi kami harus kembali sekarang juga.” "Kau sudah diberi tahu tentang — yah, tentang..." kata Meier. Ia agak ragu. "Apa maksudmu? Bahwa ada penerjun payung hendak terjun dengan helikopter?" kata penerbang itu. "O ya, kalau soal itu, aku sudah tahu. Aku mau saja. Jika ada yang ingin melakukannya, terserah!" "Imbalan untukmu pasti memuaskan sekali," kata Meier dengan suaranya yang tajam. "Sekali ini pembayaran dinaikkan menjadi lipat dua. Orang yang hendak terjun itu masih muda — perlu begitu, untuk percobaan kami." Sesaat tidak ada yang berbicara. Kemudian penerbang itu bertanya dengan nada tajam. "Apa maksudmu — masih muda?" "Seorang anak laki-laki," kata Maier. "Ia ada di sini." Laki-laki jahat itu berpaling pada salah seorang Jepang dan berbicara dengan dia dalam bahasa asing. Orang itu bergegas menuruni tangga batu, masuk ke dalam gunung. "Aku harus memberi tahu orang yang menciptakan alat baru itu bahwa kalian sudah datang," kata Meier lagi. "Bagaimana — kalian makan dulu?" "Tidak usah," kata penerbang itu. "Aku harus berangkat sekarang juga. Panggil anak itu, dan suruh dia bersiap-siap." , Lutut Lucy-Ann terasa lemas sekali, sehingga ia nyaris tak mampu berdiri lagi. Philip tetap tenang. Tapi dalam hati ia bergejolak. Baiklah! Biar saja sayap itu dipasangkan padanya. Biar saja ia dimasukkan ke dalam helikopter. Ia tidak takut! Nanti ia akan meloncat dengan sayap itu. Dan kalau sayap itu ternyata bisa bekerja —— Tapi Philip tidak bisa membayangkannya. Penerbang itu belum melihat anak—anak yang berdiri di bawah tenda. Tapi kemudian beberapa orang Jepang datang menjemput Philip. Anak- anak yang Iain ikut, walau Lucy-Ann harus berpegang pada Jack. Sebelum penerbang itu bisa mengatakan apa-apa pada mereka, raja sudah datang. Cepat sekali ia berdandan sekali itu, pikir anak-anak. Mahkotanya bertengger agak miring di atas kepala. Tapi selebihnya, ia nampak anggun seperti biasanya. Salah seorang penjaga membawakan kotak yang berisi sayap. Raja membuka k0tak itu, lalu mengeluarkan hasil citaannya. Sayap itu memang indah sekali — dan kelihatannya seperti bisa dipakai terbang. Lucy-Ann berdoa dalam hati, mudah-mudahan saja memang bisa! Philip diam saja ketika sayap itu dipasangkan ke lengannya. Ia mengangguk, ketika padanya ditunjukkan kedua t0mb0| yang harus ditekan. Dikepak-kepakkannya sayap itu sebentar. la heran merasakan betapa besar tenaga alat bantu terbang itu. Anak-anak yang lain memandangnya dengan perasaan kagum. Philip tabah sekali, kata Jack dalam hati. Sedikit pun tak diperlihatkannya bahwa ia takut Tapi mungkin juga Philip memang sama sekali tidak takut. Sebenarnya dalam hati kecil anak itu, ia merasa agak ngeri — tapi perasaan itu ditekannya, jangan sampai kelihatan. Tahu-tahu Lucy-Ann melangkah maju, lalu memegang lengan raja. "Raja yang mulia," katanya, "kurasa lebih baik aku yang mencoba sayap ciptaan Anda ini. Aku lebih ringan daripada Philip. Aku bangga, jika diizinkan mencobanya." Semua yang ada di pelataran itu tercengang. Philip merangkul Lucy-Ann dengan lengannya yang sudah dipasangi sayap. "Kau ini tabah!" katanya. "Tapi akulah yang akan terjun! Nanti aku akan terbang kembali kemari, untuk menunjukkan pada kalian bahwa sayap ini bisa diandalkan!" Lucy-Ann terisak. Ia tidak tahan lagi Penerbang serta rekannya naik lagi ke helikopter, tanpa mengatakan apa-apa. Raja sama sekali tidak nampak ragu ketika menyuruh Philip berangkat Rupanya ia benar-benar yakin akan keandalan sayap ciptaannya yang luar biasa itu. Kasihan — pikirannya melayang di awang-awang. Orang-orang yang melakukan percobaan untuknya, baginya sama sekali tidak ada artinya. Meier memperhatikan dengan sikap galak, sementara Philip masuk ke helikopter dengan dibantu salah seorang Jepang, karena geraknya agak terganggu oleh sayap yang terpasang pada lengan. Laki-laki jahat itu kelihatannya mengharap—kan Philip akan berontak. la sama sekali tidak kagum melihat ketabahan anak itu. Matanya yang tajam menatap Philip. Remaja itu membalas tatapannya dengan pandangan mengejek. "Yuk, sampai nanti!" kata Philip sambil melambaikan lengan. "Jaga dirimu baik-baik, Meier. Kapan-kapan riwayatmu pasti berakhir dengan menyedihkan!" Meier marah mendengar ejekan itu. Ia melangkah maju, tapi saat itu baling-baling helikopter mulai berputar, makin lama makin cepat. Lucy-Ann menelan tangisnya. Ia yakin bahwa itulah saat terakhir ia melihat Philip. Helikopter membubung lurus ke atas. Penerbangnya menjulurkan kepala ke luar, lalu meneriakkan sesuatu. "Jangan lupa pada Bill Smugs!" serunya. Suaranya kini berbeda dengan tadi. Berbeda sekali. Itu suara — Bill! Bab 25 MALAM YANG MENEGANGKAN HAMA ketiga remaja yang ada di pelataran saja yang memahami makna seruan itu. Sedang Meier serta kawan-kawannya sama sekali tidak mengerti. Mereka bahkan hampir tak menangkap seruan itu. Tapi anak-anak mendengarnya dengan jelas! Napas mereka tersentak. Tapi mereka tidak mengatakan apa-apa, sampai Meier serta yang |ain—lain sudah turun lagi ke dalam gunung. Setelah itu anak-anak masuk ke bawah tenda, sambil berpegangan tangan. "Jack! Itu tadi Bill! Betul-betul Bill!" kata Lucy-Ann. Suaranya agak aneh. "Ya — dan ia tahu bahwa jika ia meneriakkan ‘Jangan lupa pada Bill Smugs`, kita akan langsung mengenalinya," kata Dinah. "Ia memperkenalkan dirinya dengan nama itu ketika kita mengalami petualangan yang pertama. Ingat tidak? Wah — belum pernah aku mengalami kejutan seperti tadi!" "Dan Philip sekarang selamat," kata Jack. Ia puas sekali. "Syukurlah! Dan orang yang menyertai Bill tadi pasti salah seorang temannya. Philip tinggal membuang sayapnya tadi, dan habis perkara!" "Lututku lemas sekali rasanya, karena gembira," kata Lucy-Ann. Ia mendului duduk. Anak-anak menarik napas lega. Beban berat kini sudah tersingkir dari pikiran mereka. Philip selamat! la tidak perlu Iagi meloncat dari helikopter, untuk menguji keandalan alat ciptaan seorang sarjana sinting. Ia kini sudah bersama Bill! "Apa yang menyebabkan Bill datang kemari naik helikopter?" kata Jack bertanya-tanya. "Dan mendarat di sini — dilihat oleh Meier dan Erlick." "Yah, masa kau tidak ingat lagi! Dalam suratmu kau kan menulis tentang helikopter yang menurut dugaan kita mendarat di sini," kata Dinah. "Itu, surat yang kita tinggalkan pada si Belang!" "Ya, betul juga katamu itu," kata Jack. "Jadi rupanya Bill memang datang mencari kita — lalu menemukan si Belang. Bill memang bisa dijadikan andalan!" "Apakah yang akan dilakukannya sekarang?" kata Dinah. "Mungkinkah ia datang lagi, untuk menjemput kita?" "Jelas dong!" kata Jack. "Philip akan ditaruhnya dulu di tempat yang aman, setelah itu ia cepat-cepat kembali kemari. Mungkin masih malam ini juga!" "Mudah-mudahan," kata Lucy-Ann. "Aku tidak suka ada di gunung ini. Yang paling menyenang- kan di tempat pertanian Bu Evans. Aku tidak suka pada orang-orang di sini — Meier yang jahat. Erlick yang gemuk. Orang-orang Jepang itu — dan raja!" "Aku malah kasihan padanya," kata Jack. "la itu hanya terperangkap saja 0leh tipuan para penjahat. Kurasa mereka pasti sudah banyak mengeruk keuntungan dari berbagai ciptaannya. Dan seka- rang bertindak tidak setengah—setengah, untuk ciptaan yang ini. Aku ingin tahu, betul-betul bisa bekerja atau tidak sayap itu." "Pokoknya aku merasa lega bahwa Philip tidak usah lagi mengujinya," kata Dinah. "Philip itu sangat tabah, ya?" "Memang. Dan Lucy-Ann pun tabah sekali," kata Jack. "Kenapa tadi tiba-tiba timbul niatmu untuk menggantikan Philip, Lucy-Ann?" "Entahlah — tahu-tahu datang dengan sendirinya," kata Lucy-Ann. "Tapi aku sama sekali tidak tabah saat itu. Lututku gemetar!" "Tinggal nasib Kiki yang masih kucemaskan sekarang," kata Jack. "Mudah-mudahan saja ia tidak diapa-apakan oleh mereka. Selama ini ia tidak pernah begitu lama menghilang!" Dinah dan Lucy-Ann juga merasa prihatin. Dinah yakin sekali bahwa Kiki mengalami sesuatu yang tidak enak. Jika Meier berhasil menangkapnya, habislah riwayat burung kakaktua itu. Ia bergidik, ketika terbayang tatapan mata Meier yang tajam menusuk. Tiba-tiba ia terpekik, "Hii — ada sesuatu yang merayap di kakiku! Cepat — tolong lihatkan!" "Ah, itu kan Sally!" kata Jack sambil menangkap cecak ular itu. "Maaf, Dinah! Philip tidak mau membawanya meloncat tadi, dan karena itu dimasukkan olehnya ke dalam kantungku, ketika kau sedang melihat. ke arah lain. Aku tidak menyangka Sally akan keluar. Kau jangan berteriak, Dinah. Semua sudah menunjukkan ketabahan masing-masing malam ini, jadi kau juga dong!" • Dinah menuruti permintaan Jack, karena apalah arti seekor cecak ular jika dibandingkan dengan loncatan yang harus dilakukan Philip — jika penerbang yang datang tadi bukan Bill? Bukan apa-apa! Dinah menjauhkan kakinya. Tapi ia tidak berteriak Iagi. Cecak ular itu masih berkeliaran sebentar, lalu masuk lagi ke kantung Jack. "Aku masih belum habis pikir juga, bahwa yang datang dengan helikopter tadi ternyata Bill!" kata Lucy-Ann untuk kesekian kalinya. "Jantungku nyaris terhenti karena kaget ketika ia tiba-tiba berseru dengan suaranya sendiri, 'Jangan lupa pada Bill Smugs!” "Kita harus bersiap-siap menunggu kedatangannya Iagi," kata Jack. "Mungkin itu masih malam ini juga. Ada kemungkinan curna kita saja yang akan mendengarnya nanti, karena mereka yang di bawah pasti tak menduga ia akan datang kembali. Bunyi helikopter tidak bisa didengar di dalam gunung!" "Wah — asyik, apabila Bill bisa datang tanpa ketahuan, lalu membawa kita pergi dari sini," kata Lucy-Ann. "Meier beserta kawanannya pasti bingung nanti, mencari kita ke mana-mana!" "Dan kawanan anjing disuruh melacak jejak kita di luar," kata Jack. "Bagaimana — perlukah kita semua berjaga, menunggu kedatangan Bill?" kata Dinah. "Tidak usah! Kalian berdua tidur sajalah, biar aku yang menunggu," kata Jack. "Saat ini aku takkan mungkin bisa tidur! Nanti jika ada sesuatu, kalian akan cepat-cepat kubangunkan." "Bagaimana dengan lampu yang menunjukkan tempat mendarat?" tanya Dinah dengan tiba-tiba "Bisakah kau menyalakannya begitu bunyi pesawat itu terdengar, Jack?" "Kurasa bisa," kata Jack. Ia pergi ke tengah pelataran, lalu mencari-cari sakelar untuk menyalakan lampu besar itu. Tapi benda itu tidak kelihatan di situ. Jack mencari ke mana-mana, tanpa hasil. "Aku tidak bisa menemukan sakelarnya," katanya kemudian. "Menyebalkan!" “Ah, kurasa tanpa lampu pun Bill pasti bisa mendarat," kata Lucy-Ann. la yakin sekali bahwa Bill pasti bisa melakukan apa saja — bahkan yang paling mustahil sekalipun. "Kau menjaga ya, Jack! Aku hendak tidur dulu." Kedua anak perempuan itu berbaring, lalu memejamkan mata. Tidak sampai semenit kemudian keduanya sudah pulas, walau sebelumnya masih merasa tegang sehabis mengalami kejadian yang tak disangka-sangka itu. Jack duduk menjaga. Malam itu mendung. Hanya sekali-sekali saja nampak bintang mengintip dari balik awan. Jack memikirkan Bill. la kagum padanya. Bagaimana ia sampai bisa menguasai helikopter itu? Jack mengucap syukur karena masih terpikir olehnya untuk meninggalkan surat pada si Belang, yang isinya menuturkan semua yang diketahui. Coba jika itu tidak dilakukannya, Bill tentu tidak tahu apa-apa tentang gunung itu serta rahasia yang ada di dalamnya. Ia pasti tidak akan mengira bahwa helikopter bisa mendarat di puncaknya! Ia mendengar bunyi samar di kejauhan. Jack menajamkan pendengarannya. Ya — itu suara helikopter. Pesawat itu datang Iagi! Kalau begitu Bill tidak pergi jauh-jauh dari situ. Hanya membawa Philip ke salah satu tempat di luar, mendengar ceritanya, lalu langsung kembali untuk menjemput anak-anak yang lain. Meier pasti kecewa sekali nanti apabila melihat bahwa ketiga anak itu sudah tidak ada lagi - dan tidak tahu apa yang terjadi dengan sayap ajaib itu! Jack mencoba mencari sakelar lampu besar, tapi tetap saja tidak berhasil. Itu sebetulnya tidak mengherankan, karena benda itu tersembunyi di bawah semacam tingkap kecil yang tidak nampak, karena rata dengan pelataran. Helikopter itu kian mendekat, mengitari gunung lalu membubung tinggi. Rupanya sudah hendak mendarat di puncak Jack menggoyang-goyangkan tubuh Dinah dan Lucy-Ann. "Bill sudah kembali!" katanya. Kedua anak perempuan itu cepat-cepat bangun. Si Putih yang tidur bersama mereka juga ikut bangun lalu berjingkrak-jingkrak. Ia merasakan kegelisahan anak-anak. "Pesawat itu hendak mendarat!" kata Jack. Anak-anak memicingkan mata, berusaha mengenali bentuk helikopter yang gelap di tengah kehitaman malam. Terdengar bunyi benturan pelan. Tiba-tiba helikopter bergerak mendekati tempat anak—anak. Mereka cepat-cepat menyingkir. Saat berikutnya terdengar suara Bill memanggil, "Di mana kau, Jack?" "Di sini," seru Jack sambil lari menghampiri pesawat itu, sementara Bill menyalakan senter yang terang cahayanya. "Keadaan sudah aman. Tidak ada seorang pun dari mereka di sini. Wah — lega rasanya, karena Anda sudah ada! Bagaimana Philip — baik-baik saja?" “Ya, ia sekarang ada di lereng gunung. Ia ditemani Johns. orang yang tadi datang bersamaku kemari. Ayo, cepat masuk ke helikopter, sementara keadaan masih aman." Bill menyorotkan senternya berkeliling untuk melihat di mana Dinah dan Lucy-Ann berada. Sesaat kemudian anak-anak sudah dibantu naik ke pesawat. "Aku tadi tidak bisa melihat dengan jelas," kata Bill. "Kurasa sewaktu turun, aku membentur sesuatu. Kurasakan benturan yang lumayan juga kerasnya, lalu pesawat terputar. Mudah-mudahan saja tidak ada yang rusak." "Kurasa Anda tadi membentur dinding sisi pelataran," kata Jack sambil membantu Dinah dan • Lucy-Ann naik ke pesawat. "Wah, benar-benar hebat, Bill! Bagaimana Anda bisa..." "Penjelasannya nanti saja!" kata Bill, lalu mengutik-utik sesuatu di depannya. "Kita berangkat sekarang!" Helikopter membubung sekitar setengah meter ke udara, tapi kemudian bergerak memutar. Dengan cepat Bill menurunkannya lagi ke pelataran. "Wah! Kenapa begitu terbangnya?" Lucy-Ann sudah tidak tahan lagi, karena ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu. "Ayo, kita berangkat!" katanya berulang-ulang, sampai Dinah menyenggol, menyuruhnya diam. Si Putih duduk dengan tenang di lutut Lucy-Ann yang merangkulnya erat-erat. Bill mencoba sekali lagi. Pesawat itu membubung ke atas, lalu kembali berputar dengan aneh. "Ada yang tidak beres dengan kemudinya," kata Bill dengan nada kesal. "Ah, kenapa Johns kutinggalkan di bawah tadi? Kalau ia ada di sini, kemungkinannya ia bisa membetulkan sebentar. Tapi kalau dia ikut, kemungkinannya pesawat ini tidak bisa naik — karena ditambah beban kalian bertiga!" Perasaan ketiga remaja itu makin kecut, sementara Bill berusaha terus agar helikopter mau terbang dengan benar. Tapi tiap kali sudah membubung, pesawat itu langsung bergerak memutar dengan keras. Bill tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah terjadinya gerakan itu. Dalam hati ia sudah khawatir, jangan-jangan nanti malah sama sekali tidak bisa dikendalikan lagi, lalu terjungkir ke bawah. la tidak berani mengambil risiko itu, karena ada anak-anak. Selama sejam ia berusaha mengendalikan pesawat itu. Tapi kemudinya tetap tidak bisa diatur geraknya. Anak—anak disuruhnya turun, karena ia hendak melihat apakah dengan begitu pesawat bisa Iebih terkendali. Tapi ternyata sama saja. "Rupanya rusak karena membentur dinding tadi," kata Jack. "Bagaimana sekarang, Bill?" "Bagaimana jika turun lewat bawah?" kata Bill. "Philip tadi sempat bercerita tentang tangga tali. Sebelum ini aku sudah mencari jalan masuk itu. Kau kan menulis tentang itu dalam suratmu! Aku sudah masuk ke dalam rongga yang terdapat di balik semak itu. Tapi hanya sampai di situ saja — tidak bisa terus!" "Memang, tidak ada yang bisa menemukan jalan naik, kecuali secara kebetulan," kata Jack. "Kami kebetulan saja menemukan rahasia menurunkan tangga tali itu — yaitu dengan jalan memutar roda yang terdapat di bawah permukaan kolam. Begitu roda diputar, tangga tali akan meluncur turun dari .atas!" "Yah — kelihatannya kita sekarang terpaksa turun lewat jalan itu,” kata Bill. "Helikopter sialan ini tidak bisa dikendalikan lagi. Aku tidak berani menerbangkannya, karena risiko jatuh besar sekali. Padahal kita tidak punya sayap, yang bisa menyelamatkan!" "Aduh, Bill — jadi kita benar-benar tidak bisa pergi dari sini dengan helikopter?" tanya Lucy-Ann. Semangatnya langsung hilang. "Aku tidak mau masuk Iagi ke dalam gunung. Nanti kita tersesat, Belum lagi kalau sampai ketahuan!" "Apa boleh buat, Lucy-Ann — kita terpaksa," kata Bill. "Tapi jangan takut, sekarang kan ada aku yang bisa melindungi! Lagi pula sekarang kan sudah larut malam. Kecil sekali kemungkinannya kita nanti berjumpa orang!" "Kita memang sial — kenapa helikopter ini tidak bisa dikendalikan lagi," kata Jack. "Nanti begitu ada yang melihatnya di sini, mereka pasti akan tahu bahwa telah terjadi sesuatu — lalu mengejar kita!" "Itulah sebabnya kita harus sekarang juga berusaha mencari jalan keluar," kata Bill. "Ayo, kita berangkat Eh — apa ini yang membentur-bentur kakiku? Ah — kau rupanya, Putih! Kalau kau ingin ikut, jangan jauh-jauh dari kami. Nanti kita ketahuan karena kau! Ngomong-ngomong, mana Kiki? Dari tadi aku sama sekali tak mendengar suaranya." "Kami tidak tahu di mana ia berada," kata Jack sedih. "Sudah beberapa hari kami tidak melihatnya — sejak kami tertangkap. Mungkin ia dikurung — atau bersembunyi di dalam gunung — atau mungkin juga sudah mati dibunuh." _ "Aduh —jangan begitu, Jack!" kata Lucy-Ann. "'Kiki kan sangat cerdik. Tak mungkin ia sampai bisa tertangkap. Mungkin kita nanti akan menemukannya." "Mana jalan keluar dari sini?" tanya Bill sambil menyalakan senter. "Lewat sana? Itukah tangga yang harus dilewati untuk masuk ke dalam gunung? Kalau begitu, kita berangkat sekarang —jangan membuang-buang waktu lagi." Mereka meninggalkan helikopter yang rusak, berjalan menuju tangga batu yang mengarah ke bawah. Lucy-Ann bergidik karena seram. "Aku takut, Bill!" keluhnya. "Kusangka aku tidak harus turun lagi ke dalam gunung!" Bab 26 LARI MENEMBUS GUNUNG TIDAK lama kemudian mereka sudah berada di dalam gunung. Mereka menyelinap lewat di depan gua tempat Philip pernah dikurung, melalui rongga-rongga tempat menyimpan perbekalan, menuruni tangga berbelit-belit yang dipahat pada batu. Sulit sekali memilih jalan yang benar, karena lampu-lampu remang yang menerangi lorong-lorong sudah dipadamkan semua. Di mana-mana gelap gulita. Bill memang membawa senter yang terang cahayanya. Tapi ia hanya bisa menyalakannya sekejap-sekejap, karena takut kalau ada orang melihat. Mereka terpaksa sering berhenti sambil mendengarkan dengan seksama. Jack dan Dinah berulang kali bertengkar dengan berbisik-bisik, mengenai jalan mana yang harus diambil selanjutnya. Bill menunggu dengan sabar. Disuruhnya anak-anak mengingat-ingat, jalan mana yang harus dipilih. Nadanya sangat mendesak. "Jika kita suruh si Putih berjalan di depan, mungkin kita takkan tersesat," kata Lucy-Ann kemudian. "Ia pasti tahu jalan." "Memang — tapi ia kan tidak tahu, kita mau ke mana sekarang." kata Jack. "Maksudku, jika ia tahu bahwa kita ingin menuju ke rongga tempat tangga tali itu, ia pasti akan membawa kita ke sana. Tapi bagaimana caranya membuat ia tahu?" Akhirnya mereka benar-benar tersesat. Mereka sampai dalam suatu lorong gelap dengan langit-langit yang sangat tinggi. Menurut perasaan anak-anak, mereka belum pernah lewat di situ. Bill mulai putus asa. Coba ia tadi berhasil mendaratkan helikopter dengan mulus, pasti mereka kini tidak perlu menelusuri lorong-lorong gelap yang tak dikenal ini, pikirnya. Mereka terus saja berjalan. Makin lama makin jauh ke bawah. Tahu-tahu sampai di langkan sempit yang terdapat di sisi atas lubang besar. Napas Bill tersentak ketika melihat sinar kemilau yang dengan tiba-tiba memancar, ketika lantai lubang digeserkan ke samping sesaat. Ia dan juga anak-anak dengan segera mengalami perasaan aneh, seolah-olah tubuh mereka menjadi enteng. Tapi perasaan itu lenyap Iagi, begitu lantai ditarik menutupi lubang lagi. Di bawah tidak ada siapa-siapa. Rupanya lantai itu bisa digeser dengan mesin, walau di bawah tidak nampak apa-apa. Itulah anehnya keadaan di tempat tersembunyi itu. Sama sekali tidak ada mesin besar di situ. Tenaga yang dipakai tidak dijalankan lewat mesin. Bunyi yang terdengar pun hampir tidak ada, kecuali suara gemuruh sebelum getaran datang. "Rupanya di dalam gunung ini ada semacam l0gam yang bisa digunakan untuk percobaan mereka," kata Bill. "Salah satu logam yang jarang terdapat — seperti uranium, yang dipakai dalam pembelahan atom. Di bumi ini ada beberapa gunung yang mengandung beberapa jenis logam langka. Tapi biasanya |0gam-Iogam itu diambil dengan jalan penambangan. Di sini hal itu tidak dilakukan — melainkan langsung dipergunakan! Mungkin mereka melakukannya untuk memanfaatkan ketebalan batu di sini, yang melindungi dunia luar dari pancaran sinar yang sedang dicoba. Pintar sekali mereka!" "Rasanya dari sini kami tahu jalan selanjutnya," kata Jack. Ia merasa lega karena berhasil sampai di suatu tempat yang sudah dikenal — walau tempat itu lubang besar yang menyeramkan! Ia menuding ke arah belakang, ke lorong yang mengarah ke atas. Bill menyorotkan senternya ke lorong itu. "Itu jalannya?" katanya. "Kalau begitu ayolah!" Mereka mendaki l0r0ng lebar yang terjal itu. Lalu menyusur terowongan sempit yang berkelok- kelok. Akhirnya sampai ke percabangan. "Kiri," kata Jack. Bill tercengang ketika melihat tirai sutra yang tergantung di sepanjang dinding setelah itu, begitu pula yang menutupi ambang sebuah gua. "Di belakangnya ruang tidur raja," bisik Jack pada Bill, sambil menjamah lengannya. "Si Putih ada bersamamu, Dinah? Jaga baik-baik —jangan sampai ia menerobos maju!" Bill berjingkat-jingkat menghampiri tirai, lalu menyibaknya sedikit. Di baliknya nampak ada cahaya suram. Sesaat lamanya Bill mengamat-amati ruang tidur raja itu dengan penuh minat. Setelah itu tirai ditutupnya kembali, sedang ia sendiri berjingkat-jingkat ke tempat anak-anak menunggu. "Di dalam ada orang yang berbaring di dipan," bisiknya. "Orangnya sudah tua. Keningnya besar sekali!" "Itulah raja gunung ini!" jawab Jack sambil berbisik pula. "Ialah otak pencipta segala penemuan yang ada di sini. Kurasa ia itu jenius — tapi sinting!" "Ia kelihatannya tidur pulas," kata Bill. "Adakah jalan melewati gua ini, tanpa membangunkannya?" "Tidak — kita harus lewat situ," jawab Jack. "Lalu melewati ruangan tempat dia biasanya makan, lalu melintasi ruang singgasana." Bill berpikir-pikir sesaat. "Kalau begitu kita harus mengambil risiko," katanya. "Kita masuk satu per satu — tapi hati-hati, jangan sampai menimbulkan bunyi!" Mereka masuk satu demi satu ke kamar tidur itu, dengan napas ditahan. Dinah masuk sambil memegang si Putih. la berdoa dalam hati, semoga anak kambing itu nanti tidak tahu-tahu mengernbik di dalam! Untung saja di ruangan itu terhampar permadani tebal, sehingga langkah mereka sama sekali tidak terdengar. Jantung Lucy-Ann berdegup-degup saat ia melintasi ruang tidur itu sambil berjingkat-jingkat. la sudah takut saja, jangan-jangan raja gunung terbangun karenanya. Mereka masuk ke ruangan di mana terdapat meja makan yang panjang. Tapi kini sama sekali tidak ada apa-apa di atas meja itu. Mereka terus menyelinap, menuju ke ruang singgasana. Sesampainya di luar, di balik tirai indah yang berhiaskan gambar naga-naga merah, mereka berhenti sebentar. Mereka mendengar bunyi aneh — seperti dengkuran. Apakah itu? Bill mengintip dengan hati-hati, melihat ke balik tirai. Ia tertawa nyengir. Ternyata di ruang singgasana itu ada sejumlah orang. Mereka itu para penerjun payung. Beberapa di antaranya duduk, sedang yang lainnya berbaring. Di tengah-tengah ruangan terdapat meja panjang yang sarat dengan gelas dan piring berisi sisa-sisa makanan yang berlimpah ruah. Para penerjun payung itu tidur semua. Tidak seorang pun bangun! "Jadi di sini rupanya mereka selama beberapa hari yang lalu," bisik Jack. "Aku sudah heran saja, kenapa mereka tidak kembali ke atas. Wah — rupanya mereka tertidur, karena terlalu banyak makan. Bukan main!" ' Bill meraba-raba dinding di balik tirai. Ia mencari-cari sakelar. Ia berbisik lagi, setelah menemukannya. "Aku akan mematikan lampu di dalam situ, supaya kita bisa lewat tanpa ada yang melihat. Kita berjalan menyusur dinding. Usahakan agar jangan sampai menimbulkan bunyi nanti!" Lampu di dalam dipadamkan, sehingga bangsal besar itu gelap gulita. Dengan didului oleh Bill, anak-anak menyelinap sepanjang dinding ke seberang. Langkah mereka tak kedengaran, karena mereka berjalan di atas hamparan empuk. Bill tertegun ketika mereka sampai di ruang laboratorium yang luas. Ia kagum melihat apa yang ada di situ. la lebih banyak mengetahui hal-hal begitu daripada anak-anak, dan karenanya menyadari betapa hebatnya otak penciptanya. Mereka berdiri di atas serambi sambil memandang ke bawah, ke arah roda-roda dan rentangan kawat, memperhatikan bejana-bejana kaca serta kotak-kotak kristal. Bunyi dengungan pelan masih tetap terdengar. "Untuk apa segala peralatan ini, Bill?" bisik Lucy-Ann. "Mentransmutasikan energi," jawab Bill pelan. "Mentran — apa, Bill?" tanya Lucy-Ann. Ia belum pernah mendengar kata itu. "Mentransmutasikan — atau katakanlah mengubah suatu jenis energi menjadi energi — atau kekuatan — lain, yang bisa dipergunakan untuk tujuan tertentu." "Misalnya dikurung di dalam sayap terbang, Bill?" tanya Jack. "Ya, begitulah." kata Bill. "Peralatan ini benar— benar menakjubkan!" Di ruang kerja itu tidak ada orang. Mengherankan sekali rasanya, segala peralatan yang di bawah itu bekerja sendiri, tanpa ada yang melayani. Bill begitu kagum, sehingga selama beberapa saat lupa bahwa mereka harus buru-buru mencari jalan keluar dari dalam gunung. Ia merasa seperti sedang bermimpi. Ia sadar lagi, karena si Putih menanduk-nanduknya. Bill agak kaget, lalu memegang lengan Lucy-Ann. "Ayo, kita terus!" katanya. "Kenapa aku sampai berhenti di sini, membuang-buang waktu berharga!" Jack mendului masuk ke lorong berikut, yang menuju ke gua besar yang pernah mereka masuki. Bill menyorotkan senternya ke situ. Tapi tidak ada apa-apa yang menarik di situ. Setelah itu mereka menyusuri lorong lagi, yang menuju ke gua tanpa langit-langit. Anak-anak merasa sudah hampir bebas — tinggal mengetahui rahasia mengeluarkan tali dari tempatnya dalam dinding batu! Mereka melewati lampu-lampu remang yang terpasang di sepanjang dinding lorong. Entah apa sebabnya, lampu-lampu itu dinyalakan. Dalam gua yang dituju, sinar senter yang dipegang Bill menerangi kendi-kendi berisi air segar di sisi belakang rongga atas. Rupanya disediakan di situ bagi orang yang kehausan sehabis memanjat tangga tali. "Inilah tempat tangga tali itu," kata Jack. Diambilnya senter dari tangan Bill, lalu disorotkannya ke dinding, mencari tempat tangga itu tergulung dalam dinding. Tapi sebelum Jack berhasil menemukannya, tahu-tahu Lucy-Ann terjerembab. Rupanya kakinya tersangkut pada sesuatu. Lututnya sakit, tapi ia sama sekali tidak mengaduh. Bill menyuruh Jack menerangi tempat anak itu terjatuh, untuk melihat apa yang menyebabkan ia tersandung. Ternyata tangga tali! Tangga itu terentang di dasar rongga, terus menjulur dari tepinya ke bawah — terus, sampai ke dasar gua yang ada kolamnya. "Wah — tangga itu terulur!" seru Jack. la begitu kaget, sampai lupa berbisik. "Yuk — kita cepat-cepat turun sekarang, Bill!" "Rupanya tadi ada di antara mereka yang keluar," kata Dinah. "Dan tangga ini dibiarkan terjulur, supaya bisa naik lagi dengan cepat. kita harus berhati-hati, jangan sampai tepergok!" 'Kau yang turun dulu, Jack," kata Bill, yang sementara itu sudah memeriksa cara tangga itu terpasang dalam lubang di dinding. Benar-benar hebat tekniknya! Ternyata ada kawat yang menghubungkan roda dalam kolam di bawah dengan sebuah tuas yang menggerakkan tangga tali. Apabila sudah terulur sedikit, bobot tangga itu kemudian menyebabkannya terulur terus sampai habis. Bill tidak bisa menebak apa yang menyebabkan tangga itu bisa tergulung Iagi. Tapi bagi orang yang berhasil menciptakan berbagai hal yang menakjubkan dalam gunung, itu pasti soal enteng saja! Jack berlutut di tepi atas tebing di samping tangga, lalu menuruninya sedikit dengan hati-hati. "Nah, aku turun sekarang," katanya kemudian. "Suruh Dinah dan Lucy-Ann yang turun dulu nanti, Bill. Setelah itu baru Anda! Si Putih turun lebih dulu, lewat liang yang biasa dilalui kawanan anjing herder. Aku tidak tahu letak liang itu. Tapi hatiku tidak enak, karena tidak tahu di mana Kiki saat ini. Kasihan dia, ditinggal sendiri di dalam gunung!" Jack menuruni tangga, diterangi sinar senter yang diarahkan Bill padanya. "Sekarang kau, Lucy-Ann," kata Bill, setelah Jack tidak kelihatan lagi. "Jack pasti sudah jauh sekarang, jadi takkan terinjak kepalanya olehmu. Sesudah kau, Dinah yang turun, sedang aku paling akhir. Nanti kalian menunggu dulu di bawah, sampai aku sudah datang. Jangan coba keluar sendiri!" Jack turun terus dengan kecepatan tetap. Rasanya tinggi sekali tangga itu. Tiba-tiba ia kaget, merasa tangga tali itu bergerak-gerak. Seperti ada yang memanjatnya dari bawah. Jack langsung berhenti. "Aduh — ada orang naik," katanya dalam hati. "Siapakah dia?" Bab 27 BERHASIL JACK buru-buru naik lagi. la tidak ingin tepergok 0rang yang naik itu. Jangan-jangan Meier — atau Erlick. Kalau benar begitu — wah, gawat! Sesaat kemudian kepalanya membentur kaki Lucy-Ann yang sudah turun. Anak itu terpekik ketakutan. "Ssst, jangan berteriak! Ini aku," bisik Jack dari bawah. "Ada orang naik. Cepat, kita harus ke atas lagi!" Lucy-Ann ketakutan. lalu bergegas-gegas memanjat ke atas lagi. Uh, seram rasanya membayangkan ada orang naik, sementara mereka hendak turun. Menurut perasaannya, pasti itu Meier! Kini kepala Lucy-Ann yang terbentur ke kaki Dinah. Dengan cepat dibisikkannya bahwa ada orang di bawah. Dinah bergegas naik ke atas kembali, disusul oleh Lucy-Ann serta Jack yang paling bawah. Jack sudah gugup sekali saat itu. Ia merasa bahwa setiap saat kakinya akan dicengkeram dari bawah. Sesaat kemudian kepala Dinah nyaris terinjak oleh Bill, yang menuruni tangga dengan cepat. Ia kaget ketika mengetahui bahwa Dinah naik lagi. "Ada apa? Kan sudah kubilang tadi, kau harus cepat-cepat turun?" katanya. Ia bertambah kaget, ketika mendengar bisikan Dinah yang bernada panik. "Cepat ke atas lagi, Bill! Ada orang naik. Cepat — sebelum Jack tertangkap. Cepat, Bill!" Sambil mengatakan sesuatu dengan pelan, Bill bergegas naik lagi. Sesampai di atas dibantunya Dinah naik, kemudian Lucy-Ann, dan yang terakhir Jack. Tangga tali masih tetap bergoyang-goyang. Orang yang tidak kelihatan itu masih memanjat terus. "Kembali ke lorong tadi!" kata Bill. "Kita tidak boleh sampai tepergok. Kita tunggu sampai yang naik itu sudah lewat — lalu kita coba turun Iagi!" Sesampai ke percabangan lorong, Bill mendorong anak-anak ke lorong yang paling gelap. Tapi dengan segera mereka keluar lagi, karena dari ujung belakang terdengar bunyi langkah orang datang. Tapi sementara itu orang yang naik sudah sampai di ujung atas tangga. Anak-anak bergegas menarik Bill ke cabang yang satu lagi. Dari situ mereka memasuki gua-gua kecil yang sambung menyambung. "Kita tunggu di sini!" bisik Bill. Tapi ternyata mereka sudah ketahuan. Dari_ arah belakang terdengar suara orang berseru-seru. "Siapa di sana?! Ayo, keluar! Cepat!" Tapi mereka tidak berkutik. Semua meringkuk di pojok yang gelap, dinaungi batu yang agak menonjol ke luar. Bill sudah cemas saja, jangan-jangan mereka akan ketahuan, jika yang datang itu membawa senter. Bunyi langkah orang berjalan terdengar dalam gua sebelah, disusul suara orang berseru-seru. Mereka dikejar! Bill mengeluh dalam hati. Kalau mendengar suara mereka, pengejar itu berempat. Mungkin juga lima orang. Mereka pasti akan memencar, lalu mencari sampai berhasil. Ah — padahal mereka tadi sudah hampir berhasil melarikan diri! "Yuk — lebih baik kita bersembunyi di gua yang lebih aman!" kata Bill sesaat kemudian. Tapi sebelum mereka sempat beranjak dari situ, tiba-tiba ada sinar senter yang disorotkan ke dalam. Mereka mematung kembali, tak bergerak sedikit pun, sementara sinar itu semakin mendekat ke tempat mereka. Lucy-Ann tidak berani bernapas. Dipegangnya tangan Bill erat-erat. Sinar Senter yang diarahkan ke lantai, sudah sampai ke kaki Jack. Tahu-tahu dari salah satu tempat di dekat mereka terdengar suara. Bunyinya sendu dan bergaung, seperti sangat menderita. "Kasihan Polly! Ding dong! Ciluk-ba!" Jantung Jack berhenti sesaat. Itu kan Kiki! Kiki masih hidup! Rupanya ia tersesat selama berhari-hari di dalam gunung. la tidak tahu bahwa saat itu mereka ada di dekatnya Ia tadi melihat cahaya senter serta mendengar suara orang-orang berbicara. Dan seperti biasa, ia langsung ikut campur. Bill cepat-cepat memegang lengan Jack. Ia takut anak itu akan memanggil Kiki, atau berseru karena girang. Tapi Jack juga tahu bahwa itu berbahaya. Karenanya ia diam saja. Sedang Kiki mengoceh terus, dengan suara yang sedih sekali. "Panggilkan dokter. Pengap, kedap, lembab! Puh! Hahh!" Jack belum pernah mendengar suara Kiki sesedih itu. Kasihan — pasti ia merasa dirinya terbuang! "Apa itu?!" Suara seseorang bernada tajam menggema dalam gua. "Ada orang di gua ini. Cepat kemari, Erlick! Kaudengar tidak tadi?" "Dengar apa?" tanya Erlick yang datang dengan membawa senter pula. "Suara orang," kata Meier. "Ada orang di sini. Mungkin berdua — karena kudengar mereka bercakap-cakap. Kautunggu di sini, sementara aku memeriksa." Meier berkeliling sambil memeriksa gua dengan seksama. Bill mengeluh dalam hati. Kini mereka tidak bisa lagi lari ke gua Iain, pikirnya. Tiba-tiba Kiki bersin, lalu batuk. Meier tertegun, lalu mengarahkan sorotan senternya ke arah dari mana bunyi itu datang. "Kalian sudah ketahuan! Ayo, cepat keluar, kalau tidak ingin lebih celaka lagi!" serunya dengan marah. Kiki ketakutan. Ia merasa sedih dan lapar, karena sudah beberapa hari tidak makan. Bentakan Meier menyebabkan ia panik lalu terbang memasuki gua sebelah, tanpa mengetahui bahwa di dekatnya tadi ada Jack. Tapi untung saja ia tidak tahu — karena kalau tahu, Kiki pasti akan terbang menghampiri lalu hinggap di bahu anak itu, sehingga tempat persembunyian Jack dan yang lain-lainnya akan langsung ketahuan. Kini suara Kiki terdengar di gua sebelah. "Polly, masak air! Panggilkan dokter!" Terdengar bunyi terceguk, disusul kata 'maaf`, yang diucapkan dengan nada menyesal. "Astaga! Ada apa di sini?" seru Meier. Kedengarannya seperti bingung. "Itu suara yang sudah beberapa kali kita dengar. Tapi kalau ada suara, pasti ada pula orangnya. Aku harus berhasil menemukannya kali ini. Kalau perlu, aku akan menembak sembarangan!" Bill dan anak-anak kaget setengah mati ketika terdengar bunyi letusan. Rupanya Meier menembakkan pistolnya dengan sembarangan ke arah suara Kiki. Jack merasa ngeri, karena takut kalau Kiki kena tembak. Meier dan Erlick masuk ke gua sebelah, menyusul ke arah suara Kiki yang kini sudah lebih jauh lagi. "Hup! Bersihkan kakimu, Anak nakal!" Mau tidak mau anak-anak tersenyum, walau sangat ketakutan. Kiki selalu mengocehkan yang aneh-aneh pada saat-saat gawat! Bunyi tembakan menggema Iagi. Kiki terkekeh- kekeh seperti mengejek, lalu menirukan bunyi mobil berganti persneling. Ia terbang memasuki gua berikutnya, dikejar 0leh Meier dan Erlick. Keduanya masih belum melihat Kiki, karena saat itu mereka mengira sedang mengejar manusia yang lari menjauh. Padahal Kiki terbang menyusur sisi atas gua, dan kadang-kadang bertengger di tempat-tempat tersembunyi. Saat itu terdengar langkah orang berlari-lari sambil berseru memanggil-manggil Meier. "Pak Meier! Pak! Anak-anak minggat! Helikopter kembali lagi. Di atas tidak ada siapa-siapa. Anak-anak lari!" Rupanya yang datang itu salah seorang Jepang yang tadi naik ke puncak gunung. la melihat helikopter ada lagi di situ. Tapi penerbangnya tidak ada, begitu pula anak-anak. Seruannya disambut kesunyian sesaat. Kemudian terdengar suara Meier membentak-bentak. Entah apa saja yang diucapkannya, karena ia marah-marah dalam bahasa asing yang tidak dipahami Bill maupun anak-anak. Kemudian terdengar suara Erlick, "Tidak ada gunanya kau marah-marah, Meier! Kita keluarkan saja anjing-anjing. Anak-anak pasti minggat lewat tangga tali. Kau kan membiarkan terulur ke bawah ketika tadi keluar. Tapi biar saja — anjing-anjing kita pasti dengan cepat akan berhasil menyergap mereka." "Tapi ke mana penerbang itu?" kata Meier marah-marah, lalu menyambung dalam bahasa asing. Sedang orang Jepang yang tadi bergegas pergi. Rupanya hendak mengambil anjing-anjing. "Panggilkan dokter," seru Kiki dengan suara sedih, lalu menjerit seperti lokomotif. Teriakannya menyebabkan Meier menyorotkan senternya ke segala arah. Orang itu marah sekali. Kemudian terdengar suara orang-orang ribut berdebat. Meier, Erlick, serta beberapa orang lagi yang menyertai mereka berbicara campur aduk, dalam berbagai bahasa. Bill tidak menunggu lama-lama lagi. Anak-anak didorongnya ke luar dari tempat persembunyian, menuju lorong terdekat. Dengan cepat mereka kembali ke gua tempat tangga tali. Mungkin sekarang mereka bisa melarikan diri. Mereka menuruni tangga itu dengan urut-urutan seperti tadi. Jack melangkah ke bawah dengan hati berdegup-degup, takut kalau ada lagi orang yang naik, lalu tahu—tahu mencengkeram pergelangan kakinya dari bawah. Tapi ia berhasil sampai di bawah dengan selamat. walau dengan kaki gemetar. Napasnya tersengal-sengal. Lucy-Ann nyaris terjatuh dari jenjang paling bawah. la menangis karena lega. Rasanya tidak habis—habisnya tangga itu! la merebahkan diri di samping kolam. Dadanya terasa sakit. Dinah yang turun setelah Lucy-Ann, juga ikut merebahkan diri ke lantai gua. Bill pun lega sesampainya di bawah. Tapi ia tidak ikut-ikut menggeletak. "Huhh — sampai juga akhirnya di bawah!" katanya. "Jauhnya kita turun tadi. Sekarang cepat- kita keluar, menggabungkan diri dengan Philip dan Johns. Mudah-mudahan saja kawanan anjing herder itu nanti tidak menemukan jejak kita. Philip tadi sempat bercerita tentang mereka, yang kalian sangka kawanan serigala. Aku tidak ingin dikejar anjing-anjing itu!" Sementara itu fajar sudah mulai menyingsing. Matahari belum muncul dari balik gunung, tapi sinarnya sudah mulai menyebar ke atas‘E:li sebelah timur. Anak-anak Iega ketika merasakan hembus- an angin segar membelai muka saat mereka keluar- lewat celah di batu, setelah mendorong semak yang menutupi celah ke samping. Mereka menarik napas dalam-dalam, sambil memandang alam sekeliling yang nampak remang-remang. "Ayo, kita terus," desak Bill. "Philip dan Johns tadi kutinggal dekat air — di tempat si Belang tertambat. la kami temukan di situ sewaktu aku datang bersama David dan Effans, mencari kalian. Kami membawanya kembali ke tempat pertanian. Kata Philip, kalian pasti bisa tahu di mana tempat itu, walau kita mendarat agak jauh dari situ. Ia menyangka kita akan kembali dengan helikopter. Wah — agak sulit juga mendaratkannya kemarin malam. Nyaris saja pesawat itu terjungkir. Tapi akhirnya berhasil juga!" "Kalau begitu Philip tentunya menunggu kita di tempat itu, ya?" tanya Lucy-Ann. "Bukan dekat air." "Tidak! Aku melarangnya — karena mungkin saja ada orang mereka yang berkeliaran di dekat situ, lalu melihat dia bersama Johns," kata Bill. "Menurutku, besar kemungkinannya Meier beserta kawanannya keluar mencari Philip, karena mengira dia pasti meloncat dari helikopter. Aku sebetulnya harus memberi kabar lewat radio mengenai hasil penerjunannya. Tapi tentu saja aku tidak melakukannya!" Tidak sulit menemukan jalan ke air, karena fajar sudah menyingsing. Sebelum mereka sampai di situ, Jack mengalami hal yang membahagiakan — dalam wujud Kiki! Tahu-tahu burung itu muncul dari atas dan terbang mendatangi sambil terkekeh gembira. la menjerit dengan keras sekali, nyaris memekakkan telinga. la hinggap di bahu Jack, lalu mengusap-usapkan kepala ke telinga anak itu. Jack begitu gembira, sampai tidak bisa mengatakan apa-apa. Ia hanya menggaruk-garuk kepala Kiki sambil merayu-rayu. Dengan segera Kiki menirukan suaranya. "Aduh, syukurlah!" kata Lucy-Ann. Ia senang sekali. "Ke mana saja kau selama ini, Kiki? Lega rasanya, kau ada lagi bersama kami." Bill pun tidak mau ketinggalan menunjukkan rasa senangnya. "Kau tadi menyelamatkan kami, Kiki! Kau memancing orang-orang .itu pergi menjauh, sehingga kami bisa melarikan diri ke luar. Dari mana kau tahu di mana kami berada tadi? Dan bagaimana kau bisa menyusul kami ke luar?" Kiki tidak menjawab pertanyaan itu. Jadi baik Bill maupun anak-anak tetap tidak tahu. Tapi Jack mengira bahwa Kiki pasti terbang ke bawah, ke gua yang tak beratap, lalu dari situ keluar. Kemudian ia datang, karena mendengar suara mereka bercakap-cakap. "Hidup Ratu," oceh Kiki dengan suara gembira, lalu terceguk. "Maaf! Maafkan Raja, cul Polly muncul!" ` "Aduh, Kiki- selama ini kami sangka kau sudah mati," kata Dinah. la memandang berkeliling, karena menyadari bahwa si Putih tidak ada di situ. "Sekarang si Putih yang lenyap. Ke mana dia?" "Sudah sejak tadi ia tahu—tahu lenyap," kata Bill. "Tapi kurasa nanti muncul lagi dengan tiba-tiba— seperti Kiki tadi!" "Geliat geliut," oceh Kiki dengan tiba-tiba sambil menelengkan kepala. memandang ke kantung Jack. Sally tersembul sedikit di situ. Rupanya ingin menikmati hawa luar yang segar. Dinah sama sekali tidak berteriak melihatnya! Mereka berjalan lagi. sementara Kiki bertengger di bahu Jack. Tiba-tiba terdengar suara orang bertiak, "Hee — kami ada di sini! Jack! Dinah! Lucy-Ann! Bill! Wah, Kiki juga ada! Hore — kalian berhasil melarikan diri! Tapi kenapa tidak dengan helikopter? Lama sekali kami menunggu-nunggu di sini." Itu suara Philip. la berjingkrak-jingkrak. Sedang Johns berdiri dengan tenang di belakangnya — sementara si Putih berlari—lari mengelilingi keduanya. Ternyata anak kambing itu berhasil menemukan Philip! Mereka semua sudah bergabung kembali. Semua berbahagia. Tapi nanti dulu — suara apakah itu, yang terdengar di kejauhan? "Kawanan anjing!" kata Jack "Mereka mengejar kita!" Bab 28 DIKEJAR KAWANAN ANJING Lucy-Ann merapatkan diri pada Bill dan Johns, ketika terdengar bunyi gonggongan galak di kejauhan. la ngeri, membayangkan dikejar anjing-anjing besar itu! Bill dan Johns berpandang-pandangan. Bill mengatakan sesuatu sambil menggumam. Tampangnya nampak marah. Mereka sudah begitu senang berhasil sampai di luar — dan kini kemungkinannya mereka akan tertangkap kembali! Tidak ada yang bisa berbuat apa-apa, jika dikejar anjing yang memang dilatih untuk memburu orang! "Cepat, Bill — kita ke air lalu berjalan mengarunginya," kata Jack dengan tiba-tiba. "Itulah yang dilakukan orang Negro itu ketika hendak menghilangkan jejak. Anjing tidak bisa mencium jejak di air. Kita mengarunginya ke hulu, sambil mencari tempat persembunyian yang baik - misalnya pohon, di mana Sam waktu itu bersembunyi!" "Yah - kecil sekali kemungkinan kita akan berhasil," kata Bill "Tapi kita coba sajalah! Sialan helikopter itu — tahu-tahu begitu! Kalau kemudinya tidak rusak, pasti kita sudah selamat sekarang!" Mereka melangkah ke tengah sungai kecil itu, lalu mengarunginya ke arah hulu, Airnya dingin sekali. Lucy-Ann berjalan diapit Bill dan Johns. Ia senang sekali, karena berada di tengah dua orang dewasa. Di kejauhan terdengar lagi gonggongan anjing. Bill dan rombongannya berjalan secepat mungkin ke arah hulu, untuk menghilangkan jejak. Tapi mereka masih bergerak di tempat yang terbuka, sehingga bisa dilihat dengan jelas. Karenanya mereka mempercepat langkah, agar selekas mungkin sampai di bawah pohon yang bisa dipanjat. Atau kalau tidak, gua yang bisa dijadikan tempat bersembunyi. Tidak lama kemudian mereka menemukan yang mereka cari-cari. Sungai kecil itu berawal di sebuah lubang besar di tebing gunung. Air menggelegak keluar dari situ, mengalir dan membasahi kaki mereka — termasuk si Putih! "Lihatlah — air keluar dari lubang besar itu," kata Bill. "Kita masuk saja ke situ. Mudah-mudahan cukup tempat untuk kita semua. Kita bersembunyi, sampai anjing-anjing itu sudah pergi lagi." Mereka merangkak masuk, satu demi satu. Bill menyalakan senter dan menyorotkannya ke dalam. Rongga di dalam tebing itu tidak terlalu besar, pas-pasan bagi mereka. Ujung belakangnya bersambungan dengan lorong yang sempit sekali. Air menyembur keluar dari lubang itu. Mereka duduk bersesak-sesak di dalam rongga, di tempat yang tidak dilewati air, sambil mendengar suara kawanan anjing herder yang mendengking- dengking di kejauhan. "Nyaris saja aku lupa bahwa masih ada ini," kata Bill sambil merogoh kantung. Ia mengeluarkan beberapa batang coklat, lalu membagi-bagikannya. Johns ternyata juga berbekal coklat, sehingga perut mereka agak terisi sedikit. "Bagaimana — mungkinkah anjing-anjing itu kehilangan jejak kita sekarang?" kata Jack, karena gonggongan kawanan herder tidak terdengar lagi. "Kelihatannya begitu," kata Bill. "Kurasa mereka bingung, karena tidak bisa lagi mengendus bau kita. Kemungkinannya mereka sudah sampai di air, lalu meloncat ke seberang. Tapi di situ jejak kita tidak bisa ditemukan lagi. Kurasa anjing-anjing itu tidak bisa menduga bahwa kita menyusur air, menuju kemari." "Tapi orang—orang yang bersama mereka ada kemungkinannya orang-orang itu bisa menduga begitu," kata Johns dengan tenang. Laki-laki bertubuh kekar itu menghadapi petualangan dengan sikap biasa, seolah-olah setiap hari mengalaminya. "Kalau aku, Pasti begitu! Jika aku memburu orang dengan sekawan anjing, lalu jejak lenyap di tepi air, akan kusuruh anjing-anjing itu mencari ke hilir dan ke hulu!" "Wah — kalau begitu Meier pasti akan berbuat demikian pula," kata Lucy-Ann. "Orang itu sangat pintar. Tatapan matanya tajam sekali, Bill — rasanya tembus kepala ditatapnya." "Ia boleh mencoba melakukannya terhadapku," kata Bill dengan geram. "Pasti ia menyesal setelah itu!" "Menyesal!" oceh Kiki menirukan. "Maaf!" "Kau lupa terceguk, Kiki," kata Jack. Dengan segera Kiki menirukan bunyi cegukan. Johns tertawa. Katanya, ia sudah sering mendengar bunyi begitu tanpa ada burung, begitu pula melihat burung tanpa cegukan — tapi kalau dua-duanya dialami serempak — kocak! "Anjing-anjing itu sudah semakin dekat," kata Jack dengan tiba-tiba. Semua ikut memasang telinga. Benar juga kata Jack, lolongan mereka semakin jelas terdengar. "Kalau begitu Meier sudah berhasil menyusul mereka," kata Dinah. "Suara anjing-anjing itu semakin dekat kemari. Jadi Meier sudah berhasil menebak siasat kita, lalu menyuruh mereka mencari ke hulu." "Ya — dan mereka nanti pasti akan mencium bau kita di sini," kata Philip. "Pasti! Anjing-anjing herder tidak bisa ditipu!" "Tipu-tipu," 0ceh Kiki, lalu menjerit. "Diam kau!" tukas Jack sambil menepuk paruh Kiki. "Kau ingin didengar anjing-anjing itu, ya!" "Puh," kata Kiki, lalu mencubit telinga tuannya. "Itu — kudengar bunyi langkah mereka di air," kata Philip. Semua juga mendengarnya. Lucy-Ann semakin erat memegang tangan Bill. Aduh — kapankah petualangan yang menyeramkan ini berakhir? Kemudian nampak anjing yang paling dekat. Lidahnya yang merah terjulur ke luar. Binatang bertubuh besar itu terengah-engah. la bergerak meloncat-loncat di air, makin lama makin mendekat ke tempat mereka. Kemudian terdengar suara Meier memberi perintah, "Ayo, terus! Cari mereka sampai ketemu!" Anjing yang paling depan sampai di ambang gua tempat Bill bersembunyi bersama yang lain- lainnya. Binatang pencari jejak itu hanya berdiri saja di situ, di air. la tidak menampakkan sikap akan masuk. la sudah melakukan tugasnya, yaitu mencari sampai dapat. Ia tidak disuruh menyerang. Anjing itu mendongak, lalu melolong seperti serigala. Kiki kaget mendengarnya. Dicobanya menirukan lolongan itu. Tapi yang terdengar sama sekali tidak mirip. Anjing herder yang ada di depan gua menelengkan kepala. Rupanya heran mendengar suara aneh itu. Sementara itu anjing-anjing yang lain sudah tiba di tempat itu dengan napas terengah-engah. Lidah mereka terjulur ke luar. Semua berdiri di belakang anjing yang pertama, sambil mengendus-endus. Tampang mereka galak-galak! "Gawat juga kelihatannya," kata Bill. bergumam pada Johns, yang dengan tenang memandang kawanan anjing itu. Sikapnya tetap santai seakan-akan sudah biasa dikejar-kejar kawanan anjing herder. "Tenang,” kata Bill. "Anjing-anjing itu takkan berbuat apa-apa. selama kita tidak berusaha lari." Kemudian terdengar suara orang berteriak- teriak di luar. Meier dan Erlick muncul di ambang gua. Muka mereka merah padam karena habis berlari. Meier langsung berhenti ketika melihat anjing-anjingnya berdiri di depan gua dari mana air mengalir ke luar, sambil memandang ke dalam. Dengan cepat didorongnya Erlick ke balik pohon yang ada di situ. Rupanya ia menduga bahwa Bill membawa pistol. "Ayo, keluar!" seru Meier dari balik pohon. "Kalian sudah ketahuan! Cepat keluar, jika tidak ingin diserang anjing-anjingku. Lemparkan senjatamu ke tanah, lalu keluar dengan tangan terangkat. Kalian tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menyerah." "Orang itu ramah sekali, ya?" kata Johns pada Bill, dengan nada mengejek. "Kepingin rasanya membekuk batang lehernya! Bagaimana — kita keluar atau tidak?" "Jangan!"jawab Bill dengan singkat "Kurasa ia takkan berani menyuruh anjing-anjingnya menyerbu kemari, karena tahu bahwa di sini ada anak-anak" "Meier itu tidak kenal kata segan," kata Jack. Ternyata ia benar! beberapa saat berlalu tanpa ada yang keluar dari dalam_ gua. Bahkan jawaban saja pun tidak ada. Meier mulai marah lagi. Ia menyerukan sesuatu dalam bahasa asing, lalu beralih ke bahasa Inggris. "Kalian sudah mendengar kataku tadi. Kini kalian kuberi kesempatan sekali lagi. Anjing- anjingku sudah siap, tinggal menunggu perintah menyerbu. Mereka pasti berhasil meringkus kalian. Kuperingatkan agar jangan melawan — karena mereka sangat galak!" Dari dalam gua masih tetap tidak ada reaksi. Lucy-Ann memejamkan rnatanya, karena takut melihat kawanan herder yang menunggu di luar dengan sikap waspada. Nampak jelas bahwa binatang-binatang itu menunggu komando menyerbu ke dalam gua, lalu menyeret mereka yang ada di situ keluar. Tiba-tiba Philip bergerak. Sebelum sempat dicegah, anak itu sudah keluar. "Angkat tangan!" seru Meier. Philip mematuhi perintah itu. Tapi sambil berbicara dengan suara pelan pada kawanan anjing yang datang mengendus-endus dirinya. "Kalian masih ingat padaku, kan? Kalian pernah tidur bersama-sama aku. Kita kan teman!" Anjing-anjing herder mengenali suaranya, walau tidak tahu apa yang dikatakan olehnya. Mereka ingat kembali padanya. Mereka ingat bahwa remaja itu baik hati. Anjing yang paling depan mendengking pelan. la ingin ditepuk-tepuk oleh Philip. Tapi kedua tangan Philip terangkat ke atas kepala. la hanya bisa mempergunakan suaranya untuk membujuk-bujuk kawanan anjing itu. Philip berbicara terus dengan suara pelan, sementara teman-temannya yang masih ada di gua memandang dengan kagum. Semua berpikiran serupa. Mereka kagum melihat kemampuan Philip, sehingga binatang apa pun pasti mau berteman dengan dia. "Anak mujur," kata Bill dalam hati. "Dan kita juga beruntung bahwa kau bisa menguasai anjing-anjing itu!" Meier berteriak dengan marah dari balik pohon. "Mana yang lain-lain?! Suruh mereka keluar juga! Kalau tetap membangkang, akan kuperintahkan anjing-anjing itu menyeret mereka keluar!" Herder pemimpin kawanan anjing itu meletakkan kaki depannya ke bahu Philip, lalu menjilati muka anak itu. Philip membiarkannya. Melihat itu anjing-anjing yang lain langsung mengerumuninya sambil mengendus-endus minta perhatian. Meier sudah tidak dipedulikan lagi. Philip menurunkan kedua tangannya. Meier takkan berani menembak sekarang, karena ada kemungkinan akan mengenai salah satu anjingnya. Philip sibuk mengelus-elus kawanan herder itu sambil berbicara dengan suara yang hanya dipakainya kalau menghadapi hewan. Meier berseru dari balik pohon, memberi komando pada anjing-anjing itu, "Ayo serbu! Seret mereka ke luar dan bawa kemari!" Dengan serta-merta kawanan anjing itu menoleh ke arahnya. Tapi mereka nampak sangsi. Pemimpin mereka memandang Philip. "Yuk, ikut aku," kata remaja itu. "Ikut aku ke dalam — di situ ada kawan-kawan lagi." Meier melongo, karena melihat kawanan anjing yang galak-galak itu malah mengikuti Philip yang kembali ke dalam gua. Sekitar empat ekor di antaranya masih bisa ikut masuk, lalu menghampiri ketiga anak yang ada di situ dengan sikap ramah. Mereka mengendus-endus Bill dan Johns dengan sikap ragu. Philip memegang tangan Bill, dan setelah itu lengan Johns, untuk menunjukkan bahwa kedua laki-laki dewasa itu kawan-kawannya. Anjing-anjing itu langsung mengerti, lalu menunjukkan sikap ramah. Tapi Kiki dan juga si Putih masih dihadapi sambil menggeram-geram. "Kau benar-benar ajaib, Philip!" kata Bill. Ia sungguh-sungguh merasa kagum. "Rupanya kau ini pandai menyihir binatang. Tidak mungkin tidak!" "Bukan main anak ini!" kata Johns. Wajahnya yang selalu nampak tenang, sekali itu memancarkan pandangan kagum. "Meier pasti naik pitam di luar," kata Jack. "Ia pasti bingung menghadapi kejadian ini!" Meier berteriak-teriak, "Seret mereka ke luar, kataku! Kutembak kalian semua nanti, jika tidak mau patuh! Kenapa sih kalian? Ayo, seret mereka ke luar!" Tapi kawanan anjing itu sama sekali tidak mengacuhkannya lagi. Pemimpin mereka sudah mengakui kelebihan Philip daripadanya, dan yang lain-lain mengikuti keputusannya itu. Mereka kini hanya mau patuh pada Philip. Mereka semula patuh pada Meier karena takut padanya. Tapi mereka sayang pada Philip! Tiba-tiba Meier menembak. Rupanya ia sudah tidak bisa lagi menahan kemarahan. Tembakan itu tidak diarahkan pada kawanan herder, melainkan ditujukan ke atas kepala mereka. Anjing-anjing itu kaget, lalu berpaling ke arah Meier. Mereka menggeram. Menurut Bill, saat untuk bertindak sudah datang. Ia menyapa Philip. "Maukah anjing-anjing itu mematuhi perintahmu, Philip? Maukah mereka jika disuruh menyerang Meier dan Erlick. Kalau menurutmu mau — suruh mereka menyerang! Biar kedua orang itu merasakan pembalasan yang setimpal!" Bab 29 PEMBALASAN "SETUJU!" kata Philip, lalu berbicara pada kawanan anjing sambil menuding ke pohon besar, di balik mana Meier dan Erlick bersembunyi. "Serbu Mereka — bawa kemari!" Meier dan Erlick hanya bisa melongo, ketika kawanan anjing herder berbalik dan menyerbu ke arah mereka. Mereka diterpa beramai-ramai sehingga terbanting ke tanah. Kedua penjahat itu tidak sempat lagi menembak. Pistol yang semula digenggam Meier terpelanting ke tanah, lenyap di tengah anjing-anjing yang datang menyerbu dengan bersemangat. "Mereka jangan diapa-apakan — giring saja kemari!" seru Philip bersemangat. la bangga, karena ternyata dipatuhi kawanan anjing yang galak-galak itu. Bill dan Johns keluar dari gua, diikuti oleh Jack. la mengatakan pada Dinah dan Lucy-Ann agar jangan keluar dulu. Larangan itu sebetulnya tidak perlu, karena kedua anak perempuan itu tidak mau. Lucy-Ann mencengkeram lengan Dinah dengan keras, sehingga anak itu terpekik kesakitan. Dengan napas tertahan, keduanya memandang kejadian yang sedang berlangsung di luar. Anjing-anjing besar itu menyeret Meier dan Erlick, membawa mereka ke tempat Philip. Erlick yang potongannya seperti gorila, ternyata pengecut. ia menjerit-jerit minta ampun. Memang begitulah kenyataannya — orang yang suka menggertak, biasanya kecil sekali hatinya. "Aku menyerah!" teriak Erlick. "Suruh mereka mundur!" Tapi Meier masih terus melawan dengan sengit, seakan-akan tidak takut digigit. Anjing-anjing yang dilawannya sudah dilatih agar jangan menggigit apabila belum diperintah. Tapi walau begitu ada juga yang sempat menggigit Meier, walau tidak secara bersungguh-sungguh. Mereka melakukannya sebagai pembalasan atas sikap Meier yang sangat keras sewaktu melatih mereka. Pemimpin kawanan anjing itu menggigit celana Meier, lalu menyeretnya ke depan gua di mana Philip menunggu bersama Jack, Bill, dan Johns. Meier kelihatan konyol saat itu. Erlickjuga diseret ke situ. Orang itu sudah nyaris menangis karena takut, Kemudian ia teringat pada pistol yang ada di kantungnya. la berusaha mengambilnya, karena beranggapan bahwa itulah kemungkinan terakhir baginya untuk melarikan diri. Tapi Johns bersikap waspada. "Angkat tangan!" katanya. "Jangan macam- macam, Erlick— kalau tidak riwayatmu dihabiskan anjing-anjing ini. Aku takkan peduli! Ayo berdiri. Meier — dan angkat tanganmu tinggi-tinggi!" Dengan wajah pucat karena marah, Meier mengangkat tangannya. la menatap Bill serta anak-anak dengan mata melotot. "Kau apakan anjing-anjingku tadi?" bentaknya pada Philip. "Selama ini belum. pernah mereka berani membangkang perintahku!” Ia mengumpat-umpat dalam bahasa asing. "Tutup mulutmu!" bentak Bill, sambil mengacungkan pistolnya. "Kau terlalu bermulut besar!" "Bersihkan kakimu," kata Kiki yang terbang keluar dari dalam gua, lalu hinggap di bahu Jack. "Puh! Hahh!" Meier melotot menatap Kiki, karena mengenali suaranya yang selama itu menyebabkan ia kebingungan. Jika tatapan matanya bisa memati— kan, pasti Kiki sudah tak bernyawa lagi saat itu. Tapi burung iseng itu malah terkekeh-kekeh! Meier mengepalkan tinjunya yang terangkat ke atas kepala. Kelihatannya ingin sekali bisa membekuk kakaktua itu. "Sekarang bagaimana, Bill?" tanya Jack. "Kita jauh dari rumah — dan tidak ada makanan untuk bekal, jika harus berjalan kaki." "Effans, Trefor, dan David juga ada, tidak jauh dari sini," jawab Bill. "Aku menyuruh mereka menunggu di dekat-dekat gunung ini. Mereka membawa serombongan keledai, untuk berjaga- jaga jika kita memerlukan mereka. Aku tidak begitu yakin apakah helikopter bisa terbang jauh, jika membawa kita semua!" "Wah — benarkah mereka ada di dekat sini?" tanya Lucy-Ann dengan perasaan lega. `Wah, Anda ternyata sudah memikirkan segala sesuatunya, Bill! Syukurlah kalau begitu!" "Bisakah anjing—anjing ini kita bawa pulang juga?" tanya Philip. la masih dikerumuni kawanan anjing-anjing herder. "Aku bisa mengurus mereka, sampai nanti sudah diputuskan hendak diapakan selanjutnya. Kurasa kalian dari kepolisian tentunya mau mengambil mereka, Bill! Mereka terlatih baik." "Terima kasih atas penawaranmu," kata Bill sambil nyengir. "Aku bersedia menerimanya! Dan sekarang — kita cepat-cepat pergi dari sini. Kita tinggalkan gunung aneh ini. Nanti aku akan kembali lagi, bersama beberapa rekanku untuk mengadakan pembersihan. Jenius sinting itu akan kami amankan, sebelum ia melakukan sesuatu yang berbahaya. Aku takkan heran, jika gunung ini diledakkan olehnya!" ` "Astaga!" kata Lucy-Ann ketakutan. "Kalau begitu kita cepat-cepat saja pergi, sebelum hal itu terjadi!" Mereka berjalan dengan cepat, meninggalkan tempat itu. Meier dan Erlick melangkah dengan tampang masam.`Sedikit pun mereka tidak mau berbicara. Tangan mereka sudah diturunkan setelah keduanya digeledah dengan seksama oleh Johns. "Aku lapar," kata Dinah. "Apakah Pak Effans juga membawa bekal makanan, Bill?" "Yah — Bu Evans kaget sekali mendengar bahwa kalian lenyap, lalu sibuk memasak," jawab Bill. "Kurasa dari rombongan keledai yang dibawa Pak Effans, dua di antaranya mengangkut hasil kesibukan istrinya itu. Kita cepat-cepat saja mendatangi mereka!" "Di mana mereka menunggu kita?" tanya Jack. "Di Lembah Kupu-kupu," kata Bill sambil nyengir. Anak-anak tercengang. "Di Lembah Kupu-kupu?" seru Jack. "Waktu itu kami tidak bisa menemukannya — sampai beranggapan bahwa tempat itu sebenarnya hanya ada dalam khayalan Pak Trefor saja!" "Tempat itu memang ada, dan bahkan bisa ditemukan dengan gampang — apabila Pak David mengerti cara membaca peta," kata Bill. "Nama lembah itu tertera di situ — tapi dalam bahasa Wales, yang tidak kalian pahami artinya. Sedang Pak David — kurasa ia bisa dibilang buta huruf! Aku sebetulnya tidak boleh menyuruhnya mengantarkan kalian!" "Kalau begitu, Anda menemukan tempat itu, Bill?" tanya Lucy-Ann. "Ya! Letaknya di jalan menuju kemari," jawab Bill. "Cuma waktu kalian kemari. Pak David ternyata keliru mengambil jalan. Pokoknya aku menyuruh dia menunggu di sana bersama rombongan keledai, karena menurut perkiraanku kalian pasti masih ingin melihat lembah itu -- setelah sebelumnya tersesat dan malah sampai di gunung aneh ini!" "Wah, kalau begitu semua sudah beres," kata Lucy-Ann bergembira. "Petualangan ini sudah berakhir, ya Bill? Setelah lewat, rasanya tidak lagi begitu menyeramkan!" "Kasihan," kata Bill. "Kenapa ya, selalu saja kalian dengan tak tersangka-sangka terlibat dalam berbagai petualangan! Tapi sudahlah - sebentar lagi kau akan sudah kembali ke tempat penanian, Lucy-Ann, dan menikmati hasil masakan Bu Evans yang enak-enak!" Mereka menelusuri celah sempit yang terjepit di antara dua gunung — lalu tertegun! Mereka menatap Lembah Kupu-kupu yang terbentang di bawah. Lembah itu penuh dengan beraneka jenis kupu-kupu yang bermacam-macam warna sayapnya. Jumlahnya ribuan, beterbangan kian kemari dan hinggap pada bunga-bunga yang banyak sekali di situ, sehingga dasar lembah menampakkan kesan seperti permadani berwarna semarak. Menurut perasaan anak-anak, belum pernah mereka menyaksikan pemandangan yang begitu permai. "Kenapa ya — begini banyak kupu-kupu di sini?" kata Dinah dengan kagum. "Kurasa karena di sini banyak bunga yang beraneka ragam," kata Bill menjelaskan. "Tempat ini sangat terasing letaknya. Karena itu tidak banyak orang datang kemari!" "Itu Pak Effans - bersama rombongan keledai!" seru Philip. "Halo, Pak Effans! Dan itu Pak Trefor serta Pak David!" Pak Effans berseri-seri wajahnya, begitu pula halnya dengan Pak Trefor. Hanya Pak David yang tidak ikut menyambut dengan gembira. Ia menunduk terus. Kelihatannya merasa malu. "Bu Evans mendampratnya habis-habisan ketika ia kembali seorang diri, tanpa kalian," kata Bill menjelaskan. "Bisa kalian bayangkan bahwa aku pun marah-marah padanya. Karena itulah ia sekarang merasa malu. Tidak ada salahnya ia begitu terus, selama beberapa waktu. Habis — sikapnya pengecut!" "Kasihan," kata Lucy-Ann. "Ia pasti menyesal sekarang." Dihampirinya laki-laki tua itu, lalu disapanya dengan ramah. Pak David memandangnya dengan sikap penuh terima kasih. "Senang rasanya melihat kalian lagi, sungguh, whateffer," kata Pak David dengan logat Walesnya. "Whateffer, whateffer," oceh Kiki dengan asyik. "Look you, look you. whateffer!" "Aduh, burung itu!" kata Pak Effans dengan sikap kagum. "Ia benar-benar ajaib! Aku mau membayar mahal, asal bisa memilikinya!" "Biar ditawar sejuta pun, aku takkan menjualnya," kata Jack sambil mengelus-elus Kiki. "Mana makanannya, Pak Effans? Kami sudah lapar sekali!" "Ceritanya nanti saja, sehabis makan!" kata Bill pada Pak Effans. "Kita akan bercerita panjang-lebar, sementara anak-anak asyik dengan kupu-kupu! He, kalian!" serunya pada Meier dan Erlick "Kalian tetap di situ, mengerti? Philip, suruh anjing-anjing mengawasi mereka!" Pak Effans menatap kedua penjahat itu dengan pandangan heran. Meier membalas tatapan itu sambil melotot Sedang Erlick berkeluh-kesah, menyesali nasib. Ia bahkan menyalahkan Meier, yang dikatakannya ceroboh, sehingga mereka tertangkap. Meier 'memandang temannya itu dengan sengit. "Mereka itu sama saja jahatnya," kata Bill. "Kita belakangi saja mereka — karena merusak pemandangan!” Anak-anak mulai makan dengan asyik. Rasanya sudah lama mereka tidak menikmati hidangan sesedap itu. Bu Evans memang tidak setengah- setengah dalam menyiapkan bekal. Ada ayam panggang, lidah sapi yang empuk, daging asap, daging asin, telur rebus, ketimun, tomat, buah-buahan segar, serta limun bikinan sendiri yang telah didinginkan oleh Pak Effans dengan jalan merendamkan botolnya ke dalam sungai kecil yang ada di dekat situ. Mereka makan sambil duduk-duduk di lereng bukit, menghadap permadani bunga-bungaan yang terhampar di depan mata dengan warna beraneka ragam. Belum lagi kupu-kupu yang beterbangan! . "Kelihatannya seperti bunga yang bisa terbang!" seru Lucy-Ann dengan gembira. "Beratus-ratus, bahkan beribu-ribu! Apa saja nama-nama mereka, Philip?" Philip menyebutkan sejumlah nama. "Bukan main, seperti di surga saja kelihatannya! Seumur hidupku, takkan kulupakan pemandangan ini!" Piknik saat itu sangat menyenangkan, dengan hidangan yang serba sedap, di tengah padang beralaskan bunga dengan kupu-kupu yang beterbangan. Mereka makan sambil bercanda dengan riang gembira. Kiki asyik sekali dengan ocehannya, apalagi setelah melihat bahwa Johns dan Pak Effans kagum padanya. Pak Effans terpingkal-pingkal, sampai tersedak. Sedang Johns makan dengan tenang, sambil memperhatikan Kiki. Sekali-sekali ia tersenyum, kalau ocehan burung kakaktua itu kocak sekali. "Whateffer-whateffer! Bersihkan kaki dan buang ingus! Puuh — maaf!" Si Putih berkeliaran di tengah mereka, sambil mengambil makanan yang disodorkan padanya. Kawanan anjing herder memperhatikan dari jauh. Mereka tenang-tenang saja, karena merasa pasti bahwa Philip takkan melupakan teman-temannya. Untung saja banyak sekali makanan yang dibawakan oleh Bu Evans! Meier dan Erlick pun tidak dilupakan, walau mereka itu jahat. Bab 30 AKHIR PETUALANGAN MALAM itu mereka terpaksa tidur di luar, tanpa tenda. Pak Effans membagi-bagikan selimut, karena selimut anak-anak tertinggal di dalam gua di lereng gunung. Kedua tawanan tidur terpisah, dijaga kawanan anjing herder. Malam itu panas. Berulang kali si Putih didorong pergi, karena ingin berbaring di atas anak-anak. Mula-mula Philip yang menyuruhnya pergi, lalu Jack, dan kemudian Dinah dan Lucy-Ann. Sebelum tidur, mereka agak lama juga berbicara dengan Bill, menceritakan segala kejadian yang dialami. Bill mendengarkan dengan sikap heran, sementara anak-anak menceritakan bagaimana mereka secara kebetulan sampai di dalam gunung aneh itu, yang ternyata mengandung rahasia yang lebih aneh lagi. la telah meneliti `sayap terbang` ciptaan laki-laki tua yang katanya penguasa gunung itu. "Nanti kalau kita kembali bersekolah lagi, sayap ini akan kubawa," kata Philip. "Teman-teman pasti tercengang-cengang nanti — dan tentu ada yang ingin mencobanya!" "Kalau aku boleh memberi nasihat, sebaiknya jangan ada yang mencoba-coba terjun dari atap sekolah dengannya," kata Bill dengan santai. "Menurut perasaanku, otak yang menciptakannya sudah mulai uzur! Orang tua yang mengaku raja itu takkan bisa berhasil menciptakan sayap yang bisa dipakai terbang. Tapi banyak juga ciptaannya yang lain, yang mengesankan. Aku tadi sudah berbicara dengan Meier. Ia mengatakan apa sebabnya ia menaruh kepercayaan pada Monally — begitulah nama laki-laki tua itu." "Apa sebabnya ia begitu percaya?" tanya anak—anak ingin tahu. "Yah — rupanya Monally itu dulu pernah menciptakan beberapa hal yang sangat mengagumkan," kata Bill. "Ciptaan-ciptaan itu dibuat berkat dukungan Meier, yang menjadi kaya karenanya. Aku belum berhasil mengetahui bagaimana ia sampai menemukan gunung ini, yang mengandung logam. yang langka yang diperlukan Monally dalam melaksanakan gagasannya yang paling baru, yaitu alat yang bisa meniadakan pengaruh tarikan bumi. Tapi pasti dengan jalan licik!" "Apa tindakan Anda selanjutnya?" tanya Jack. "Para penerjun payung akan dikirim kembali ke tanah air masing-masing. Anggota kawanan yang orang Jepang juga dikirim kembali, setelah sebelumnya diperiksa dulu. Menurut perasaanku, ada yang tidak beres dengan mereka itu. Sedang Monally, sang raja, akan diamankan," kata Bill. "Aku akan meminta beberapa orang sarjana agar datang ke gunung, untuk mengadakan penyelidik- an tentang segala peralatan yang ada di situ. Aku takkan heran jika mereka nanti berkesimpulan bahwa sebaiknya semua barang itu dimusnahkan saja, karena berbahaya sekali! Bisa terjadi ledakan dahsyat, jika tidak ada yang mengawasi." "Untung saja kami menemukannya, ya?" kata Lucy-Ann. "Ya, untung sekali," kata Bill. "Dan lebih untung lagi, kalian meninggalkan surat pada si Belang. Coba kalau tidak — aku takkan bisa menemukan jejak kalian." "Apa yang terjadi waktu itu?" tanya Jack. "Aku datang kemari mencari kalian dengan membawa beberapa ekor keledai, setelah Pak David tahu-tahu muncul di tempat pertanian tanpa kalian," kata Bill bercerita. "Tapi hanya si Belang saja yang kutemukan — dengan surat yang terselip pada tali kekangnya. Begitu membaca surat kalian itu, aku langsung curiga bahwa pasti ada yang tidak beres." "Lalu?" tanya Philip penuh minat. "Aku lantas mencari jejak kalian ke mana-mana," sambung Bill. "Aku berhasil masuk ke gua tak berlangit-langit, di balik belukar yang menutupi celah pada dinding gunung. Tapi tidak bisa terus! Karenanya aku pun berusaha menyelidiki soal helikopter itu. Jika ada orang bisa mendarat dengannya di puncak gunung, aku pasti juga bisa!" "Anda memang hebat, Bill!" kata Jack. "Ketika aku mengadakan penyelidikan tentang helikopter-helikopter yang ada di kawasan ini, yaitu mengenai pemilik serba macam-macam lagi, teryata ada pihak lain yang juga mengadakan pengusutan mengenainya," kata Bill melanjutkan cerita. "Rupanya ada beberapa helikopter yang sering menghilang secara misterius — terbang entah ke mana. Hal itu menimbulkan kecurigaan pihak kepolisian setempat, yang langsung mengadakan penyidikan. Tentu saja aku dengan segera menggabungkan diri!" "Lalu apa yang berhasil Anda ketahui?" tanya Dinah. "Aku menjumpai seorang penerbang yang masih muda, dengan goresan panjang bekas luka di pipi," kata Bill. Dilihatnya anak-anak agak kaget. "Ah — rupanya kalian juga tahu orang itu, ya! Ketika diperiksa, ia langsung menceritakan segala-galanya. Katanya, ia merasa tidak enak memikirkan nasib para penerjun payung yang disuruh melompat tanpa payung yang beres, dan sebagainya. Aku lantas menggantikannya menerbangkan helikopter. Begitulah, akhirnya aku mendarat di puncak gunung!" "Wah — kami lega sekali ketika melihat Anda," kata Lucy-Ann. Bill juga bercerita tentang Bu Mannering. Tangannya yang cedera sudah sembuh lagi. Ia cemas sekali memikirkan keadaan anak-anak, sehingga mendesak ingin ikut menjemput anak-anak. Tapi Bill menolak, karena takut kalau ada bahaya! Malam itu anak-anak tidak bisa lekas tidur, sehabis mengalami kejadian yang begitu menegangkan siangnya. Keesokan harinya, pagi-pagi benar mereka sudah dibangunkan oleh Bill, untuk meneruskan perjalanan. Dan siangnya mereka sudah tiba kembali di tempat pertanian keluarga Evans, tepat waktu makan siang. Bu Mannering datang menyongsong dengan gembira. Kasihan — selama itu ia tidak henti-hentinya merasa cemas memikirkan mereka. Bu Evans ikut menyongsong ke luar. "Wah, senang sekali rasanya melihat kalian kembali dengan selamat! Bukan main pengalam— an kalian selama ini, seperti semasa perang saja! Tapi pokoknya kalian kini sudah kembali dengan selamat," katanya. "Bukan cuma selamat, tapi juga segar bugar," kata suaminya menimpali dengan wajah berseri— seri. "Dan burung itu semakin hari semakin jenaka! Sungguh, whateffer!" "Whateffer, look you!" oceh Kiki menirukannya dengan logat yang persis sama. Pak Effans terbahak-bahak. Bunyi tertawanya itu pun ditirukan burung iseng itu. Kedengarannya begitu_ kocak, sehingga yang lain-lain terpingkal-pingkal mendengarnya. Bu Evans ternyata sudah kembali menyiapkan hidangan makan siang yang enak. Bahkan kawanan anjing herder pun tidak dilupakan. Mereka diberi tulang setumpuk! Anak-anak makan sambil bercerita dengan asyik. Bu Evans mendengarkan dengan mata terbelalak karena heran dan kagum, sementara tangannya sibuk menghidangkan makanan pada siapa saja yang piringnya mulai kosong. "Bayangkan — anak-anak melakukan hal-hal seperti itu," katanya berulang kali. "Dalam gunung, lagi! Dan juga dalam lubang yang menyeramkan. look you! " "Maaf, look you!"0ceh Kiki, lalu bersin dengan nyaring. Pak Effans tercekik, karena tertawa sementara mulutnya penuh makanan. Kiki menirukan bunyi itu dengan begitu persis, sampai Bu Mannering mengatakan bahwa ia harus keluar jika masih tetap tidak tahu aturan. "Ah, Bibi Allie, Kiki kan begitu karena merasa senang ada di sini lagi," kata Jack. Tapi paruh Kiki ditepuknya juga, menyuruhnya berhenti berbuat iseng. "Panggilkan dokter," oceh Kiki sambil menatap Pak Effans yang masih tercekik-cekik karena tertawa. "Panggilkan muncul! Panggilkan look you! " Sekarang bahkan Bu Mannering pun ikut tertawa geli. Jack memberikan buah prem yang besar pada Kiki, supaya mau diam. Buah itu dicengkeramnya dengan saku kaki, lalu dipatuk-patuknya dengan lahap, sehingga cairannya muncrat membasahi Pak Effans. "Maaf!" oceh Kiki senang, lalu mengulangi perbuatan itu sekali lagi. Pak Effans rasanya mau saja memberikan dombanya yang mana saja, asal bisa memiliki Kiki. Ia sampai lupa menyuap makanan, karena asyik memperhatikan burung kakaktua konyol itu. Johns ditugaskan mengantar kedua tawanan ke kota dengan ditemani Pak David serta dua ekor anjing herder. Bu Evans mengatakan bahwa sisanya bisa dititipkan di pertaniannya sampai pihak. kepolisian sudah mengambil keputusan, hendak diapakan anjing-anjing itu selanjutnya. "Bu — bagaimana jika beberapa ekor di antaranya kita pelihara?" tanya Philip membujuk ibunya. "Aduh, jangan!” kata Bu Mannering. "Sekarang saja aku sudah repot dengan binatang-binatang peliharaanmu apabila kau kembali ke sekolah! Apalagi jika ditambah beberapa ekor anjing herder yang selalu lapar — minta ampun, jangan! Tidak, mereka pasti lebih berbahagia apabila dijadikan anjing polisi!" Bill belum kembali ke Gunung Taring, karena masih menunggu beberapa sarjana yang akan menemaninya ke sana. Selain mereka, akan ikut pula beberapa polisi yang bertugas meringkus orang-orang Jepang yang masih ada di sana - walau menurut Bill, mereka takkan berani melawan. Mungkin mereka itu penjahat yang mau bekerja untuk Meier, karena ingin menyembunyikan diri selama beberapa waktu. "Bolehkah kami ikut, Bill?" tanya Jack berharap. "Kalau tanpa kami, jangan-jangan nanti Anda tersesat di dalam gunung." "Itu tidak mungkin," jawab Bill. "Aku menemukan peta lorong-lorong gunung itu dalam kantung Meier. Aku takkan mungkin tersesat. Jangan harap kalian akan kuizinkan ikut, karena sudah cukup banyak bahaya yang kalian alami selama liburan ini. Aku khawatir jika kalian ikut, nanti tahu-tahu muncul lagi petualangan baru! Tak pernah kualami anak-anak seperti kalian ini — yang selalu saja terlibat dalam berbagai petualangan! Kurasa jika kalian kuajak menjenguk bibiku yang sudah renta, sesampai di sana akan kita dengar bahwa ia diculik orang dengan kapal selam, lalu kalian harus pergi ke ujung dunia untuk menyelamatkannya!" Jack dan Philip kecewa sekali, karena tidak bisa ikut dengan Bill ke gunung. Tapi Dinah dan Lucy-Ann malah merasa lega, karena mereka sama sekali tidak berniat ikut. "Aku tidak berkeberatan mengalami petualangan yang sudah selesai, dan kita saling bercerita mengenainya," kata Lucy-Ann. "Tapi sewaktu sedang terjadi, perasaanku sama sekali tidak enak. Aku tidak suka pada gunung yang bergemuruh itu. Bill, kata Philip tadi aku siang ini boleh meminjam sayap terbangnya, sebagai imbalan karena aku hendak menggantikan dia terjun dari helikopter. Aku nanti akan terbang dengannya dari batu yang tinggi di atas itu, lalu melayang turun kemari!" "Jangan suka nekat!" tukas Bill dengan segera. Lucy-Ann tertawa, melihat wajah Bill yang nampak kaget sekali. "Aku cuma main-main saja," katanya. "Aku tidak bermaksud terjun dari atas, melainkan memakainya di sini saja. Aku akan berlari-lari di pekarangan, sambil mengepak-ngepakkan sayap. Ayam-ayam di sini pasti tercengang nanti melihatku begitu!" "Itu pasti!" kata Bill. "Awas, nanti mereka tidak mau bertelur lagi. Kauawasi Lucy-Ann baik-baik, Philip! Jangan sampai ia berbuat yang bukan-bukan." "Kurasa ia tidak perlu dikhawatirkan," kata Philip sambil nyengir. "Lucy-Ann yang paling normal di antara kami berempat." Ia merogoh kantungnya, untuk melihat apakah cecak ular peliharaannya masih ada di situ. Saat itu juga air mukanya berubah, nampak tercengang. Ia berteriak. "Aduh, ada apa, Philip!" kata Lucy-Ann ketakutan, "Ada peristiwa hebat!" kata Philip. "Sungguh — aku sama sekali tak mengira!" "Apa? Apa yang tidak kaukira?" seru mereka beramai-ramai. Philip menarik tangannya dari dalam kantung, lalu membukanya. Di telapak tangan itu nampak segenggam makhluk kecil-kecil, sehalus jarum jahit. Warna mereka putih keperak-perakan. Semuanya menggeliat-geliat. "Lihat ini, Bu — anak-anak Sally! Cecak ularku ternyata melahirkan anak-anaknya dalam kantungku! Kurasa belum pernah hal seperti ini dialami orang lain. Benar-benar luar biasa! Mereka lucu-lucu, ya?" "Uhh!" seru Dinah dengan jijik. "Bagus sekali!" kata Jack. "Untukku seekor, ya?" kata Lucy-Ann. "Wah — ini lebih asyik lagi daripada petualangan kita, Philip!" "Memang," kata Philip. "Sally benar-benar hebat! Selama ini aku belum pernah memiliki peliharaan anak-anak cecak ular — tapi sekarang, segenggam penuh!" "Jangan kautaruh terus dalam kantung, Philip," kata ibunya. "Itu tidak baik bagi mereka, dan juga bagimu sendiri!" "Tapi nanti Sally kecewa," kata Philip. Petualangan yang baru saja berlalu sudah dilupakan. Keempat remaja itu asyik memperhatikan binatang kecil-kecil yang bergeliat-geliat di telapak tangan Philip. Kiki ikut-ikut melihat, sambil bertengger di bahu Jack. “Look you, whateffer" ocehnya dengan kepala dimiringkan. Paruhnya mulai terbuka. Maksudnya hendak menirukan suara orang terceguk. Tapi begitu melihat Bu Mannering menatap ke arahnya dengan mata melotot, dengan cepat ia mengatupkannya kembali. “Maaf!" teriaknya keras-keras, lalu terkekeh-kekeh. "Kiki nakal! Panggilkan dokter, look you! Bersihkan kaki dan buang maafmu! Heheheheh!" Kiki terkekeh berkepanjangan. TAMAT Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com